Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)
BEBERAPA ALASAN UNTUK MENOLAK UUD RI TAHUN 2002
1. Apabila diteliti secara mendalam, ternyata UUD 2002 sebenarnya hanya terdiri dari 15 BAB, bukan 16 BAB. Di UUD 2002 BAB IV ternyata kosong. Hanya tertulis: BAB IV. DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG. Dihapus. Pencantuman BAB yang kosong ini seolah-olah ingin memberikan kesan, bahwa UUD 2002 tetap terdiri dari 16 BAB seperti UUD ’45 ASLI. Penambahan BAB tidak ditulis dengan angka Romawi, melainkan ditambahkan dengan huruf Latin besar A, B, seperti pada Bab VII, menjadi BAB VII A DAN BAB VII B, sehingga jumlah BAB berdasarkan angka Romawi tetap XVI (16).
Demikian juga dengan pasal-pasalnya, tidak ditambahkan angka-angka Arab, melainkan ditambahkan huruf Latin besar juga seperti pasal 7 A, 7 B dan 7 C. Bahkan pasal 28 sampai 28 G. Dengan demikian, jumlah pasal sesuai dengan angka Arab, tetap berjumlah 37 pasal.
Secara sepintas terlihat seolah-olah UUD 2002 sama dengan UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, yaitu terdiri dari 16 Bab dan 37 pasal. Hal ini dapat dikategorikan sebagai kebohongan publik, bahkan dikatakan sebagai suatu pengelabuan..
2. Dalam UUD 2002 BAB I Pasal 1 Ayat 2 mengenai Kedaulatan Rakyat sangat kabur. Di UUD ’45 Asli Pasal 1 Ayat 2 tertera: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pasal 1 ayat 2 ini sesuai dengan Sila keempat Pancasila, yaitu; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan.
Di Pasal 1 ayat 2 UUD 2002 hanya disebut: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Namun selanjutnya di dalam UUD 2002 tidak ada Pasal atau ayat yang mengatur pelaksanaan Pasal 1 ayat 2 ini.
Dengan demikian UUD 2002 telah mengebiri Kedaulatan rakyat dan membuat menjadi tidak jelas, bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan.
Salahsatu hak dan wewenang MPR yang sangat penting yang ada di UUD ’45 Asli dan dihapus dalam UUD 2002 adalah Pasal 3. Di UUD ’45 Asli tertera: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan Garis2 Besar daripada Haluan Negara (GBHN). Di UUD 2002 Pasal 3 menjadi: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD.
Untuk negara sebesar Indonesia yang terdiri dari ratusan etnis yang tinggal di ribuan pulau, sangat diperlukan GBHN agar tidak terjadi ketimpangan dalam pembangunan, baik secara geografis maupun secara geo-politik dan geo-sosial-budaya.
3. Pasal 6 Ayat 1 tentang syarat calon presiden mengalami perubahan mendasar. Di UUD ’45 Asli tercantum: “Presiden ialah orang Indonesia asli.” Di UUD 2002 Pasal 6 Ayat 1 kata : ORANG INDONESIA ASLI dihapus, dan diganti menjadi: “Calon presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarga negaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Satu-satunya pengusul perubahan ini adalah JE Sahetapy dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dia beralasan, bahwa Pasal 6 Ayat 1 diskriminatif untuk wargan negara dari keturunan non-pribumi. Pandangan ini sangat ahistoris. Sebagaimana dapat dilihat dari Risalah Sidang BPUPK, justru kata ASLI cicantumkan dalam pasal 6 ayat 1 bertitik-tolak dari sejarah. Juga untuk mengantisipasi kemungkinan orang Jepang menjadi Presiden dari negara yang akan dibentuk.
Di masa penjajahan. Pemerintah kolonial membuat Undang-Undang Perbudakan yang resmi berlaku dari tahun 1642 – 1840, di mana pribumi selama lebih dari 200 tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Para budak tidak memiliki hak-hak sebagai manusia. Pada waktu itu tidak ada yang menyatakan bahwa memperjual-belikan pribumi menjadi budak di negeri sendiri adalah pelanggaran HAM dan diskriminatif. Pribumi tidak dianggap sebagai manusia, melainkan hanya sebagai komoditi dagang. Seperti telah ditulis di atas, setelah UU Perbudakan dihapus, tahun 1920 pemerintah kolonial membagi penduduk menjadi 3 golongan, di mana pribumi menjadi golongan ketiga, yang disetarakan dengan anjing.
Perubahan Pasal 6 Ayat 1 ini dinilai telah menghapus hak prerogatif tunggal pribumi menjadi TUAN DI NEGERI SENDIRI, yang berdasarkan sejarah penjajahan, perbudakan dan diskriminasi ras, bahkan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia selama ratusan tahun. Dirumuskannya Pasal 6 Ayat 1 berdasarkan sejarah panjang penjajahan, perbudakan dan diskriminasi pribumi. Pasal 26 Ayat 2 mengenai warga negara juga dirumuskan sebagai respon terhadap peraturan yang berlaku di masa penjajahan, sebagaimana diterangkan di atas.[12]
4. Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat, sebagaimana dicantumkan dalam UUD 2002 BAB III Pasal 6 A, bertentangan dengan Sila keempat Pancasila, yaitu: “Kedaulatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.”
Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota secara langsung juga melanggar Sila keempat Pancasila. Kalau alasan pemilihan langsung adalah untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan, politik uang (money politics), suap dan KKN, terbukti bahwa pemilihan langsung juga penuh dengan kecurangan-kecurangan dsb. Kepala-kepala Daerah hasil pemilihan langsung juga banyak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Anggaran negara untuk pemilihan langsung dan biaya yang harus dikeluarkan oleh sorang calon luar biasa besarnya, sehingga memaksa seseorang dengan ambisi besar melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma-norma hukum, nalar dan akal sehat.
Praktek-praktek yang dilakukan oleh seseorang yang masih menjabat dan akan mempertahankan jabatannya, sering menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya.
Selain itu, terlihat bahwa pemilihan langsung, apalagi kalau pasangan calonnya hanya dua, terjadi konflik horisontal di antara para pendukung kedua kubu.
Sementara para partai politik yang awalnya berseberangan, setelah selesai pemilihan, kelompok yang kalah dalam waktu singkat ikut di gerbong pemenang. Alasan kedua belah pihak sangat pragmatis. Yang menang tidak ingin “diganggu” selama lima tahun oleh adanya oposisi yang kuat, kelompok yang kalah ingin ikut menikmati “kue besar.” Sedangkan di akar rumput, konflik dan dendam berlangsung terus.
KEMBALI KE UUD ’45 ASLI UNTUK DISEMPURNAKAN.
Para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia telah menulis, bahwa memang Undang-undang Dasar yang disusun tahun 1945 belum sempurna, dan harus disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun penambahan pasal dan ayat harus tetap mengacu kepada ruh dan semangat serta tujuan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, mereka yang akan ikut terlibat dalam pembahasan dan perumusan penambahan pasal dan ayat, harus benar-benar mengetahui dan memahami sejarah perjuangan leluhur Bangsa Indonesia dan perjuangan Bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Penambahan pasal dan ayat harus sesuai dengan kesepakatan, yaitu dengan cara ADENDUM.
(TAMAT)
BACA JUGA:
- Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 1)
- Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 2)
- Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 3)
- Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 4)
- Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 5)
EDITOR: REYNA
Related Posts

Komisi Reformasi Polri Dan Bayang-Bayang Listyo Syndrome

Dusta Yang Ingin Dimediasi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (4): Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional Yang Menyelamatkan Indonesia

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%



No Responses