Oleh: Budi Puryanto
“Bagaimana dengan Kapitayan yang Ki Pandas Alas ajarkan kepada orang-orang. Apakan juga akan memberikan kesaktian bagi penganutnya,” tanya Ki Patih.
“Sama sekali tidak. Para penganut Kapitayan melakukan sembahyang sebagai wujud rasa terima kasih kepada Sang Hyang Taya. Kita sudah diberi hidup dan penghidupan. Negeri ini tak kurang apapun. Rasa senang, ayem tentrem. Semua adalah pemberian Sang Hyang Taya. Jadi, sudah seharusnya kita berterima kasih dengan manembah kepadanya,” jawan Ki Pandan Alas.
“Kami meyakini, apabila kami bertima kasih atas semua pemberiannya, juatru Sang Hyang Taya akan memberi lebih banyak lagi.”
“Tapi sebaliknya, kalau seseorang tidak mau berterima kasih atas semua anugerah yang diterimanya, Sang Hyang Taya akan memberikan hukuman, seperti bencana, serba kekurangan, rasa tidak aman, tidak tenteram, was-was. Bisa juga diberikan raja yang sewenang-wenang, kejam, bengis, dan tidak punya welas-asih terhadap kawulo,” jelas Ki Pandan Alas.
Apa yang dikatakan Ki Pandan Alas didengar oleh Ki Patih seperti obor yang menerangi gelap pikirannya. Keadaan Jenggala sekarang seperti yang digambarkan oleh Ki Pandan Alas.
“Apakah Ki Pandan Alas sedang berbicara tentang negeri Jenggala?” tanya Ki Patih.
“Bukan Kanjeng Patih. Ini soal pemahaman atas keyakinan Kapitayan yang kami jalani sebagai paugeran hidup. Kalau misalnya negeri Jenggala sedang mengalami keadaan seperti saya sebut tadi, itu bisa diartikan sebagai pratanda teguran,” jawab Ki Pandan Alas.
Tiba-tiba ada suara kuda memasuki pelataran rumah Ki Pandan Alas. Dari pendopo rumahnya tampak seorang dengan perawakan tinggi turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kekang kuda, dia memasuki rumah Ki Pandan Alas.
“Selamat Malam Kiageng Pandan Alas, sungkem saya,” kata pria itu.
“Silakan masuk, anakmas,” jawab Ki Pandan Alas.
Setelah duduk, Ki Pandan Alas mempekenalkan tamunya kepada Ki Patih.
“Ki Patih ini Citro Menggolo. Seorang nayaka dari kadipaten Pasuruan. Wilayah timur negeri Jenggala.”
“Citro Menggolo, berikan hormatmu kepada Kanjeng Patih Jenggala ini. Barangkali kamu belum pernah bertemu secara langsung. Meskipun namanya pasti sudah kamu dengar,” kata Ki Pandan Alas.
“Hormat saya Kanjeng Patih. Sebuah anugerah bisa bertemu Kanjeng Patih disini. Saya tidak menduganya sama sekali,” kata Citro Menggolo.
Ki Pandan Alas memang dianggap sebagai guru oleh para penganut keyakinan Kapitayan. Banyak dikunjungi orang untuk berguru kepadanya. Mereka kadang tinggal untuk beberapa hari untuk mendalami ajaran itu.
Atau hanya berkunjung sebentar, menanyakan beberapa hal menyangkut persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Mereka tidak menginap. Setelah dirasa cukup, langsung pulang.
Dikalangan panganut keyakinan Kapitayan, nama Ki Pandan Alas atau juga dipanggil Kiageng Pandan Alas, sangat dihormati dan disegani. Pengaruhnya sangat luas, terutama ditanah Jawa bagian tengah hingga ke ujung timur.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 12)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 13)
Citro Menggala seorang penganut ajaran Kapitayan, dan memiliki hubungan sangat dekat dengan Ki Pandas Alas. Hubungan sebagai murid dan guru.
“Apakah ada persoalan khusus yang hendak kau ceritakan kepadaku, anakku. Biarlah Kanjeng Patih ikut mendengarkan, kalau yang akan kau ceritakan tidak bersifat khusus,” kata Kiageng Pandan Alas.
“Baiklah Kiageng. Menurut pengamatan terbatas saya, saat ini mulai muncul lagi praktek pemujaan terhadap Dewi Bathari Durga di wilayah Pasuruan dan sekitarnya. Namun masih sembunyi-sembunyi. Mereka belum menggunakan ksetra secara terbuka,” kata Citro Menggolo memulai.
