Raja Ampat Yang Kaya Akan Hayati Terbesar Di Dunia Itu Ada Tambang Nikel

Raja Ampat Yang Kaya Akan Hayati Terbesar Di Dunia Itu Ada Tambang Nikel
Raja Ampat Papua

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Menjelang Hari Raya Idul Adha 1446 H saya melihat tayangan berita di TV dimana Menteri Bahlil ditanya tentang adanya tambang nikel di Raja Ampat sebuah kawasan wisata yang indah. Saya tertarik menelusuri siapa yang punya tambang nikel dikawasan itu dan apakah memang sudah mengantongi ijin penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau.

Berita soal ini sebenarnya sudah banyak dilaporkan berbagai media nasional, bahkan media asing seperti AP juga menurunkan berita tentang hal ini. Media ini menyebutkan pengelola tambang nikel di kawasan Raja Ampat ini adalah PT. Anugerah Surya Pratama yang ternyata adalah anak perusahaan Wanxiang Group Corporation – konglomerat multinasional Tiongkok yang berkantor pusat di Hangzhou, provinsi Zhejiang , Tiongkok. Anak perusahaannya yang bergerak di bidang komponen otomotif (Wangxiang Qiaochao) adalah perusahaan komponen otomotif terbesar yang berbasis di Tiongkok jika diukur dari pendapatannya. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1969 oleh Lu Guanqiu .

Sementara PT. Wanxiang Nickel Indonesia berdomisili di Indonesia. Dengan smelter (pabrik pengolahan) yang terletak di desa Bahomotefe, Kecamatan Bungku Timur, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.

Raja Ampat yang dikenal sebagai “Surga di Tanah Papua” terancam dieksploitasi oleh sejumlah perusahaan tambang menyusul banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dikeluarkan oleh pemerintah di kawasan itu. Kondisi ini dikhawatirkan akan merubah Raja Ampat yang dikenal kaya akan biodiversitas daratan dan bawah laut menjadi kawasan bisnis pertambangan nikel yang hanya menguntungkan oligarki.
Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Moi Maya, Elon Salomo Moifilit meminta pemerintah tidak gegabah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan di Tanah Papua, terutama Raja Ampat.

Menurut Asssociated Press JAKARTA, Indonesia (AP) — Salah satu wilayah laut dengan keanekaragaman hayati paling banyak di Bumi itu terancam oleh perluasan proyek penambangan nikel di Indonesia, menurut sebuah laporan baru. Analisis satelit dan kunjungan di lapangan menemukan peningkatan pesat lahan yang diberikan untuk lubang tambang di Kabupaten Raja Ampat, sekelompok pulau tropis dekat Papua Barat, menurut laporan dari Auriga Nusantara, sebuah organisasi lingkungan dan konservasi di Indonesia.

Beberapa derajat selatan khatulistiwa, pulau-pulau ini adalah rumah bagi 75% spesies karang dunia dan lebih dari 1.600 spesies ikan, termasuk penyu sisik yang terancam punah dan pari manta karang yang rentan. Kabupaten ini memiliki setidaknya sembilan kawasan lindung laut yang tersebar di hampir 2 juta hektar (4,9 juta hektar), dan dinobatkan sebagai UNESCO Global Geopark pada tahun 2023, mengakui nilai internasional dari warisan geologinya.

Sebagian besar bahan yang ditambang di Indonesia memicu rantai pasokan internasional untuk baja tahan karat, baterai kendaraan listrik, dan banyak lagi. Para ahli khawatir bahwa ekspansi pertambangan yang berkelanjutan – yang meningkat lebih dari tiga kali lipat di daerah tersebut dalam lima tahun terakhir – akan menyebabkan deforestasi lebih lanjut, pencemaran air dan gangguan ekosistem yang berharga di daerah itu.

Kondisi alam Kawasan Raja Ampat yang beragam dan destinasi menyelam kelas dunia telah menjadi daya tarik pariwisata yang berkembang bagi Indonesia: Pada tahun 2023, daerah tersebut menarik lebih dari 19.800 wisatawan, lebih dari tiga kali lipat jumlah yang berkunjung pada tahun 2022, menurut Badan Pusat Statistik Indonesia.

Media Associated Press melaporkan bahwa masyarakat lokal yang bergantung pada daerah itu untuk mata pencaharian lokal mereka – termasuk penangkapan ikan subsisten untuk makanan dan kegiatan terkait pariwisata untuk mendapatkan pendapatan – mengatakan mereka telah melihat penurunan kualitas air sejak penambangan dimulai, kata ahli ekologi kelautan Edy Setyawan, yang bekerja di Raja Ampat.

Laporan Auriga Nusantara menemukan bahwa lahan yang digunakan untuk pertambangan di Raja Ampat tumbuh sekitar 494 hektar (sekitar 1.220 hektar) dari tahun 2020 hingga 2024. Itu sekitar tiga kali tingkat ekspansi dari lima tahun sebelumnya. Total area izin untuk penambangan di Raja Ampat – semua untuk nikel – adalah lebih dari 22.420 hektar, atau sekitar 55.400 hektar.

Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini dari fraksi PDI-P tidak bisa menerima adanya aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang selama ini menjadi daerah dengan kekayaan hayati terbesar di dunia.

“Raja Ampat bukan kawasan biasa. Ini adalah salah satu surga biodiversitas laut dunia yang sudah diakui UNESCO sebagai Global Geopark. Kawasan ini bukan tempat yang bisa dikompromikan untuk kegiatan pertambangan, jangan rusak kawasan ini hanya demi mengejar hilirisasi nikel,” kata Novita dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (4/6/2025). Dia mengatakan Raja Ampat yang terdiri dari lebih dari 610 pulau adalah rumah bagi 75 persen spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang dan lebih dari 1.500 spesies ikan.

Novita Hardini menmbahkan bahwa sejumlah pulau kecil di kawasan tersebut kini telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel bahkan sebagian sudah aktif ditambang. Menurut Novita, praktik pertambangan nikel di Raja Ampat telah melanggar aturan perundang-undangan. “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan jelas menyebut bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian. Tidak ada satu pun pasal yang melegalkan eksplorasi tambang di kawasan tersebut,” jelasnya.

Meskipun putusan Maret 2024 oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia bahwa pulau-pulau kecil memerlukan perlindungan khusus dari kegiatan berbahaya yang tidak normal — termasuk pertambangan — karena mengancam ekosistem di daerah yang rentan, pertambangan terus berdampak buruk pada masyarakat.

Dalam tanggapan tertulis Desember 2024 atas pertanyaan AP tentang mengapa pulau-pulau kecil masih ditambang di Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia mengatakan ada “kebutuhan kritis untuk penilaian dampak lingkungan yang ketat dan praktik pembangunan berkelanjutan” untuk pulau-pulau kecil. Kementerian tidak segera menanggapi permintaan komentar tentang pertambangan di Raja Ampat.

Sementara itu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bakal evaluasi pengelolaan tambang di wilayah Raja Ampat. Langkah ini diambil menyusul temuan Greenpeace yang mengungkap adanya aktivitas pertambangan di beberapa pulau kecil di kawasan tersebut, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K