Oleh : Salamuddin Daeng
Sekarang bangsa Indonesia, emak-emak Indonesia belum berdaulat di dapurnya. Apa buktinya? Bahan bakar utama yang digunakan emak-emak untuk memasak bagi anggota keluarganya sebagian besar adalah bahan bakar yang diimpor dari luar negeri. Apa bahan bakar tersebut? yakni Liquid Petroleum Gas (LPG).
Banyak publik bertanya, mengapa kita impor LPG? Sementara Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia. Bukan hanya itu, Indonesia adalah produsen dan eksportir gas alam yang termasuk terbesar di dunia. Mengapa bisa malah impor LPG untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dalam negeri?
Perlu diketahui bahwa LPG itu adalah minyak bumi atau dibuat dari minyak bumi atau sisa pengolahan minyak bumi pada saat diolah menjadi BBM. LPG berbeda atau bukan gas alam sebagaimana yang dipersepsikan awam. Produk gas alam itu dapat berupa Liquid Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG), sedangkan produk dari minyak bumi salah satunya adalah LPG.
Sekarang Indonesia adalah negara net importir minyak bumi, dan salah satu negara pengimpor LPG yang merupakan sisa pengolahan minyak terbesar di dunia. Dalam urusan minyak bumi dan LPG tersebut, Indonesia mengalami kerugian berkali-kali yakni harus mengimpor dan harus mensubsidi. Keadaan sektor energi minyak bumi dan BBM membuat negara ini terjerat dalam masalah yang harus dicari jalan keluarnya.
Impor dan Subsidi LPG
Subsidi adalah kewajiban negara kepada rakyat. Hal itu mutlak dilakukan sebagai bukti kehadiran negara dalam kehidupan ekonomi rakyat. Subsidi terkait kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban yang menjadi amanat konstitusi negara sehingga harus dijalankan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Namun subsidi dapat dipandang tidak adil bagi ekonomi jika barang yang disubsidi adalah barang impor atau energi impor. Sementara ada energi penggantinya yang tidak kalah kualitasnya dan kegunaannya, namun cenderung terabaikan atau tidak secara optimal diamanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan energi nasional. Kegawatan ekonomi semacam itu terjadi dalam urusan LPG impor Indonesia dan LPG tersebut harus disubsidi APBN sangat besar.
Mensubsidi barang yang diimpor adalah seburuk-buruk masalah dalam ekonomi dengan dua kerugian sekaligus, yakni melemahkan ekonomi negara-negara terhadap luar negeri dan mensubsidi ekonomi negara lain.
LPG subsidi 3 kg impor tersebut jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini diperkirakan lebih dari 80 persen LPG tersebut diimpor dari luar negeri. Jumlahnya berkisar antara 10 juta ton – 11 juta ton per tahun. Pemerintah kesulitan mengurangi impor dikarenakan kebutuhan nasional terutama bahan bakar rumah tangga yang meningkat. Akibatnya beban keuangan keuangan negara dan rakyat bertambah.
Menurut data dari APBN buku II tahun 2025 menyebutkan bahwa jumlah LPG 3 kg subsidi pada tahun 2021 mencapai 7,5 juta metrik ton, meningkat menjadi 8,2 juta metrik ton pada tahun 2024. Meskipun diprediksi pada tahun 2025 akan mencapai 8,17 juta metrik ton, namun belum diketahui secara pasti apakah benar akan sedikit mengalami penurunan dibanding sebelumnya.
Subsidi LPG menjadi salah satu komponen subsidi terbesar dalam seluruh subsidi energi pada APBN 2025. Menurut data nilai subsidi energi pada tahun 2025, subsidi LPG mencapai 68,7 triliun rupiah, adalah subsidi tertinggi sesudah subsidi listrik yakni 89,1 triliun rupiah. Semakin gawat, subsidi LPG 3 kg akan meningkat menjadi 80,3 triliun rupiah pada tahun 2026 mendatang menurut proyeksi APBN.
Subsidi barang impor yang tidak semestinya terjadi. Mengapa? Karena Indonesia memiliki gas alam yang dapat mengganti LPG tersebut. Sekarang ini menurut data produksi energi primer Indonesia jumlah produksi gas alam sudah hampir setara jumlah produksi minyak bumi dan masih bisa ditingkatkan lagi.
Seberapa Besar Produksi Gas Alam