“Menurut pengamatan kami secara terbatas, beberapa orang yang mengaku sebagai murid Nyi Calon Arang yang memimpin pemujaan ini. Mereka menjanjikan kesaktian dan ilmu-ilmu tinggi seperti yang dimiliki oleh Nyi Calon Arang dan para muridnya yang terkenal itu,” jelas Citro Menggolo.
“Apakah mereka sudah menggunakan kurban manusia dalam pemujaan itu,” tanya Ki Pandan Alas.
“Belum Kiageng. Namun demikian, cara pemujaan mereka yang tidak wajar itu, sudah mulai menimbulkan resah, terutama karena bisa mengganggu hubungan baik suami isteri dalam keluarga,” jawab Citro.
“Namun, justru dalam perjalanan kesini, saya mendengar penculikan anak-anak yang dikaitkan dengan adanya pemujaan di ksetra besar di dusun Girah, sebelah selatan-barat dari kotaraja Jenggala. Pelopornya, saya dengar adalah juga para murid Nyi Calon Arang yang sudah sukup lama bersembunyi. Bahkan, kalau saya tidak salah mendengar, salah satu panganut ajaran itu seorang berkedudukan tinggi di Kerajaan Jenggala,” ujar Citro Menggolo.
Mendengar penuturan Citro Menggolo, kepala Ki Patih seperti tersambar petir. Misteri gelap yang mulai terang, kini makin jelas welo-welo. Namun demikian Ki Patih mencoba untuk mengetahui lebih jauh.
“Anakmas Citro Menggolo, menurut pengamatanmu, atau menurut yang kamu dengar, atau berdasarkan desas-desus yang kamu dengar, apakah orang berkedudukan tinggi itu seorang perempuan,” tanya Ki Patih langsung menusuk ke persoalan.
“Memang menurut kabar, murid-murid Nyi Calon Arang semuanya perempuan. Namun terkait siapakah orang berkedudukan tinggi di Kerajaan Jenggala yang menjadi pelindung dan pengaman pemujaan itu, saya belum mendapatkan kejelasan, Kanjeng Patih,” jawab Citro Menggolo.
“Baiklah, aku hargai kabar yang kau berikan ini,” kata Ki Patih.
Sementara itu Kiageng Pandan Alas hanya tersnyum mendengar Ki Patih makin penasaran.
“Kiageng Pandan Alas, mohon ijin saya juga akan memberikan kabar lain terkait perkembangan diwilayah timur. Saya harap Kanjeng Patih sudah mendengarnya, sehingga apa yang akan saya katakan bukan merupakan hal baru,” kata Citro Menggolo.
Baca Juga:
“Para Adipati diwilayah timur sangat kecewa keputusan raja. Mereka bertekad hendak menolak bersama-sama keputusan itu. Mereka sudah sepakat akan menghadapi segala resiko yang akan terjadi. Termasuk apabila kerajaan menggunakan kekerasan,” kata Citro Menggolo.
“Anakmas Citro Menggolo, aku baru mendengrnya ini. Keputusan raja mana yang menjadi keberatan para Adipati diwilayah timur itu,” tanya Ki Patih mempertegasnya.
“Menaikkan jumlah tarikan pungutan pajak dan menambah jenis pungutan pajak baru. Keputusan itu dikeluarkan kira-kira satu tahun lalu. Warga sangat keberatan. Sehingga para Adipati kesulitan memenuhi permintaan kerajaan,” jelas Citro.
“Kejadian akan terlulang lagi,” kata Ki Patih pendek.
“Apa maksud Kanjeng Patih,” tanya Ki Pandan Alas.
“Ancaman dari wilayah timur itu. Dahulu sudah pernah muncul. Dan saya yang ditugasi untuk meredamnya. Saat itu saya bisa menahan gejolak para Adipati itu. Tapi aku tidak yakin untuk saat ini bisa diredam seperti dulu,” jawab Ki Patih membuat penasaran.
“Mengapa begitu Kanjeng Patih,” tanya Ki Pandan Alas.
“Saya bukan lagi Patih seperti dulu. Saya sat ini Patih tanpa kekuasaan,” jawab Ki Patih.
Ki Pandan Alas dan Citro Menggolo kaget mendengarnya. Keduanya memilih menunggu dengan sabar penjelasan Ki Patih selanjutnya.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Novel “Imperium Tiga Samudra” (9) – Prometheus

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon



rca77November 23, 2024 at 5:04 am
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-14/ […]