Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Sahabat saya semasa kuliah mengunggah lagu-lagu anak-anak Pok Ame-Ame sambil mengatakan bahwa sekarang lagu itu populer lagi. Sahabat saya itu sebenarnya mengungkapkan perasaanya merespon adanya usulan agar belalang diijadikan menu untuk program Makan Bergizi Gratis. Karena itu dia mengganti lirik lagu Pok Ame-Ame yang asli “Pok Ame-Ame, Belalang Kupu-Kupu, Siang Makan Nasi Kalau Malam Minum Susu” menjadi “ Pok Ame-Ame, Belalang Kupu-Kupu, Cita-Cita Makan Bergizi, Dapetnya Belalang Melulu” sambil ditambahkan emoji.
Berbagai media nasional memberitakan rencana belalang mulai digadang-gadang akan jadi alternatif protein dalam menu makan bergizi gratis. Hal ini diungkap Badan Gizi Nasional dan rencananya akan diberlakukan di daerah yang memang terbiasa mengonsumsi belalang, salah satunya ulat sagu. Pendekatan ini bertujuan untuk menyediakan alternatif pangan bergizi yang sesuai dengan kebiasaan lokal, di mana belalang dapat menjadi sumber protein tinggi yang lebih terjangkau.
Dokter Spesialis Gizi di Rumah Sakit Melinda Bandung, Johannes C. Chandrawinata menyebut belalang memang bisa jadi alternatif pangan yang kaya protein dan lemak sehat. “Belalang memang bisa menjadi alternatif pangan tinggi protein dan tinggi lemak. Pada berbagai kebudayaan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, termasuk Eropa dan Amerika, belalang sudah lama dikonsumsi,” kata dia, saat dihubungi CNN Indonesia.com, Minggu (26/1). Dia menyebut, sekitar 2 miliar orang di dunia mengonsumsi serangga setiap hari. Bahkan terdapat lebih dari 2.000 spesies belalang yang dimakan. Dia merinci, serangga seperti jangkrik mengandung 460 kalori, 18,5 gram lemak, dan 69 gram protein per 100 gram mentah. Sementara belalang mengandung 560 kalori, 38 gram lemak, dan 48 gram protein per 100 gram.
Meski demikian, Johannes juga mengingatkan bahwa tak semua anak suka belalang atau serangga. Hal tersebut tentu harus jadi pertimbangan sebelum memutuskan akan menggunakan serangga sebagai alternatif sumber protein di menu makan bergizi gratis.
“Jangan lupa kemungkinan alergi, harus diingat bahwa rata-rata ketika anak alergi udang maka harus menghindari juga makan serangga,” kata dia. Hal sama juga diungkap spesialis gizi dari RSCM Inge Permadi. Dia mengingatkan bahwa walaupun belalang dan ulat sagu merupakan sumber protein yang baik, penting untuk mengetahui kemungkinan alergi terhadap serangga, seperti halnya alergi terhadap udang atau telur.
Sahabat saya tadi mengakui pernah makan “laron” atau serangga pada tahun 1960 an disaat perekonomian Indonesia terpuruk, disaat pemerintah tidak mempunyai kemampuan dibidang ekonomi. Dia mengakui juga bahwa setelah makan serangga yang digoreng itu sahabat saya mengalami gatal-gatal dan diare. Dia menambahkan bahwa pada saat penjajahan Jepang tahun 1940 an rakyat juga menderita dan makan serangga untuk mengisi perutnya – karena saking miskinnya.
Sekarang ketika Indonesia sudah maju, memiliki kemampuan secara ekonomi untuk memberi makan rakyatnya, dan ketika uang rakyat dikorupsi oleh “orang-orang pintar” sebanyak ratusan trilliun Rupiah dan banyak diantara kita yang sudah mampu makan steak direstoran mahal – lalu pantaskah kita menyuguhi anak-anak didik kita penerus bangsa ini dengan makanan dengan lauk serangga…?
EDITOR: REYNA
Related Posts

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia




No Responses