Oleh: M. Isa Ansori
Dalam tradisi Jawa, kekuasaan bukan sekadar jabatan atau kemenangan politik. Ia adalah wahyu keprabon—restu semesta yang hanya turun kepada pemimpin yang pantas: yang menjunjung moral, menempatkan rakyat sebagai pusat, dan mampu menahan diri dari nafsu kekuasaan. Ketika wahyu itu diseret atau dimanipulasi, ia berubah menjadi sengkolo, petaka bagi negara, yang menandai kerusakan tatanan sosial, politik, dan moral.
Hari ini, Indonesia berdiri di ambang jurang lorong gelap kekuasaan. Data survei terbaru menunjukkan penurunan kepuasan publik yang nyata: Presiden Prabowo Subianto, yang awalnya memperoleh dukungan 82–84%, kini berada di kisaran 76–78%, sementara Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka turun dari 79,9% menjadi 71,4%. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah bisikan rakyat, alarm yang tidak boleh diabaikan, tanda bahwa wahyu keprabon mulai tersesat dan negara sedang ditarik oleh bayang-bayang oligarki.
Gus Dur pernah menegaskan : “Kekuasaan tanpa kepercayaan hanyalah singgasana tanpa makna.” Kini, penurunan kepercayaan publik bukan lagi teori, tapi kenyataan yang bisa dirasakan setiap hari: rakyat mulai menjauh, suara mereka mulai diabaikan, dan legitimasi moral mulai memudar.
Kekuasaan hari ini dipaksa turun, bukan karena kelayakan, tetapi karena intrik, kooptasi aparat, dan dominasi oligarki. Proyek-proyek strategis nasional dikendalikan kelompok tertentu, tanah rakyat direbut, hukum dipelintir untuk melindungi dinasti, dan kritik dibungkam. Bivitri Susanti menyebut ini sebagai: “Erosi demokrasi yang dilakukan oleh negara sendiri.”
Dalam bayangan Jawa, ini adalah contoh kesasar wahyu, ketika kekuasaan jatuh ke tangan mereka yang mengutamakan ambisi ketimbang amanah. Dan ketika rakyat mulai protes, isu pemakzulan Gibran muncul—sebagai alarm sosial, bukan karena kekuatan politik yang kuat, tetapi karena legitimasi moral sudah menipis. Dalam kosmologi Jawa, ini disebut titising jaman—tanda perubahan yang menunggu untuk ditegakkan.
Gejala ketidakseimbangan semakin jelas: harga pangan merangkak naik, ketergantungan pada utang luar negeri mencapai puncak, proyek strategis dikuasai oligarki, ruang demokrasi menyempit, dan hukum semakin terlihat sebagai alat politik. Niels Mulder menekankan: “Ketika pemimpin kehilangan etika, alam sosial Jawa akan merespons dengan ketidakharmonisan.”
Penurunan kepuasan publik bukan kebetulan. Ini adalah perlawanan rakyat yang halus, pelan, dan konsisten—tidak berteriak, tapi menembus fondasi legitimasi. Lorong gelap kekuasaan semakin nyata ketika institusi digunakan untuk kepentingan segelintir orang, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Di titik ini, pertanyaannya sederhana: siapa yang sebenarnya memegang kendali Indonesia? Pemimpin terpilih, atau bayangan oligarki yang menarik negara ke lorong gelap?
Dalam budaya Jawa, wahyu yang tersesat bisa kembali ke jalurnya jika pemimpin berani melakukan tapa ngrame—merenung di tengah keramaian, menahan nafsu, mendengarkan rakyat, dan menyelaraskan diri dengan kepentingan semesta. Ronggowarsito menulis dalam Serat Kalatidha: “Ing jaman edan, yen ora edan ora keduman. Nanging yen melu edan, ngalang-alangi batin.” Dalam zaman gila, jika tidak ikut gila, kita tidak kebagian. Tapi jika ikut gila, kita menghancurkan batin sendiri.
