Oleh: Budi Puryanto
Seri sebelumnya (Seri-24):
Tentu saja Ki Patih tidak akan membiarkan langkah-langkah liar dari Permaisuri. Amat berbahaya kalau kerajaan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Akan banyak jatuh korban dari kedua belah pihak. Pada ujungnya nanti Jenggala yang akan menderita. Negara menjadi lemah. Dan itu sangat berbahaya, karena kalau datang serangan dari negeri lain, Jenggala pasti akan dengan mudah dikuasai.
“Ini harus dicegah. Perang ini tidak boleh terjadi. Harus dicari cara untuk menggagalkannya,” pikir Ki Patih.
“Ha..ha..ha…baiklah Kanjeng Putri Permaisuri, permainanmu akan aku imbangi,” tiba-tiba Ki Patih berkata sendiri. Mukanya cerah, senyumnya merekah. Pertanda dia sudah menemukan langkah yang baik untuk mengimbangi langkah Permaisuri.
“Aku harus bertemu Citra Menggala secepatnya. Tidak boleh kedahuluan gerak Ki Tumenggung ke wilayah timur itu,” pikir Ki Patih sambil mengganggukkan kepala berkali-kali. Kepala yang ditumbuhi rambut putih merata itu, masih jernih memikirkan persoalan negara. Bahkan menjadi lebih bijaksana.
**************************
SERI-25
Ki Patih benar-benar gerak cepat. Dia berhasil bertemu dengan Citra Menggala ditempat yang dirahasiakan. Beberapa kali dia bertemu ditempat itu. Dengan pakaian yang disamarkan layaknya petani.
“Bagaimana Kanjeng Patih, apakah ada perintah baru untuk saya,” kata Citra Menggala.
“Citra, semua yang pernah aku katakan kepadamu, akan segera menjadi kenyataan. Bahkan waktunya lebih cepat dari perkiraanku. Saat ini Jenggala sedang mempersiapkan pasukan segelar sepapan. Gladi perang sudah dimulai. Setiap hari, pasukan dilatih dan disiapkan untuk menghadapi perang. Jadi, saat ini Jenggala dalam posisi siap siaga perang,” kata Ki Patih.
“Kapan pasukan Jenggala akan menyerang, Kanjeng Patih,” tanya Citra Menggala.
“Belum. Masih harus menunggu hasil perundingan Ki Tumenggung dengan para adipati. Apabila permintaan Tumenggung ditolak, maka mereka diperintahkan menyerang. Perang akan pecah,” Jawab Ki Patih.
“Kita harus mengentikan perang ini. Tidak ada untungnya bagi negeri Jenggala. Hanya kerugian yang diperoleh. Negeri akan hancur. Rakyat makin menderita. Kita harus mencegah perang ini jangan sampai terjadi, bagaimanapun caranya,”kata Ki Patih.
“Bagaimana caranya Kanjeng Patih. Karena para adipati juga tidak akan mudah menyerah. Mereka sangat kecewa dengan kebijakan Jenggala. Mereka ingin memisahkan diri dari Jenggala. Kanjeng Patih tahu, sebenarnya keinginan itu sudah lama ada, hanya saja waktu itu Kanjeng Patih berhasil meredam kemarahan para adipati itu. Tetapi untuk saat ini sepertinya berat. Apalagi Jenggala sudah mempersiapkan pasukan segelar sepapan. Itu seperti sengaja memanas-manasi, Kanjeng Patih,” kata Citra Menggala.
“Citra, kita harus atur siasat. Kita punya tujuan yang lebih besar. Mmebuat perbahan tata pemerintahan Jenggala. Mengganti raja, menyingkirkan permaisuri dan seluruh begundalnya dari istana. Dan membuat aturan-aturan baru yang lebih baik dan lebih berguna bagi rakyat banyak. Bukan yang hanya menguntungkan segelintir orang saja,” jelas Ki Patih.
“Citra, aku sudah pikirkan garis besar siasat itu. Dan saat ini waktu yang tepat untuk mulai bertindak. Aku membutuhkan kamu untuk melaksanakan siasat ini. Dan hanya kamu yang saya pandang mumpuni,” kata Ki Patih.
