Pohon Aren dan Nikel

Pohon Aren dan Nikel
Tambang nikel mulai beroperasi di gunung di wilayah pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

Oleh: Yoyon Suryono, kolumnis pebelajar

Pohon Aren (“Tangkal Kawung”) merupakan pohon serba guna penghasil kolang kaling, gula aren, dan ijuk (injuk) yang sering dipintal jadi tali atau tambang ijuk, dan lidinya diikat jadilah sapu lidi yang kuat untuk menyapu pekarangan yang kotor.

Seorang Guru Besar Sosiologi UGM dulu mengibaratkan gotong-royong itu sebagai sapu lidi yang terikat kuat oleh pengikatnya.

Kolang kaling banyak digemari apalagi bila dibuat kolak bersama pisang, terutama di bulan puasa untuk takzil, jadi makanan pavorit, dikasih gula kawung, eeh gula aren, rendah gula ketimbang gula pasir, dan inilah bisnis usaha kecil rakyat pejuang rupiah di pelosok desa yang tebing-tebingnya banyak ditumbuhi pohon aren penjaga longsor bersama rumpunan bambu.

Tali ijuk berguna untuk berbagai keperluan tali temali memperkuat sambungan bambu seperti pada rumah tradisional berbahan utama bambu. Jarang dipake untuk tali tenda kemah Pramuka, apalagi tali tenda biru karena biru merambah ke lain tenda.

Kini tali ijuk tersisih oleh jenis tali yang lain seperti tali berbahas plastik yang lebih kuat, nyaman dipandang, murah, dan pabrikan. Mungkin sifat bawaan, apapun yang alami selalu kalah sama yang tiruan, persis seperti ijazah yang beredar.

Ijuk yang dibuat tali, di daerah tertentu, dikenal dengan nama tambang ijuk. Usaha ini dikenal dalam bahasa candaan sebagai pertambangan ijuk yang dalam beberapa dekade banyak ditinggalkan oleh para perajinna karena bukan jenis usaha yang menguntungkan secara ekonomi, maka tidak perlu ada ijin usaha tambang untuk berusaha di bidang pertambangan ijuk ini.

Beda lagi. Perlu ijin usaha dan tentu restu para penguasa manakala bisnis perdagangannya bukan pertambangan ijuk, tapi perdagangan yang lain semisal pertambangan nikel yang sedang (sudah lama) viral dengan argumen yang kelihatan ilmiah: hlirisasi, suatu konsep yang jitu namun dalam pelaksanaanya menimbulkan penderitaan bagi rakyat kecil dan menyisakan kerusakan lingkungan.

Taruhan besar di sini. Bila benar dan bersih hilirasi merupakan tulang punggung keuangan negara. Namun bila sebaliknya dikelola secara penuh ambisi politik dan rakus a’la liberalis, maka kehancuran nunggu beberapa langkah di depan. Dan ini kini sedang terjadi. Para pebisnis ulung yang bergandeng tangan dengan para penguasa, kata kamus ini disebut oligarki.

Bisnis ini bagi mereka sangat menguntungkan dan mencerahkan. Bukan bisnis recehan tapi milyar dan trilyun. Pun bagi negara dan bagi kesejahteraan rakyat kata yang berkuasa. Mana yang benar, biarlah waktu yang akan membuktikan walau angka-angka keuangan negara cukup merisaukan seperti efisiensi anggaran pemerintah yang menunjukkan kalau kondisi keuangan pemerintah tidak sedang baik-baik saja, pemasukan dari sektor pertambangan sudahkan cukup menopang kemampuan keuangan pemerintah saat ini? Konon cukai dan pajak masih mendominasi.

Hindari berbisnis pertambangan ijuk beralihlah ke pertambangan nikel atau tambang lainnya, asal benar dan bersih, masalahnya itu bukan lahan rakyat melainkan ladang para elit di Jakarta yang memiliki dukungan sangat kuat, entah dari siapa dan dari mana tidak perlu ditelusur, sudah pada mafhum dalam bisnis kolaboratif saling menguntungkan sesama mereka, bukan rakyat.

Beberapa tahun lalu muncul kecemasan masyarakal di Sulawesi Tenggara di salah satu kabupaten yang dimekarkan karena kasus kerusakan lingkungan akibat penambangan nikel yang cenderung tidak terkendali.

Kasus serupa baru saja muncul. Penambangan nikel di Raja Ampat yang sempat ramai dan alhamdulullah ijin penambangan empat perusahaan sudah dicabut dan ternyata, lagi-lagi, ditengarai ulah para pengusaha rakus yang dilindungi para penguasa tidak amanah dan mungkin mereka lupa akan kematian manusia.

Seperti itukah, dan alasan itukah kalau empat pulau di wilayah Provinsi Aceh kini dipindahtangankan lewat Peraturan Mendagri ke Propinsi Sumatera Utara? Sekedar bertanya apakah cara itu tidak melanggar peraturan perundang-undangan? *

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K