Situasi saat ini adalah pertarungan antara wahyu dan sengkolo, antara legitimasi moral dan manipulasi kuasa. Jika tren penurunan kepercayaan publik berlanjut, bukan mustahil Indonesia akan memasuki fase di mana rakyat tak lagi peduli pada simbol kekuasaan, dan legitimasi hanyalah topeng kosong.
Dukungan Anies Baswedan terhadap pasangan Pramono–Doel bisa dibaca sebagai langkah simbolis melawan upaya itu—sebuah cara mengingatkan bahwa legitimasi tidak bisa dibeli, dan kekuasaan tidak boleh diserahkan hanya kepada dinasti politik. Ini bukan sekadar manuver politik; ini adalah perlawanannya terhadap lorong gelap kuasa yang membungkus Indonesia saat ini.
Seperti Semar dalam pewayangan, yang turun bukan sebagai raja atau panglima, tapi sebagai penjaga keseimbangan, Indonesia membutuhkan figur atau momentum yang menegakkan harmoni kembali. Semar bukan memerintah dengan tangan besi, tapi menertibkan dunia, menegakkan keadilan, dan menjaga keseimbangan. Dukungan simbolis terhadap pasangan Pram–Doel adalah cerminan kebutuhan akan “Semar modern” yang menjaga negara dari kehancuran moral.
Indonesia membutuhkan keberanian baru—keberanian untuk menyebut gelap sebagai gelap, salah sebagai salah, dan curang sebagai curang. Penurunan kepuasan publik terhadap Prabowo dan Gibran adalah peringatan: rakyat mulai membuka mata, menghitung legitimasi, dan menolak topeng demokrasi yang rapuh.
Ronggowarsito menulis: “Wong kang ngaku ratu, nanging ora ngreksa rakyat, bakal ketiban bendu.”Orang yang mengaku pemimpin tetapi tidak menjaga rakyat, akan terkena malapetaka. Hari ini, bendu itu bukan sekadar kerusuhan fisik, tapi penurunan legitimasi, hilangnya kepercayaan publik, dan terkikisnya simpati generasi muda.
Akhirnya, Indonesia harus memilih: tetap berjalan di bawah bayang-bayang raksasa, atau kembali merawat cahaya. Wahyu yang tersesat bisa kembali, tapi sengkolo tidak menunggu. Jika pemimpin terus menarik Indonesia ke lorong gelap kuasa, rakyat sendiri yang akan memadamkan cahaya legitimasi mereka. Dan rakyat akan menjadi saksi, penulis, dan penentu akhir dari takdir bangsa—apakah Indonesia kembali ke cahaya atau tenggelam dalam lorong gelap kekuasaan.
Surabaya, 23 November 2025
Tentang Penulis :
Kolumnis dan Akademisi, Fokus pada Psikologi Komunikasi dan Tarnsaksional Analisis, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim. Aktif menulis essay politik, sosial, budaya dan pendidikan untuk bebrgai media cetak maupun online
EDITOR: REYNA
Related Posts

Tere Liye: Petinggi ASDP Tidak Korupsi, Tapi Dihukum

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (6): Arsitek Stabilitas Asia Tenggara dan Penggerak Utama ASEAN

Novel “Imperium Tiga Samudra” (16) – Shadow Exchange

Dipenjara Karena Menyelamatkan Perusahaan, Rhenald Kasali: Vonis ini mengirim pesan buruk kepada profesional BUMN

Prestasi Nasional Tak Diindahkan, PAUD Jayawinata dan Krisis Kepedulian Pemko Tangerang

Anton Permana : Pemko Payakumbuh Harus Hormati Hukum Adat Nagari

Ide Prof. Jimly Asshiddiqie Akan Melakukan Amandemen ke 5 UUD NRI 1945 Dapat Orderan Darimana Lagi

Rismon Dan Tifauzia Cabut Surat Kuasa Ahmad Khozinudin dkk

Tidak Terbukti Ada Unsur Korupsi, Hakim Ketua Sunoto: Eks Dirut ASDP Seharusnya Divonis Lepas

Putusan Tidak Adil Untuk Ira ASDP, Ahmadie Thaha: Hakim Logika Dengkul



No Responses