“Saya mendengarkan Kanjeng Patih. Apa yang harus hamba lakukan,” kata Citra.
“Hanya ada satu cara untuk menghentikan perang ini. Ki Tumenggung harus berhasil membuat para adipati tetap setia kepada Jenggala. Seperti yang dahulu aku lakukan. Dengan demikian tidak ada alasan lagi perang dikobarkan,” kata Ki Patih.
“Mohon ampun, Kanjeng Patih. Rasanya ini berat bagi para adipati untuk bisa menerima cara ini. Para adipati akan malu kepada rakyat. Lagipula dalam keadaan sulit seperti sekarang ini, bagaimana rakyat bisa memenuhi permintaan kerajaan,” kata Citra .
“Semua syarat-sayaratnya para adipati yang menentukan.Semuanya. Yang penting para adipati berjanji tetap setian kepada Jenggala. Tidak ada pembangkangan atau keinginan memisahkan diri dari kerajaan,” kata Ki Patih.
“Bagaimana kalau Ki Tumenggung tidak mau menerima syarat-syarat yang diajukan para adipati,” kata Citra.
“Ingat Citra, berunding dengan para adipati adalah usulan Ki Tumenggung didepan pisowanan agung. Dia pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan bahwa gagasannya benar. Keberhasilannya ini akan dijadikan alasan kuat baginya untuk menduduki kursi Patih, yang sudah lama diidamkannya. Perkara syarat-syarat yang diajukan para adipati, bagi Ki Tumenggung itu bukan menjadi soal. Dia akan pura-pura keberatan dengan syarat-syarat itu,” jawab Ki Patih.
“Bagaimana kalau Ki Tumenggung tidak menepati janjinya. Dia pura-pura menerima syarat-syratnya didepan para adipati. Tapi sekembalinya ke Jenggala, pasukan tetap melakukan penyerangan. Karena pasukan sudah disiapkan, dengan alasan apapun, sewaktu-waktu pasukan bisa digerakkan menyerang,” sanggah Citra.
“Bagus Citra, memang sedikit saja alasan sudah cukup bagi pasukan Jenggala untuk menyerang. Tetapi alasan yang sesungguhnya bagi penyerangan itu karena Senopati memang ingin perang. Dengan perang dia akan bisa menunjukkan kehebatannya. Sesudah menang dia akan dipuja-puji sebagai pahlawan. Apa ujungnya? Jabatan Tumenggung atau bahkan Patih akan menjadi haknya,” kata Ki Patih.
“Jadi ini arena pertarungan bagi Ki Tumenggung dan Senopati,” tanya Citra.
“Tepat Citra. Ini sesungguhnya pertarungan antara kepentingan Ki Tumenggung untuk menduduki kursi Patih, dengan kepentingan Senopati untuk menduduki kursi Tumenggung atau mungkin juga kursi Patih,” kata Ki Patih.
“Lalu Kanjeng Paih sendiri,” tanya Citra.
“Saat itulah alasan yang kuat bagi raja dan tentu saja permaisuri untuk memecatku,” jawab Ki Patih.
“Gila benar, hanya urusan kursi tetapi rela mengorbankan rakyat,” celetuk Citra,
“Seperti itulah watak mereka yang sesungguhnya. Demi berebut kursi kekuasaan, dia tega menginjak-injak nasib rakyatnya,” kata Ki Patih.
“Citra, ini semua harus segera diakhiri. Manusia-manusia seperti itulah yang merusak negera. Kita harus bisa menari diatas tarian mereka,” kata Ki Patih.
“Maksud Kanjeng Patih,” tanya Citra.
“Ki Tumenggung dan Senopati harus kita benturkan,” jawab Ki Patih.
“Maaf Kanjeng Patih hamba belum paham maksud Kanjeng Patih,” tanya Citra.
