Oleh: Gde Siriana Yusuf
Amnesti terhadap Hasto Kristiyanto dan abolisi terhadap Tom Lembong bisa dibaca sebagai bagian dari konsolidasi elit nasionalis oleh pemerintahan baru. Namun, konsolidasi itu akan timpang jika hanya menyentuh lingkaran atas kekuasaan. Rekonsiliasi sejati tidak cukup dengan memaafkan sesama elit—ia juga harus menyentuh mereka yang selama ini menjadi korban represi, kriminalisasi, dan pembungkaman di era sebelumnya.
Langkah selanjutnya yang paling mendesak dan bermakna adalah rehabilitasi penuh terhadap para aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan warga sipil yang telah dikriminalisasi selama pemerintahan Jokowi, hanya karena mereka menyuarakan kritik terhadap negara. Banyak dari mereka dituduh menyebar hoaks, ditangkap karena Undang-Undang ITE, diintimidasi aparat, bahkan kehilangan pekerjaan dan masa depan. Negara harus hadir untuk memulihkan nama baik mereka, memberikan kompensasi, dan menjamin kebebasan berpendapat tanpa rasa takut.
Sebagai puncak dari agenda pemulihan keadilan, negara harus mengungkap kebenaran dan menuntaskan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI di KM50 yang hingga hari ini masih menjadi luka terbuka dalam sejarah penegakan hukum dan HAM Indonesia. Peristiwa ini bukan hanya soal politik—ini adalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat negara. Keadilan tidak boleh dibarter dengan stabilitas semu.
Begitu pula dengan Tragedi Kanjuruhan—salah satu tragedi stadion paling mematikan dalam sejarah sepakbola dunia yang menewaskan 135 orang. Hingga kini, proses hukumnya cacat, penuh kejanggalan, dan tidak menyentuh aktor-aktor struktural yang paling bertanggung jawab. Negara punya kewajiban moral dan hukum untuk mengungkap kasus ini secara adil, transparan, dan menyeluruh, bukan sekadar menjadikan aparat rendahan sebagai kambing hitam. Keadilan bagi para korban Kanjuruhan adalah batu ujian integritas pemerintahan baru dalam menegakkan HAM.
Tidak boleh ada lagi kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis. Tidak boleh ada lagi pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Negara tidak boleh membalas kritik dengan intimidasi, dan tidak boleh menyamakan suara oposisi dengan ancaman terhadap negara. Di era baru ini, kritik harus dirayakan, bukan dibungkam. Aktivisme harus dilindungi, bukan dimatikan.
Kalau pemerintahan Prabowo ingin mewarisi legitimasi moral, maka agenda keadilan transisional ini tidak bisa ditunda-tunda. Ini bukan soal membongkar masa lalu untuk dendam, tapi untuk memastikan masa depan yang lebih adil, demokratis, dan bebas dari impunitas.
Jakarta, 5 Agustus 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur



No Responses