Menimbang Implikasi Politik Hasil Pemilu Curang (Bagian 1)

Menimbang Implikasi Politik Hasil Pemilu Curang (Bagian 1)
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
(Ketua Pusat Kajian Pemilu dan Partai Politik FISIP UI, Dosen Ilmu Politik SKSG UI dan Fisip UI)

 

Dalam ilmu politik, lima lingkup politik dari atas ke bawah digunakan untuk mendudukan suatu fenomena politik dalam satu garis lurus, yakni:

(1) teologi politik (political theology), berupa norma religius;

(2) filsafat politik (political philosophy), berupa norma moral;

(3) pemikiran politik (political thinking), berupa nalar ilmiah;

(4) ideologi politik (political ideology), berupa nalar etik; dan

(5) opini politik (political opinion), berupa publik etis. Dalam studi politik, suatu fenomena politik dianggap bermasalah bila menyimpang dari salah satu lingkup tersebut.

Tulisan ini merupakan tanggapan umum terhadap para ahli yang hanya melihat pemilu dari sudut pandang fenomena hukum. Padahal praktik hukum itu sendiri dalam studi ilmu politik selain merupakan produk politik, juga bagian dari fenomen politik yang harus ditakar oleh kelima lingkup politik tersebut dalam suatu garis lurus.

Negara (state)

Negara sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi (SM). Jauh sebelum Perdamaian Westphalia tahun 1648 yang menetapkan kedaulatan sebagai unsur penting negara, dan Perjanjian Montevideo tahun 1933 yang menetapkan syarat berdirinya negara: teritori yang jelas, penduduk yang parmenen, pemerintahan yang efektif, dan adanya kerja sama/hubungan/pengakuan). Tahun 1894 SM bangsa Amori mendirikan negara kecil yang mencakup kota administratif Babilon. Babilonia sebelum menjadi kekaisaran hingga masa pemerintahan Hamurabi berada di bawah Kekaisaran Akkadia tahun 2335-2154 SM.

Begitu pula kota Athena yang menjadi pusat peradaban Yunani Kuno didirikan pada tahun 1400 SM. Di Athena, monarki despotis Hippias tumbang dan beralih ke demokrasi pada tahun 508 SM. Pasca perang Limia, demokrasi Athena berakhir pada tahun 322 SM. Menggantikan demokrasi Athena, Sparta mendirikan rezim boneka berupa pemerintahan oligarkis Tiga Puluh Tiran yang dipimpin oleh Critias, seorang warga Athena dan murid durhaka Socrates.

Dalam tingkatan pemikiran politik (political thinking), gagasan politik yang mendasari terbentuknya negara (state), yakni kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi keinginan bersama (kehendak umum) hanya bisa dicapai melalui penggunaan kekuasaan (power) secara terorganisir. Dalam kalimat sederhana, negara didirikan untuk mengorganisir kekuasaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran umum berdasarkan kehendak umum. Dengan genealogi politik itu, maka tidak ada justifikasi oleh siapa pun untuk menggunakan negara di luar tujuan itu. Menggunakan negara di luar tujuan itu berarti menyalagunakan kekuasaan secara terorganisir. Itu jelas menyalahi fatsun politik, sehingga sudah pasti akan membahayakan kehendak umum (volente generale).

Sebagai organisasi kekuasaan mutakhir, negara dirancang untuk melaksanakan lima fungsi politiknya yang berujung pada pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran bersama, yaitu:

(1) fungsi kesejahteraan (welfare), yang dibebankan kepada institusi pemerintah (bureaucracy);

(2) fungsi kebebasan (freedom), yang dibebankan kepada institusi otoritas sipil;

(3) fungsi hukum (justice), yang dibebankan kepada institusi peradilan;

(4) fungsi keamanan (external security) yang dibebankan kepada institusi kemiliteran; dan

(5) fungsi ketertiban sosial (internal order), yang dibebankan kepada institusi kepolisian.