“Citra, kamu bicara dengan para adipati. Buat syarat-syarat yang akan diajukan kepada Ki Tumenggung. Yang penting para adipati harus tetap berjanji setia kepada negeri Jenggala. Tapi, Citra. Ki Tumenggung jangan diijinkan kembali ke istana dahulu. Kirim utusan ke istana, dari pihak Ki Tumenggung dan pihak adipati untuk melaporkan hasilnya,” kata Ki Patih.
“Jadi, Tumenggung harus disandera untuk dijadikan jaminan,” kata Citra.
“Benar, Citra. Ada dua tujuan menyandera Ki Tumenggung. Pertama, raja benar-benar menerima hasil kesepakatan. Kedua, untuk mengurungkan niat Senopati mengirim pasukan ke timur. Bila Senopati nekad maka nyawa Ki Tumenggung menjadi terancam,” jelas Ki Patih.
“Raja pasti setuju dengan hasil perundingan Ki Tumenggung. Sebaliknya Raja pasti menolak usulan perang. Maka, Senopati pasti akan kecewa dan marah. Pasukan yang sudah disiapkan suntuk siaga perang mau diarahkan kemana?” kata Ki Patih.
“Citra, Senopati yang sedang kecewa dan marah nanti, biar aku yang urus,” jawab Ki Patih.
“Ki Tumenggung biar saja di wilayah timur hingga beberapa waktu. Biar beristirahat disana. Nanti kalau segalanya sudah selesai, boleh kamu bawa kembali ke istana. Ingat, sampai saat itu tiba, biarkan Ki Tumenggug tetap di wilayah timur, ha..ha..ha..” kata Ki Patih sambil tertawa.
Citra Menggala tersenyum kecil. Dia mengerti maksud perkataan Ki Patih. Tidak lama kemudian keduanya berpisah.
**********
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 23)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 24)
Sementara itu, Ki Tumenggung Anggawirya sedang sibuk mempersiapkan pasukan telik sandi khusus yang akan dikirimkan ke wilayah timur. Namun, dia terganggu oleh gerakan Senopati yang terlalu cepat mengambil langkah.
Gladi pasukan dalam jumlah besar itu, dipandang Ki Tumenggung bukan semata-mata untuk persiapan, kalau perundingan gagal mencapai hasil. Tapi, dia memandangnya sebagai persiapan untuk berperang, tanpa peduli hasil dari perundingan nantinya.
“Bagaimana dia bisa secepat itu menggerakkan pasukan untuk gladi. Padahal untuk gladi pasukan sebanyak itu membutuhkan biaya yang tidak kecil. Belum lagi pasukan jaga. Mengapa titik jaganya begitu banyak.Mengapa penjagaan diperluas sampai jauh diluar istana? Senopati benar-benar menciptakan suasana siaga perang. Semoga pesan ini sampai ke wilayah timur,” bisik hati Ki Tumenggung.
“Permasiuri pasti ada dibalik ini semua. Tanpa persetujuan permaisuri tidak mungkin biaya gladi yang cukup besar itu cepat sekali keluarnya. Aku tidak boleh kalah dengan Senopati dalam permainan ini. Para adipati itu harus tunduk dan menurut perintahku,” kata Ki Tumenggung kepada dirinya sendiri.
Dalam beberapa hari lagi semua pasukan telik sandi khusus akan siap diberangkan. Dia akan memantau terus perkembangan kerja telik sandi khusus itu. Pada saat yang tepat, baru dia bergerak ke timur menemui para adipati disana.
“Masih cukup waktu bagiku untuk persiapan menuju wilayah timur. Aku yakin ini adalah kesempatanku menunjukkan kemampuanku. Jenggala harus tahu, bukan hanya Ki Patih yang bisa meredam para adipati itu. Aku tidak akan sia-siakan kesempatan ini,” kata Ki Tumenggung dalam hati.
