Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-15): Rindu Kampung Halaman

Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini.

Novel “Bersujud Ditas Bara” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.

Karya: Muhammad Najib
Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

SERI=15

“Kenapa kare kambing ini terasa tidak sedap lagi?”, pikir Mujahid dalam hati ketika menyendok gulai kambing dari panci besar terbuat dari aluminium itu ke daun di depannya. Nan yang terbuat dari gandum dirobek sedikit demi sedikit lalu dicelupkan ke Kare sebelum dimasukkan ke mulutnya dengan terpaksa.

“Kenapa? Tidak enak badan?”, tanya Rizali yang memperhatikan gerak-gerik sahabatnya yang tidak bergairah.

“Nggak, cuma bosan saja. Habis tiap hari begini terus. Nggak ada variasinya”.

“Ya, ya. Sudah berapa lama sebetulnya kita di sini?”.

“Coba lihat kalender itu”, Mujahid mengarahkan wajahnya ke dinding.

Rizali yang duduk berhadapan dengannya memutar badan.

“Eh, sudah bulan Sya’ban, dalam hitungan Hijriah, bertepatan dengan bulan Agustus. Berarti kita sudah masuk bulan ke delapan di sini”.

“Wah, kalau di rumah, sekarang pasti ramai. Ada barisberbaris, ada lomba lari karung dan panjat pinang”, kata Mujahid dengan wajah berbinar.

Pikirannya langsung teringat kemeriahan di kampungnya. Orang-orang menghias pintu masuk jalan dengan janur kuning, dipadu dengan hiasan kertas warna-warni. Setiap rumah memasang bendera merah putih. Sesuatu yang rutin dilakukan setiap menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus, yang selama ini dianggap biasa, tiba-tiba terasa luar biasa.

“Oh, Indonesiku! Tanah tumpah darahku… Tempat Aku dilahirkan dan dibesarkan. Tanah subur nan indah menawan. Mungkin Aku termasuk orang yang kurang berterima kasih kepadamu selama ini. Saat ini, ketika Aku berada di negeri orang lain, baru Aku menyadari betapa indah dan kayanya negeriku”, kata Mujahid pada dirinya
sendiri.

Baca Juga:

• Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-13): Latihan Menggunakan Senjata
• Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-14): Menanti Kabar Buah Hati

Tiba-tiba Ia ingat sayur lodeh, kuah rawon atau pecel yang menjadi kegemarannya. Selesai makan, seperti biasanya Mujahid mengambil Al Quran. Belum selesai satu juz, Ia sudah merasa sangat lama dan ingin segera mengakhiri tilawahnya. Padahal, biasanya satu kali duduk dia bisa menyelesaikan minimal tiga juz. Perasaannya tidak senyaman biasanya. Ia lalu meletakkan kembali Al-Quran itu ditempatnya. Perlahanlahan Ia bergerak ke tempat tidur untuk istirahat. Rasanya lelah sekali, kata Mujahid dalam hati. la rebahkan badannya di tempat tidur. Dilipatnya kedua tangannya lalu diletakkannya di atas bantal sebagai penopang kepalanya. Ia pejamkan perlahan kelopak matanya. Tiba-tiba muncul
wajah seorang gadis yang lama Ia lupakan, kulitnya putih bening berkilau, rambutnya hitam terurai dan terus melambai seolah memanggil-manggil dirinya. Senyumnya yang manja seakan ingin menghiburnya.

“Astagfirullah…!”, Mujahid tersentak kaget.

“Oh, Nur Jannah, kenapa wajahmu muncul tiba-tiba? Kenapa ingatanku seperti ini?”, hatinya mendadak risau.

“Apakah Aku sedang merindukanmu?”.

“Tidak…!”, katanya tegas.

“Aku tidak boleh romantis seperti ini. Aku tidak boleh cengeng. Aku harus tegar! Aku tidak boleh menodai ketulusanku untuk berjuang!”.

la bergerak keluar kamar untuk mengambil air wudhu. Dilepaskannya pakaian Afghanistan yang selama ini dikenakannya. Ia lalu menggantinya dengan sarung dan baju koko yang sudah lama tidak dikenakannya. Ia ambil kopiah hitamnya, lalu dibukanya sejadah pemberian sang Ibu secara perlahan. Ia kemudian menghadap kiblat untuk menegakkan shalat dua rakaat. Seusai shalat, Ia tengadahkan tangannya dengan wajah penuh harap. Bibirnya bergerak pelan mengucapkan doa:

“Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Maafkan hamba-Mu yang lemah ini. Atas segala kekhilafan yang hamba lakukan. Jangan Engkau tampakkan indah apa-apa yang ada di dunia ini, karena ia hanya bersifat sementara. Cabutlah cintaku dan rinduku pada sesuatu, agar kasihku sepenuhnya dapat kupersembahkan kepada- Mu”.

Sambil bersujud di sajadahnya, pipinya basah oleh air
mata.

(Berambung……)

EDITOR: REYNA

Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:

Judul Novel: Di Beranda Istana 
Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ

Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ

Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ

Related Posts