Dalam mengorganisasikan kekuasaan yang tersebar dalam teritorinya, negara melengkapi dirinya dengan struktur politik. Pada umumnya negara hanya memiliki dua struktur politik, yakni:

(1) infra-struktur politik: partai politik, kelompok kepentingan, media, dan elit politik, untuk melaksanakan lima fungsi input sistem politik; dan

(2) supra-struktur politik: legislatif (DPR), eksekutif (Presiden), dan yudikatif (MA) untuk melaksanakan dua fungsi output sistem politik.

Namun seperti Indonesia yang visi konstruksi pendiriannya menurut UUD1945 Asli jauh melampaui zaman dan generasi ke depan memiliki empat struktur politik, yakni:

(1) infra-struktur politik: partai politik, kelompok kepentingan, media, dan elit politik;

(2) supra-struktur politik: badan legislatif (DPR), eksekutif (Presiden), dan yudikatif (MA);

(3) super-struktur politik: badan pertimbangan politik (DPA); dan

(4) meta-struktur politik: institusi politik penjelmaan rakyar (MPR).

Dalam menggerakkan, mengontrol, dan mengendalikan semua struktur politik itu, negara memiliki tiga unsur kekuasaan, yakni:

(1) kewenangan (authority), yang berbasis pada pangkat-jabatan;

(2) pengaruh (influence), yang beberbasis pada kekayaan: SDM, SDA, dan SDB; serta

(3) kekuatan (strength), yang berbasis pada otot-senjata.

Bisa dibayangkan jika ketiga unsur kekuasaan negara itu dibajak dan disandera oleh pihak-pihak yang anti-negara, seperti kaum oligarkis yang menyusup ke dalam eksekutif puncak (presiden), badan peradilan, parlemen, birokrasi, kemiliteran, kepolisian, intelijen, partai politik, media, kelompok kepentingan, dan parlemen,

Pemerintahan Refsentatif (democratein)

Dari sudut pandang teologi politik (political theology), filsafat politik (political philosophy), pemikiran politik (political thinking), ideologi politik (political ideology), dan opini politik (political opinion) terdapat keyakinan politik yang sangat kokoh bahwa tidak semua warga negara memiliki kemampuan lebih untuk terlibat secara langsung dalam proses politik: penyelenggaraan pemerintahan negara. Selain itu juga diyakni bahwa terdapat warga negara yang tidak boleh terlibat dalam penyelenggarakan pemerintahan negara. Dua keyakinan politik inilah yang mendasari perlunya pemerintahan negara hanya dapat dijalankan oleh warga negara terpilih secara periodik berdasarkan tiga kriteria politik, yakni:

(1) warga negara memiliki kapasitas politik yang sangat tinggi;

(2) warga negara memiliki kapabilitas politik yang sangat tinggi; dan

(3) warga negara memiliki integraitas politik yang sangat tinggi.

Pemerintahan yang dijalankan oleh warga negara terpilih secara periodik inilah yang kemudian disebut dengan pemerintah repsentatif atau yang populer dengan istilah demokrasi. Pemerintahan repsentatif (demokrasi) yang disederhanakan ke dalam sistem politik demokrasi yang dikendalikan oleh pemerintah harus mengacu pada tiga ciri dasar dasar demokrasi, yakni:

(1) nilai-nilai demokrasi;

(2) prosedur demokrasi; dan

(3) kriteria demokrasi.

Pada nilai-nilai demokrasi, pemerintah dalam mengendalikan sistem politik demokrasi harus mengacu pada tiga nilai dasar demokrasi, yakni:

(1) kebebasan (freedom). Kebebasan di sini harus diasumsikan semuanya baik karena akan digunakan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Kebebasan di sini tidak boleh diartikan buruk atau negatif mengingat semua kebebasan yang merugikan pihak lain sudah dikumpulkan dalam hukum dalam bentuk pelanggaran pidana, perdata, dan administrasi;

(2) persamaan (egaliter). Nilai egaliter demokrasi inilah yang menjadi dasar dari kemunculan paham persamaan (egalitarianisme), dimana sebagai doktrin politik menegaskan bahwa semua orang harus diperlakukan sama dan memiliki hak sipil yang sama; dan

(3) kesetaraan (equality).¬ Nilai yang satu ini menjadi dasar bagi setiap warga negara untuk memperoleh akses yang sama terhadap kekuasaan dan terhindar dari perlakuan diskriminatif oleh pemerintah.