**************
Di tempat terpisah, rombongan pengamen Ki Joyo berpindah kearah timur. Diwilayah baru ini, mereka menyewa rumah kosong yang tidak ditempati oleh pemilknya. Karena masih bersiap-siap ditempat baru, pagelaran belum diadakan untuk hari itu. Sehari atau dua hari lagi mungkin pagelaran pengamen itu baru akan siap pentas.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Cindelaras, Aryadipa, dan Respati untuk jalan-jalan dengan tujuan mencari arena adu jago. Ayam jago Cindelaras sudah cukup lama tidak bertarung, sekarang saatnya bertanding.
Yang paling bersemangat adalah Respati dan Aryadipa. Respati senang banget jalan-jalan bersama Cindelaras dan melihat ayam jagonya bertarung. Kalau Aryadipa alasannya jelas, selain melihat pertarungan yang menyenangkan, uang besar menunggu sehabis pertarungan selesai.
Di desa Wonosari ini, ada arena adu jago yang cukup besar. Salah satu yang terbesar di Jenggala. Yang adu jago pun kebanyakan dari kalangn pejabat kerajaan, orang-orang kaya, dan para bebotoh besar dari luar Jenggala.
Baca Juga:
Hari itu istimewa, karena Pangeran Anom ikut dalam pertarungan adu jago di arena itu. Dia memiliki ayam jago yang terkenal hebat. Kebiasaannya kalau dia ikut bertarung selalu didampingi pengawal kerajaan, dan tidak lupa gadis-gadis cantik disampingnya. Mereka bertugas meladeni pangeran itu. Menuangkan minuman, mengambilkan makanan, dan kadang memijit-mijit badannya.
Dalam pertarungan awal, ayam jago pangeran menang. Dia mendapatkan uang dalam jumlah besar. Dalam pertarungan kedua, dengan ayam jago yang berbeda, pangeran menang lagi. Dia merasa senang sekali. Merasa ayamnya paling hebat, pangeran itu lalu melakukan sesumbar.
“Ayo ayam siapa lagi yang mau bertarung.Aku masih punya banyak ayam jago. Mau berapapun taruhannya aku ladeni. Yang penting berani melawan ayamku, ha…haa…ha,,,.” kata pangeran itu sambil tertawa dengan jumawa.
Aryadipa yang memang sudah lihai sebagai bebotoh adu jago maju kedalam arena. Dengan tenang dia berjalan menuju pangeran yang duduk ditepi lingkaran para penonton.
“Pangeran, ayam jagomu memang luar biasa. Dua kali saya lihat kedua ayamu menang terus. Sampai-sampai sulit bagimu mencari lawan tanding lagi. Tapi, pangeran. Ayam jagomu harus mencoba bertanding dengan ayam jagoku. Pangeran bisa sebutkan, berapa taruhannya. Saya akan ikuti saja,” kata Aryadipa.
Pangeran Anom kaget. Anak muda ini berani sekali. Meskipun bahasanya sopan. Tapi dia senang, karena ada yang berani menantang ayam jagonya.
Sambil bertepuk tangan dia maju kedepan.
“Baiklah anak muda. Kenalkan dulu namamu. Mana ayam jagomu. Berapa taruhan yang kau minta, aku akan penuhi. Tidak usah khawatir anak muda, kalau kurang uang, saya tinggal minta bendahara istana, uang akan datang, ha…ha….ha…..,” jawab Pangeran Anom sambil tertawa-tawa.
Aryadipa memperkenalkan namanya, dan menunjukkan ayam jagonya. Tetapi dia tidak mengatakan ayam jago milik Cindelaras. Lalu disepakati jumlah taruhan yang cukup besar.
Para penonton antusias sekali untuk menyaksikan pertarungan itu. Para bebotoh geleng kepala, karena jumlah taruhan yang besar. Mereka heran, siapa anak muda ini, tiba-tiba muncul dan berani melayani ayam jago Pangeran Anom.
Dalam waktu singkat kedua ayam sudah siap dipinggir arena. Seperti biasanya ayam diberi makan seperlunya, minum air, dan dimandikan.
Ayam cindelaras berkokok keras,” Kukuruyuuuukkkkkkk…..Kukuruukkkk…..Kukuruyukkk………,” suaranya merdu, melengking dan menggetarkan bagi yang mendengarkan.
