Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Sebagai pemilih yg relatif terdidik, saya merasa tidak terlalu kenal dengan ke 3 paslon presiden dan wapres itu. Kemunculannya pun misterius dan tampak ujug2 jika bukan ganjil. Saya hanya kenal berdasar info medsos, Google dsb dan Timses mereka. Saya tidak pernah ngobrol dengan ke 3 paslon tsb. Info2 tsb hampir semuanya tidak pernah saya validasi. Saya juga tidak punya cukup waktu untuk melakukan pengumpulan informasi karena banyak kegiatan lain yg perlu saya lakukan. Kadang2 sebagian kita merasa sok kenal tentang 3 paslon (6 orang itu) bahkan sudi mendukungnya mati2an.
Jikapun saya punya data2 ke 6 orang itu, saya kesulitan memilihnya. Memilih presiden itu berbeda dengan memilih sepatu, hand phone, rumah atau mobil. Proses memilih ini sebuah prosedur yg kompleks : menentukan sejumlah kriteria, mengukur kinerja ke6 orang itu berdasarkan kriterianya, membanding-bandingkannya secara pairwisely, menghitung score masing2 paslon, menyusun ranking mereka, baru bisa memilihnya secara rasional. Memilih 1 diantara 2 mobil saja tidak mudah, apalagi memilih 1 diantara 3 paslon presiden dan wapres. Sangat kompleks. Sama sekali tidak sederhana.
Dari kedua hal tsb, saya menduga keras kebanyakan dari 150 juta pemilih dari Aceh sampai Papua akan asal pilih di TPS. Sedangkan yg menggerakkan kaki mereka ke TPS itu adalah amplop, BLT dan bansos. Ini juga membantu menentukan pilihan mereka. Jika tidak ada itu, mereka lebih suka diam di rumah atau bekerja karena merasa satu suara mereka tidak terlalu berarti. Golput itu godaan besar bagi banyak pemilih. Di bilik suara TPS, Paslon 02 diuntungkan karena gambarnya di tengah kartu suara pilpres. Jika gambar ketiga paslon disajikan dalam sebuah lingkaran yg dibagi menjadi 3 sektor, ketiga paslon berpeluang sama tercoblos.
Ini adalah desain pilpres ala UUD2002 yg sangat buruk. Rusak dan merusak akhlaq elite dan rakyat pemilih. Duit menjadi oksigen jagad politik. Rekan saya dari Banten Kang HAFIDIN menyebutnya bobrok. Saya menyebutnya mbelgedhes. Prof. Jimly Ashidiqqi menyebutnya kampungan. Ini bukan cara bijak kita memilih pemimpin2 kita. Rawan salah pilih, salah hitung. Serba salah. Rawan kecurangan. Lebih baik jika Pilpres ini diserahkan pada wakil2 kita yg terpilih di MPR melalui musyawarah bil hikmah sesuai UUD45 sehingga tepat pilih presiden mandataris MPR, bukan salah pilih petugas partai.
Jokowi sebagai presiden itu besar karena dibesarkan oleh UUD2002 ini, parpol yg memonopoli politik secara radikal, DPR yg sakit gigi, profesor di kampus2 yg diam, para jendral yg pasif, dan ulama yg memilih jadi setan bisu. Ini kesalahan berjamaah, bukan kesalahan Jokowi semata. Memakzulkannya sesuai UUD2002 sesulit memasukkan unta ke lubang jarum.
Lagipula, dalam kerangka UUD2002, pilpres ini sebenarnya bukan urusan kita sebagai jongos politik untuk memberi legitimasi atas kursi kekuasaan mereka kelak. Ini urusan koalisi parpol pengusung paslon yg diberi monopoli politik secara radikal oleh UUD2002. Bukan pertempuran kita yang sebenarnya. Ini adu domba antar warga bangsa yg disiapkan oleh musuh2 nekolimik kita agar kita terpecah belah lalu bangsa ini bisa diresmikan kekalahannya.
KA Ambarawa Expres,
2 Maret 2024
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (5) : Pelopor Swasembada Pangan Yang Diakui Dunia

Komisi Reformasi Polri Dan Bayang-Bayang Listyo Syndrome

Dusta Yang Ingin Dimediasi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (4): Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional Yang Menyelamatkan Indonesia

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya



No Responses