ZONASATUNEWS.COM, SURAKARTA – Pemerintah mengumumkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja. Perpu ini menggugurkan status “Inkonstitusional Bersyarat” yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam Putusannya MK memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Selain itu, MK juga memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dr. Muhammad Taufiq S.H.,M.H Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia saat dihubungi media Minggu (01/01/2023), menilai, sikap pemerintahan Jokowi dengan penerbitan PERPU ini merupakan bentuk pembangkangan dan pengkhianatan atas Konstitusi RI, dan makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.
“Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK” kata Muhammad Taufiq.
Masih menurut Taufiq, Presiden justru mempertontonkan kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi.
“Hal ini terang benderang sebuah pengkhianatan terhadap konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis” ucapnya lagi.
Lebih jauh M Taufiq menilai PERPU saat ini tidak memenuhi syarat karena dalam pembentukan UU tidak melalui proses yang semestinya. yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.
Seharusnya Presiden mengeluarkan PERPU “Pembatalan UU Cipta Kerja” sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat. Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review.
Menurut M Taufiq, Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPU. Namun justru sebaliknya, Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan PERPU.”
“Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPU. Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan TIDAK masuk akal dalam penerbitan PERPU ini.
“Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi di mana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga melarang Pemerintah membentuk Peraturan-peraturan turunan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat. Tetapi dalam perjalanannya Pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut”
“Penerbitan PERPU UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Ini jelas tampak dari statemen pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan PERPU ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan”
Taufiq juga menilai Penerbitan PERPU ini ugal-ugalan, melengkapi ugal-ugalan Pemerintah dalam membuat kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain.
Penerbitan di ujung tahun, sambung Taufiq, juga menunjukkan bahwa Presiden Jokowi tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun.
“Maka masyarakat harus menolak penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan meminta Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK” pungkas Taufiq.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur



DiyalaaJanuary 1, 2025 at 7:35 am
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/nasional/penerbitan-perpu-omnibus-law-uu-cipta-kerja-dinilai-ugal-ugalan-demi-fasilitasi-pemodal/ […]