Begitu pula, ayam jago milik Pangeran Anom juga berkokok keras. Tapi kekuatan kokoknya tidak seperti ayam Cindelaras.
Dipinggir lingkaran, Respati senyum-senyum, senang. Dia melirik kearah Cindelaras yang berdiri diam disampingnya.
“Tenang Cindelaras, ayam jagomu pasti menang. Karena dia ayam yang istimewa,” kata Respati.
“Ya semoga dia menang dalam pertarungan ini. Harus kuakui ayam milik pangeran itu sangat bagus. Itu ayam aduan yang istimewa, Kirana. Eh…Respati,” jawab Cindelaras.
Sesaat kemudian tidak terduga tangan Respati mencubitnya, karena dia terpeleset menyebut Kirana. Respati yang disebut Kirana tadi tertawa kecil, sesungguhnya hatinya sedang berbunga-bunga.
Sesaat kemudian seluruh mata tersedot kearah arena adu jago itu. Kedua ayam jago bertarung dengan sengit. Saling menendang, memukul, dan mematuk. Tapi kedua jago itu tampak bersemangat dalam bertarung. Tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sedikitpun.
Hingga turun minum yang ketiga, kedua ayam itu masih kuat bertarung. Tidak ada tanda-tanda jago mana yang akan kalah. Pangeran Anom sendiri menjadi heran. Tidak biasanya ayam jago miliknya mendapatkan lawan yang setara. Sebelum turun minum ketiga, biasanya lawannya sudah kalah atau menyerah.
“Ayam ini luar biasa. Jarang ayamku melewati turun minum ketiga. Saya khawatir dia kelelahan. Ayam ini biasanya sebelum turun minum kedua sudah menang. Tapi ini sampai turun minum ketiga, belum juga ada tanda-tanda siapa yang akan menang. Aku khawatir ayamku yang kalah,” bisik pangeran itu.
Sesaat setelah turun minum ketiga, ayam Cindelaras berkokok keras. Anehnya kokokny tidak melengking, juga tidak merdu. Tapi menebarkan tenaga yang menggetarkan dada.
Saat itu keanehan terjadi. Ayam Pangeran Anom tampak bingung dan kaget. Dalam waktu singkat, ayam Cindelaras melompat kearah lawannya. Kedua kakinya memegang leher lawannya dan mengangkatnya keatas. Lalu, kedua sayapnya memukul keras kearah dada lawannya.
“Braaaaaaakkkkkk.”
Secepat kilat lawannya jatuh terjungkal. Dari mulutnya keluar darah. Ayam Cindelaras masih mengepakkan sayapnya, sambil memandang lawannya yang terkapar.
Penonton terkejut. Diam dan melongo. Tidak sadar apa yang terjadi. Tahu-tahu ayam Pangeran Anom sudah terkapar mati. Darah merah hitam keluar dari mulut ayam itu.
Pertandingan dihentikan. Ayam Cindelaras dinyatakan menang.
Penonton tidak ada yang besorak-sorai. Mereka takut Pangeran Anom marah.
“Ayam jagomu hebat Aryadipa. Tapi jangan bersenang-senang dulu. Kamu boleh kalahkan si Doreng, tapi kamu harus mencoba ayamku yang lain. Aku jamin tidak sampai dua turun minum, aku akan menang. Taruhan kita gandakan sepuluh kalinya. Bagaimana, sanggup atau tidak. Kalau tidak sanggup bawa pulang ayammu sekarang juga,” kata Pangeran Anom kepada Aryadipa.
“Aku ikuti Pangeran. Taruhannya duapuluh kali lipat, saya juga sanggup,” kata Aryadipa pelan tapi mantap.
“Kurang ajar. Jangan sombong Aryadipa. Sebelum ayammu mati, saya ingin tahu kau beri nama apa ayammu itu,” tanya Pangeran Anom.
“Ini sebenarnya bukan ayamku sendiri. Saya hanya bebotohnya. Yang punya ayam namanya Cindelaras, itu orangnya disebelah kiri,” kata Aryadipa.