Lalu pada prosedur demokrasi, pemerintah dalam mengendalikan sistem politik harus memiliki mandat politik (legitimasi politik dan justifikasi politik) dalam membentuk dan menjalankan pemerintahan, dengan mengacu pada tiga prosedur pokok demokrasi; yakni:

(1) pembatasan politik: masa jabatan secara periodik dan memenuhi syarat memerintah;

(2) memperoleh dukungan politik minimal (suara repsentatif minimal) dalam pemilihan umum (pemilu); dan

(3) merupakan repsentasi politik dari beragam kelompok yang ada dalam masyarakat.

Kemudian pada kriteria demokrasi terdapat empat kriteria pokok, yakni:

(1) partisipasi politik yang bermakna: warga negara dijamin menggunakan seluruh hak-hak politiknya: hak berbicara-berpendapat, hak berkumpul-berserikat, dan hak memerintah diri sendiri;

(2) pemilu yang demokratis;

(3) pers yang bebas dan independen sebagai instrumen warga negara dalam menggunakan hak politiknya untuk berbicara-berpendapat; dan

(4) oposisi politik loyal: dari partai politik, kelompok kepentingan (civil society), media, dan elit politik.

Pemilu (election)

Pemilu merupakan jantung dari semua proses politik. Fungsi strategisnya dalam menghasilkan pejabat politik puncak yang akan membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan repsentatif secara periodik akan menentukan nasib negara itu. Sebagai instrumen rekrutmen politik, fungsi umum pemilu adalah melakukan sirkulasi elit kekuasaan (the ruling elit): elit penentu (decisive elite), elit penguasa (power elite), elit tandingan (rival elit), elit perantara (intermediate elite), dan elit penghubung (liaison elite). Namun secara spesifik, fungsi pemilu berbeda di setiap tahapan dan pertumbuhan demokrasi.

Pada tahap transisi demokrasi, fungsi pokok pemilu adalah menyingkirkan orang-orang yang tidak pantas memerintah. Orang-orang yang akan disingkirkan di sini, yakni para elit pendukung rezim non-demokratis sebelumnya dengan perioritas yang terlibat dalam kejahatan politik pada rezim politik sebelumnya. Mengingat tahap transisi demokrasi ditandai oleh pembubaran institusi politik non-demokratis dan pergantian seluruh elit politik non-demokratis, maka hasil penyelenggaraan pemilu berada pada ketidakpastian.

Perlawanan sengit oleh elit politik non-demokratis bersama kekuatan-kekuatan politik non-demokratis membuat penyelenggaraan pemilu berpetensi curang bila tidak berada dalam pengawasan ketat civil society dari dalam dan luar negeri. Selanjutnya, bila pemilu curang maka kondisi politik menjadi tidak stabil dan pembelahan politik semakin tajam akibat konflik politik yang relatif berlangsung terbuka dan lama.

Berikunya pada tahap konsolidasi demokrasi, fungsi pokok pemilu adalah memberi kesempatan kepada orang baik diantara orang-orang baik untuk memerintah. Mengingat tahap konsolidasi demokrasi ditandai oleh adanya pelembagaan politik, maka kondisi politik relatif stabil. Konflik yang timbul dari penyelenggaraan pemilu dapat diselesaikan melalui memiliki mekanisme penyelesaian konflik secara terlembagakan.

Terakhir, pada tahap tertib demokrasi, fungsi pemilu di sini adalah memberi kesempatan kepada orang terbaik dintara orang-orang terbaik untuk memerintah. Mengingat tahap tertib demokrasi ditandai oleh adanya etika politik yang sangat tinggi, maka kondisi politik sangat stabil. Penyelenggaraan pemilu yang berlangsung sangat demokratis membuat tidak terjadi konflik politik.

(Berambung)

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K