Pro Kontra Warga Negara Beragama

Pro Kontra Warga Negara Beragama
Muhammad Chirzin

Oleh: Muhammad Chirzin

SETARA Institute menilai Negara seharusnya tidak memaksa warga Negara percaya agama. Amnesty International Indonesia anggap Putusan MK soal Masyarakat Wajib Beragama sebagai penyimpangan.

Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Implikasi dari sila pertama tersebut bahwa setiap warga negara Indonesia niscaya bertuhan, apa dan siapa pun Tuhannya, dan bertuhan identik dengan beragama. Sementara orang bernarasi bahwa ateis (tidak-bertuhan) itu adalah sebuah sikap berketuhanan atau sikap beragama.

Peneliti SETARA Institute, Azeem Marhendra Amedi, menilai negara seharusnya tidak memaksakan warga negara untuk menganut suatu agama ataupun kepercayaan.

TEMPO.CO, Jakarta – 4 Januari 2025 mengunggah berita, peneliti SETARA Institute, Azeem Marhendra Amedi, menilai negara seharusnya tidak masuk terlalu jauh ke ranah personal warga negara. Dalam hal ini, negara seharusnya tidak memaksakan warga negara untuk menganut suatu agama ataupun kepercayaan.

“Kalau dalam hal ini pemohon atau warga negara secara luas dipaksa untuk benar-benar meyakini, untuk benar-benar mempercayai agama, maka di situ negara sudah masuk terlalu jauh untuk mengatur kemerdekaan pikiran dan hati nurani masyarakat.”

Azeem menjelaskan, keputusan warga negara untuk tidak mempercayai agama juga termasuk dalam ekspresi dari kebebasan beragama dan berkeyakinan itu sendiri yang tidak boleh dikurangi atau dibatasi pelaksanaannya dalam keadaan apa pun. Hal tersebut juga sudah diatur dalam Pasal 28 E ayat 2 UUD 1945. “Bahwa mereka tidak masuk ke dalam agama atau kepercayaan apa pun merupakan suatu kepercayaan, merupakan suatu keyakinan itu sendiri.”

Menurut Azeem, kebebasan berekspresi serta kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan suatu hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum internasional.

Keputusan warga negara untuk tidak memilih suatu agama atau kepercayaan tertentu dilindungi oleh Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politika atau ICCPR.
Masih menurut Azeem, warga negara itu mau memiliki keyakinan apa pun seharusnya juga sudah dijamin pula hal itu. Termasuk bebas untuk meyakini bahwa mereka tidak teridentifikasi masuk ke hal satu agama atau keyakinan mana pun.

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melarang masyarakat Indonesia untuk tidak menganut satu agama atau kepercayaan. MK berpendapat, UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara dengan tegas meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi yang religious atau godly constitution.

“Kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu karakter bangsa dan telah disepakati sebagai ideologi atau kondisi ideal yang dicita-citakan” ujar Hakim MK, Daniel Yusmic Foekh ketika membacakan dasar pertimbangan putusan, Jumat, 3 Januari 2025.

Putusan MK ini dibacakan terkait permohonan uji materiil nomor perkara 146/PUU-XXII/2024 terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal ini, MK memandang kebebasan beragama dan berkepercayaan bukan berarti masyarakat bisa memilih untuk tidak beragama atau berkepercayaan.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyatakan bahwa keputusan MK mewajibkan masyarakat Indonesia untuk beragama merupakan suatu paksaan. Menurut Usman Hamid, putusan Mahkamah Konstitusi mengharuskan masyarakat Indonesia untuk beragama adalah suatu penyimpangan, karena ini tidak sejalan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2005.

“Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyatakan, istilah kepercayaan dan agama agar dimaknai secara luas, hingga mencakup kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun,” kata Usman Hamid dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 3 Januari 2025.

Usman Hamid mengatakan, warga negara atau manusia harus terbebas dari pemaksaan untuk memiliki agama atau menganut suatu kepercayaan. Keputusan MK mewajibkan masyarakat Indonesia untuk beragama merupakan suatu paksaan. Seseorang harus bebas dari pemaksaan untuk memiliki ataupun menganut suatu agama atau kepercayaan dan hak ini semestinya tidak dibatasi oleh negara.

Usman Hamid menganggap keputusan MK ini memaksa warga negara Indonesia untuk memilih agama yang berbeda dengan pilihannya, dan putusan MK tersebut turut memiliki dua unsur, yakni pemaksaan untuk memiliki agama, dan pelarangan bagi masyarakat yang milih tidak mempercayai suatu agama atau keyakinan.

Masih menurut Usman Hamid, Pasal 18 ayat 2 ICCPR menjelaskan tentang setiap negara untuk tidak memaksa seseorang dalam menganut atau menetapkan agama dan kepercayaan yang sesuai dengan pilihannya. Maka, kedua poin tersebut bertentangan dengan semangat yang ada dalam ICCPR.

MK telah melarang masyarakat Indonesia untuk tidak menganut satu agama atau kepercayaan. MK berpendapat, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar konstitusi negara dengan tegas meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi yang religious atau godly constitution.

“Kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu karakter bangsa dan telah disepakati sebagai ideologi atau kondisi ideal yang dicita-citakan” ujar hakim MK Daniel Yusmic Foekh ketika membacakan dasar pertimbangan putusan, Jumat, 3 Januari 2025. Putusan MK ini dibacakan berkaitan permohonan uji materiil nomor perkara 146/PUU-XXII/2024 terhadap Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

MK memandang kebebasan beragama dan berkepercayaan bukan berarti masyarakat bisa memilih untuk tidak beragama atau berkepercayaan. MK menyatakan, pada dasarnya Indonesia bukanlah negara yang didasari pada satu dasar agama tertentu. Namun, Indonesia juga bukanlah negara sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan bernegara dan kerja-kerja pemerintahan.

Berdasarkan proyeksi PBB, jumlah penduduk dunia di tahun 2024 mencapai 8,2 miliar jiwa. Pada tahun 2024 pemeluk agama Islam di dunia diperkirakan mencapai 2,2 miliar orang, menjadi agama terbesar di dunia. Sementara itu, pemeluk agama Kristen berada di posisi kedua. Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduk dunia adalah beragama.

Penulis berpandangan bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan fitrah dan naluri bawaan untuk berkepercayaan kepada-Nya. Sedangkan Pembukaan UUD 1945 anlinea ketiga menyatakan: Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Sejalan dengan kedua tesis tersebut, penulis sependapat dengan pandangan Mahkamah Konstitusi bahwa kebebasan beragama dan berkepercayaan bukan berarti masyarakat bisa (boleh) memilih untuk tidak beragama atau berkepercayaan. Setiap Warga Negara Indonesia niscaya bertuhan dan beragama.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K