Sulit dicari data yang pasti seberapa besar produksi gas alam Indonesia. Terutama sekali karena data yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga tidak ada yang seragam. Pemerintah sendiri tidak mencoba membuat data-data yang seragam yang memudahkan perencanaan energi secara baik. Namun ada baiknya kita membaca data-data yang disajikan berbagai lembaga berikut ini.
CIA.gov mempublikasikan negara-negara dengan cadangan gas terbukti menyatakan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-12 negara dengan cadangan gas alam terbukti terbesar di dunia. Cadangan gas terbukti yang dimiliki Indonesia mencapai 2.866 triliun cu m. Sebagai catatan, konsumsi nasional gas alam Indonesia hanya sekitar 42,42 miliar cu m. Menurut CIA, Indonesia konsumen gas alam urutan ke-32 di dunia. Sebagai catatan bahwa 5 besar produsen gas alam terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, Rusia, Iran, Qatar, dan Kanada, memiliki cadangan gas terbukti 2.056 triliun cu m.
Data lainnya menyebutkan bahwa Indonesia memproduksi sekitar 2 quadrilion Btu natural gas pada tahun 2023 dan berada pada urutan ke-13 sebagai produsen terbesar di dunia. Data dari Worldmeter menyebutkan bahwa produksi gas alam Indonesia sebesar 3.143.035 mmcf (juta kaki kubik) sedangkan konsumsinya 1.501.241 mmcf. Sebanyak 47 persen gas bumi yang diproduksi digunakan untuk kebutuhan nasional. Worldmeter menyatakan cadangan gas Indonesia sebesar 103.350.000 Mmcf. Dengan kapasitas produksi saat ini, maka akan habis dalam waktu 33 tahun mendatang.
Berdasarkan Laporan Kinerja Kementerian ESDM Tahun 2023 (yang dikeluarkan pada Februari 2024), potensi minyak dan gas bumi di Indonesia masih sangat besar dari 128 basins yang ada di Indonesia. Cadangan proven gas bumi Indonesia per tahun 2023 sebesar 35,30 TCF dengan produksi sebesar 2,42 TCF. Potensi pasokan gas bumi untuk tiga tahun ke depan akan diperoleh dari blok-blok di sekitar Sumatera dan Jawa dengan potensi pasokan berkisar antara 50-60 BBTUD. Sementara itu, potensi pasokan LNG sampai dengan lima hingga tujuh tahun ke depan akan diperoleh dari sumber domestik, di antaranya dari Bontang, Donggi-Senoro, Tangguh, Genting, Abadi, dan Andaman.
Ekspor Gas Alam
Data produksi gas alam Indonesia secara umum menggambarkan bahwa cadangan gas alam melimpah dan dapat diproduksi secara melimpah. Usaha merealisasikan swasembada energi sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah dalam mengatasi berbagai hambatan regulasi dan perjanjian kontrak ekspor.
Mengingat sebagian besar gas alam Indonesia dialokasikan untuk pasar luar negeri. Pemerintah sebelumnya terikat kontrak penjualan jangka panjang gas alam dan LNG dengan negara-negara tertentu. Selain itu perkembangan harga gas alam dan LNG ekspor telah mendorong pengusaha lebih memilih pasar ekspor.
Akibatnya alokasi gas dalam negeri semakin terbatas. Banyak pengusaha baik swasta maupun BUMN mengeluhkan mengenai alokasi gas dalam negeri. Keterbatasan alokasi gas dialami juga oleh BUMN yang ditugaskan pemerintah dalam mendistribusikan gas alam ke masyarakat.
Data BPS menyebutkan bahwa Indonesia mengekspor gas alam terbesar ke Jepang, Korea, China, dan Singapura. Total ekspor gas alam Indonesia mencapai 15.490.700.000 kg pada tahun 2024 dengan nilai USD 8.907.700.000. Dengan demikian, harga jual rata-rata gas alam adalah USD 0,57 per kg atau 9.488 rupiah per kg.
Data BPS tersebut memang menunjukan bahwa harga gas yang dijual ke luar negeri cukup baik dan menguntungkan bagi devisa negara dan perusahan eksportir gas. Namun keadaan ini membuat kepanikan industri dalam negeri yang terpaksa menghadapi alokasi gas yang makin menipis karena pemerintah dan perusahan produsen gas lebih memilih pasar ekspor.
Kondisi ini berakibat rakyat tidak dapat mengkonsumsi gas alam sebagai bahan bakar. Bukan hanya masyarakat umum yang menghadapi masalah kelangkaan atau kekurangan pasokan gas alam, namun juga kalangan industri menghadapi hal yang sama.
