Oleh : Sri Radjasa
Pemerhati Intelijen
Delapan puluh tahun sejak Proklamasi, republik ini terus bergerak di antara idealisme para pendiri bangsa dan realitas politik-ekonomi yang kerap mengecewakan. Pembangunan yang seharusnya menjadi alat pembebasan justru sering menempatkan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Pola top down yang melekat dalam tradisi birokrasi kita membentuk jarak antara negara dan warga, meninggalkan ruang kosong yang kemudian diisi oleh kekuatan-kekuatan informal yang kian hari semakin beringas yaitu mafia politik, mafia ekonomi, mafia hukum.
Kesenjangan sosial yang melebar bukan hanya statistik kering, ia adalah gejala dari konsentrasi kekuasaan yang menyempit. Oligarki tumbuh bukan semata karena kecanggihan modal, tetapi karena negara memberi ruang bagi simbiosis kekuasaan dan kapital yang sulit dibedakan batasnya. Dari segelintir lingkar elite inilah muncul apa yang dalam kajian organized crime disebut godfather, dimana patron-patron yang mengatur garis komando, membiayai jaringan, dan mengendalikan keputusan publik dari balik layar.
Fenomena ini, seperti diuraikan dalam berbagai studi korupsi struktural dari Susan Rose-Ackerman hingga Vito Tanzi, dimana selalu bermula dari keterhubungan antara institusi lemah dan kepentingan kuat. Di Indonesia, relasi ini menemukan panggungnya pasca-reformasi ketika demokrasi elektoral berkembang lebih cepat dibanding kapasitas kelembagaan negara untuk mengawasinya. Negara membuka pintu, tetapi lupa menempatkan penjaga. Dalam kekosongan itulah bayang-bayang mafia merasuk.
Kekacauan tata kelola pemerintahan satu dekade terakhir memperlihatkan bagaimana kelompok-kelompok informal itu bukan lagi sekadar rumor konspiratif. Mereka telah membentuk struktur paralel yang operasional dan efektif, punya hierarki, sistem komunikasi, sumber daya, bahkan mekanisme intimidasi yang sistematis. Mafia menyerupai “negara dalam negara”, sebuah entitas yang bekerja melampaui batas moral, hukum, dan demokrasi, tetapi memanfaatkan seluruh instrumen negara untuk memperkuat dirinya.
Berbagai kasus besar memperlihatkan pola yang sama seperti dugaan korupsi pertamina, skandal tata niaga timah, manipulasi industri sawit, tambang ilegal yang tak pernah padam, hingga praktik penggelapan pajak dan political laundering di lingkar kekuasaan. Kesemuanya menampilkan kombinasi serupa dari pejabat negara, aparat penegak hukum, pemilik modal, struktur premanisme berkedok ormas, serta politisi yang menjadikan “kekuasaan” sebagai instrumen transaksi. Kompleksitas modus, skala kerugian, serta penggunaan kekuatan koersif, baik fisik maupun digital yang menegaskan bahwa kita tengah berhadapan dengan organized crime yang telah melebur ke dalam sistem negara.
Laode Ida, dalam kritiknya yang tajam, menyebut Indonesia menunjukkan ciri-ciri negara mafia dimana hukum tunduk pada politik, partai menjadi kendaraan transaksi, media dikendalikan pemilik modal dan pejabat, sementara ruang kritik publik direpresi melalui kriminalisasi.
Pernyataan ini bukan hiperbola. Berbagai indikator tata kelola mulai dari Global Integrity Index hingga Corruption Perceptions Index menunjukkan kemunduran signifikan. Demokrasi prosedural tetap berjalan, tetapi substansi demokrasi berupa transparansi, akuntabilitas, dan kontrol publik kian melemah.
Dalam kerangka filsafat politik, keadaan ini mirip apa yang diperingatkan Hannah Arendt sebagai “banalitas kekuasaan”, yaitu keburukan tidak lagi muncul dari tirani tunggal, melainkan dari birokrasi yang membiarkan dirinya dibajak oleh kepentingan-kepentingan partikular. Sementara itu, Plato dalam The Republic mengingatkan bahwa negara akan runtuh ketika ia dikuasai oleh mereka yang lebih mencintai keuntungan pribadi ketimbang keadilan publik. Kita sedang melihat gejala itu, jelas, gamblang, dan berulang.
Jika pola ini tidak dihentikan, Indonesia berisiko meluncur ke titik yang oleh banyak ilmuwan disebut kleptokrasi, dimana negara yang dioperasikan untuk memperkaya segelintir elite. Ketika hukum menjadi alat untuk menyandera lawan politik, ketika jabatan publik ditebus seperti transaksi bisnis, ketika sumber daya alam menjadi komoditas jaringan informal, maka negara tak ubahnya panggung predator yang memangsa warganya sendiri.
Dalam konteks ini, pendekatan kompromi politik terhadap berbagai persoalan hukum yang melibatkan elite, seperti langkah Presiden Prabowo yang memilih meredam tensi dengan Presiden Jokowi, justru menciptakan preseden berbahaya. Kompromi politik mungkin meredakan permukaan, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah, yakni sistem yang telah disusupi, struktur yang telah keropos, dan jaringan mafia yang telah mengakar jauh lebih dalam dari yang terlihat.
Jika kompromi dijadikan norma, negara perlahan digiring menuju killing ground: ruang kosong pemerintahan di mana hukum berhenti bekerja, tetapi kekuasaan informal tumbuh tanpa kendali. Ini adalah wilayah paling berbahaya dalam sejarah politik mana pun, tempat di mana republik mulai runtuh bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh pembusukan dari dalam.
Delapan puluh tahun merdeka seharusnya cukup bagi kita untuk belajar bahwa negara hanya kokoh jika keberpihakan moralnya jelas yaitu pada rakyat, bukan pada mafianya, pada keadilan, bukan pada transaksi kekuasaan. Republik ini memang dibangun oleh para politisi, tetapi ia bertahan karena keberanian warganya untuk menjaga integritas negara dari tangan-tangan gelap.
Kini, pertanyaannya sederhana namun fundamental, apakah kita membiarkan negara jatuh di kaki mafia, atau kita memilih berdiri mempertahankannya?
EDITOR: REYNA
Related Posts

Jangan Masuk Amerika Bila Anda Gemuk

Duwitokrasi Merusak Seluruh Nilai Dan Fungsi Kekuasaan

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Jokowi, Antara Luka Hati dan Rasio Politisi

Ketika Ruang Bicara Dibelenggu: Pembela Dr. Tifa Menuntut Penghentian Penyidikan

Nasionalisme Prabowo: Jalan Baru atau Bayang-Bayang Jokowi?

Dialog Kebudayaan: Menjemput Peradaban Surabaya

Kuliah Lapang Mahasiswa S3 Sekolah Pasca Sarjana UB: Integrasi Teori dan Praktik untuk Solusi Lingkungan Berkelanjutan

Fakus Perjuangan Kita – Selamatkan Indonesia Dari Kehancurannya

Panja DPR Ambil Alih Komando Reformasi Penegak Hukum



No Responses