Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Masyarakat Indonesia hari-hari dihebohkan oleh pengalihan empat pulau milik Provinsi Aceh yang dipindahkan hak dan pengelolaannya kepada Provinsi Sumatra Utara. Apakah ini bukan tindakan yang berpotensi melanggar konstirusi?
Pengalihan empat pulau milik Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara itu dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Hal ini telah memicu kontroversi dan berpotensi melanggar konstitusi.
Alasan yang mendasari pandangan ini antara lain sebagai berikut.
Pertama, perubahan batas wilayah Provinsi. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perubahan batas antarprovinsi harus diatur melalui mekanisme undang-undang, bukan hanya dengan surat keputusan seorang Menteri. Pengalihan empat pulau tersebut memerlukan proses legislasi yang kompleks dan inklusif.
Kedua, keterlibatan DPR dan Pemerintah. Firman Soebagyo, anggota Badan Legislasi DPR RI, menekankan bahwa pelibatan DPR bersama pemerintah sangat penting untuk menjaga legitimasi dan keadilan keputusan. Proses ini harus memastikan bahwa perubahan batas wilayah itu dilakukan secara legal, terukur, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Ketiga, dampak ekonomi, sosial, politik, dan sejarah. Pengalihan empat pulau ini tidak hanya berdampak pada aspek pemerintahan, tetapi juga pada dinamika ekonomi dan sosial masyarakat. Faktor sejarah tidak boleh diabaikan, karena menyangkut identitas dan kepercayaan publik.
Keempat, potensi instabilitas. Jika pengalihan pengelolaan pulau ini tidak dilakukan melalui jalur hukum yang sah, maka keputusan ini bisa memicu instabilitas dan keresahan di masyarakat. Oleh karena itu, harus dilakukan proses legislasi yang transparan dan akuntabel untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat menjadi prioritas.
Pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara memerlukan evaluasi yang lebih mendalam dan proses legislasi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Salah seorang kolega mengemukakan pandangan demikian. Kasus empat pulau teritori Aceh yang dialihkan ke Sumatera Utara oleh Mendagri Tito Karnavian itu berpotensi digugat sebagai kasus mal -administrasi.
Pertama, permusyawaratan antara Gubernur Ibrahim Hasan dengan Gubernur Raja Inal telah menetapkan keempat pulau tersebut tetap menjadi teritori Aceh.
Kedua, berdasarkan UU Prov Aceh maupun UU Privonsi Sumut. Dengan tindakan gegabah itu Tito Karnavian dapat dilaporkan ke Ombudsman.
Lebih dari itu Tito Karnavian juga bisa dilaporkan ke DPR sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang, di mana Tito Karnavian termasuk orang yang telah bersumpah untuk mentaati Undang-Undang.
Mudah-mudahan polemik ini bukan pengalihan isu tentang keaslian Ijazah Jokowi atau kasus penambangan nikel di kawasan kepulauan Raja Ampat, maupun penampakan kapal-kapal bernama JKW Mahakam dan Dewi Iriana yang mengangkut hasil penambangan dari sana.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Jokowi, Oh Jokowi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (2): Menumpas PKI dan Menghindarkan Indonesia dari Negara Komunis



No Responses