Akibatnya, Indonesia tidak kompetitif secara global karena tidak dapat mengkonsumsi gas alam murah bagi usaha menopang produksi industri, transportasi dan bahan bakar rumah tangga. Padahal data menunjukkan bahwa negara-negara yang haus dan konsumen gas alam besar adalah yang paling kompetitif dalam industri mereka.
Sebagaimana data dari EIA menyebutkan bahwa konsumsi gas alam global mencapai 144.892 bcf. China mengkonsumsi 13.961 bcf, sedangkan Indonesia mengkonsumsi 2.355 bcf. Indonesia tampaknya mengabaikan bahwa cadangan dan produksi gas alamnya besar, namun tidak terhubung dengan industri, transportasi, dan memperkuat ekonomi rumah tangga. Padahal itu seharusnya dapat dilakukan.
Kesimpulan Emak-Emak Harus Berdaulat
Indonesia memiliki cadangan gas alam yang besar, namun masih mengimpor LPG yang sangat besar untuk kebutuhan domestik. Hal ini disebabkan oleh gas alam yang diprioritaskan bagi pasar ekspor, kurangnya infrastruktur gas alam dan kebijakan yang tidak mendukung penggunaan gas alam sebagai bahan bakar.
Untuk itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan produksi gas alam, membangun infrastruktur gas alam, dan mengurangi ketergantungan pada impor LPG. Pemerintah juga perlu memperbaiki kebijakan subsidi energi agar lebih adil dan efektif. Subsidi dapat diarahkan kepada pembangunan infrastruktur dan subsidi gas alam yang merupakan produk negara sendiri.
Subsidi energi harus diarahkan kepada subsidi bahan bakar yang dihasilkan oleh negara dan diberikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan dan sektor strategis yang dapat memompa pertumbuhan ekonomi. Sumber dana subsidi dapat diperoleh dari pendapatan ekspor separuh gas alam Indonesia dan hasil penghematan subsidi LPG 3 kg.
Dengan demikian, Indonesia secara perlahan lahan namun pasti dapat mengurangi ketergantungan pada impor LPG dan meningkatkan kemandirian energi melalui pengembangan gas alam dan produk turunannya yakni LNG dan CNG. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang mandiri dalam energi dikarenakan cadangan gas alam yang melimpah.
Namun, hal ini memerlukan komitmen dan kerja keras dari pemerintah dan masyarakat. Dengan meningkatkan eksplorasi dan produksi gas alam, membangun infrastruktur gas alam dan memperbaiki kebijakan subsidi energi. Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor LPG, meningkatkan diversifikasi energi dan kemandirian energi.
Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa Indonesia harus mencapai swasembada energi. Memompa produksi minyak sangatlah tidak mungkin. Namun dalam waktu dekat, mengganti minyak dengan gas alam sangat mungkin di banyak sektor, mulai dari sektor industri, listrik, transportasi, sampai rumah tangga. Karena swasembada energi visi presiden Prabowo adalah jalan bagi emak-emak kembali berdaulat di dapur. Memasak untuk anggota keluarga secara patriotik dengan kebangaan karena bahan bakarnya produk bangsa sendiri.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Faizal Assegaf: Saya usulkan mediasi agar gugurkan status tersangka Roy cs

Lapoan PBB: Jakarta, ibu kota terpadat di dunia dengan 42 juta penduduk

Delegasi konferensi perubahan iklim PBB mencapai kesepakatan di menit-menit terakhir, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan.

Desak Kejagung dan Polri Tangkap Importir Thrifting dan Pejabat Terlibat, Ketua Umum APKLI-P: Gurita Puluhan Tahun Laksana Kanker Stadium IV

Maklumat Yogyakarta: Menolak Munculnya Gagasan Amandemen ke 5 UUD NRI 1945

Dua Jalan ke Israel: Gus Dur di Jalur Merpati, Yahya Staquf Meniti Sayap Elang

Perlawanan Secara Terbuka

Gus Yahya Melawan, Tolak Mundur Dari Jabatan Ketua PBNU

Ewuh Ing Pambudi, Boyo Keduman Melik, Sengsoro Wekasanipun

Kombes Pol Dofir: Anak Rentan Alami ‘Stunting Ideologi’, Densus 88 Ajak Semua Pihak Cegah Paparan Paham Radikal



No Responses