Oleh: Daniel Mohammad Rosyid @ KITA
Kedua agenda politik penting itu tidak mungkin tanpa membatalkan UUD 10/8/2002 yang telah memberi monopoli politik pada partai-partai politik. Rangkaian maladministrasi publik mengalir deras termasuk maladministrasi Polri yang juga memonopoli ketertiban dan keamanan. Akibatnya, baik politik maupun kamtibmas menjadi barang langka, dan mahal tidak terjangkau masyarakat yang tetap saja di posisi jongos politik dan kamtibmas. Deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara berawal dari sini. Jagad politik dihuni para bandit, badut, dan bandar politik yang ngglembuk, nggendham, dan nyopet kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat yang dilaksanakan MPR dirampas partai-partai politik dengan menjadikannya sebagai institusi tunggal yang berhak mengajukan pasangan presiden dan wakil presiden, lalu seolah menyerahkan kembali kedaulatan rakyat itu melalui pemilihan langsung. Pilpres langsung ini telah didaku kaum reformis sebagai kemenangan paling ikonik masyarakat sipil atas otoriterianisme Orde Baru yang didukung militer. Kini agenda reformasi yang berpijak pada UUD 10/8/2002 itu telah terbukti gagal total.
Pilpres langsung oleh 160 juta pemilih (rata-rata tidak lulus SMP) di 800 ribu TPS yang tersebar dibentang kepulauan seluas Eropa ini memang failed by design. Sistem pemilu Indonesia adalah yang paling kompleks dan mahal di dunia. Menyerahkan seleksi presiden dan wapresnya pada massa pemilih yang rationally ignorant seperti ini hanya akan menghasilkan asal pilih massal. Presiden terpilih pun hanya petugas partai yang menjalankan agenda parpol, bukan mandataris MPR yang menjalankan GBHN sebagai pernyataan kehendak seluruh rakyat yang merdeka dan berdaulat. Kelolosan Gibran sebagai Cawapres adalah bukti paling ikonik dari kelemahan UUD 10/8/2002 itu.
Di era pemerintahan Jokowi selama 10 tahun, Kepolisian telah diperkuat secara berlebihan untuk menjaga kepentingan presiden dan para taipan oligarki yang mendukung presiden bahkan untuk menghadapi elite parpol yang berseberangan dengannya, terutama PDIP. Kepolisian menjadi instrumen kekerasan dan power abuse sehingga polisi tidak lagi berpihak pada rakyat, tapi berpihak pada presiden dan oligarki. Yang terjadi bukan democratic policing tapi justru regime policing. Belajar dari Prabowo yang telah mendirikan Gerindra, Jokowi akhirnya mendirikan PSI sebagai kendaraan politiknya.
Model pemanfaatan polisi dan juga KPK oleh Presiden era Jokowi untuk menghadapi lawan-lawan politik presiden harus dihentikan oleh Presiden Prabowo sendiri. Ini hanya mungkin jika kehidupan berbangsa dan bernegara dikembalikan sesuai UUD 18/8/1945. KITA akan berusaha mengkonsolidasikan seluruh aspirasi, kompetensi dan aksi rakyat semesta untuk menegakkan amanat UUD’45 tersebut.
Surabaya. 4 Oktober 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Jokowi, Oh Jokowi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (2): Menumpas PKI dan Menghindarkan Indonesia dari Negara Komunis

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya



No Responses