Merasa dikenalkan, Cindelaras maju kedepan arena. Membungkukkan badan dan menghormat kepada seluruh penonton.
Mendengar nama Cindelaras disebut, mendadak dada Pangeran Anom bergetar. Dia kaget, baru kali ini dia bertatapan langsung. Meskipun nama Cindelaras dibicarakan banyak orang di Jenggala, tapi masih jarang yang bertemu langsung.
“Ini rupanya Cindelaras itu. Nama yang terkenal di Jenggala. Ternyata masih muda. Paling seumuranku. Aku akan kalahkan kamu Cindelaras,” bisik hati pangeran anom, sambil memandang Cindelaras, dengan pandangan merendahkan.
Tiba-tiba dia berjalan mendekati Cindelaras dan mengatakan,” Cindelaras, aku memang sudah mendengar namamu. Dan ayammu yang hebat. Baiklah aku sudah kalah sekali. Tapi aku belum menyerah. Aku tantang ayammu betarung sekali lagi, dengan ayamku yang lain. Kali ini kamu akan kalah. Ayamku ini istimewa. Belum pernah kalah sekalipun,” kata Pangeran Anom sambil tertawa sinis.
Cindelaras mendengarkan dengan tenang perkataan Pangeran Anom. Kemudian menjawabnya,” Silakan Pangeran, ayamku pasti akan senang mendapatkan lawan tarung yang seimbang. Karena selama ini lawannya masih berada dibawah kemampuannya. Bisa jadi ayamku akan kalah, tapi bisa juga menang lagi. Bagiku kalah menang bukan tujuanku yang utama pangeran. Yang terpenting bisa menghibur penonton disini. Mereka bisa merasa senang,”jawab Cindelaras.
“Jangan banyak omong Cindelaras. Mana ayammu yang lain. Segera tunjukkan,” kata Pangeran Anom.
“Ayamku hanya ini Pangeran, satu-satunya. Ayamku sudah biasa bertarung berkali-kali dengan lawan berganti-ganti. Dia pernah melawan ayam jago tiga kali berturut-turut tanpa henti. Semua lawannya kalah. Mati,” kata Cindelaras.
Pangeran Anaom panas telinganya mendengan omongan Cindelaras. Dia ingin secepatnya mengalahkan ayam Cindelaras. Apalagi ayamnya masih segar. Belum bertarung. Sementara ayam Cindelaras sudah bertarung sekali. Pertarungan sengit yang menguras tenaga.
“Siapkan ayamku, bawa sini si Bledeg Merah,” orang yang disuruh bergerak cepat dan tergopoh-gopoh.
“Cindelaras, siapkan ayammu,” kata Pangeran Anom.
Aryadipa maju membawa ayam Cindelaras. Kali ini penonton bertepuk tangan meriah. Ada yang mulai meneriakkan: Cindelaras…Cindelaras…Cindelaras….
Tiba-tiba saja ada kekuatan yang membangkitkan keberanian, menyebar di dada para penonton. Mereka tidak lagi takut berteriak, tepuk tangan, dan tertawa-tertawa.
Suasana pertarunagn adu jago benar-benar memuncak. Ayam Cindelaras bertarung untuk yang kedua kali dengan ayam Pangeran Anom. Pertarungan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karena memang Cindelaras tidak pernah megikuti pertarungan di arena adu jago berkelas, yang khusus bagi kalangan atas. Cindelaras hanya bertarung di arena desa. Kelasnya ya hanya kelas desa atau kelas kampung. Baru kali ini Cindelaras mengikuti pertarungan adu jago yang diperuntukkan khusus bagi kalangan atas.
Kedua jago diturunkan ke arena. Sorak-sorai penonton tiba-tiba meledak tak tertahan lagi.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik
Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
is weed legal in GenevaJanuary 4, 2025 at 10:58 am
… [Trackback]
[…] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-25/ […]
look at this nowJanuary 5, 2025 at 12:02 pm
… [Trackback]
[…] Information on that Topic: zonasatunews.com/terkini/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-25/ […]