Oleh: Yoyon Suryono
Pegiat Guru Nanjung Desa
Sedikitnya ada dua versi informasi berseliweran di medsos. Tentang Pemilu ada yg lantang menyatakan keluar sebagai pemenang dan ada yg lantang menyuarakan Pemilu yg curang secara terstruktur, sistematis, dan masif. Dibumbui di lapangan ada demo dari keduanya. Tidak kurang para jawara turun gunung dari “padepokan”masing2, entah beraliran hitam atau putih gak tahu. Bak cerita Mahesa Jenar dan Lawa Ijo dalam cerita “Nagasasra dan Sabuk Inten” karya almarhum SH Mintereja, sastrawan Jawa orang Jogja. Konon, siapa yang beruntung memiliki sepasang keris pusaka lambang “kamukten” dari Kerajaan Demak itu kelak akan menguasai tanah Jawa sebagai Raja Agung. Entahlah? Negeri ini bukan kerajaan kan? Negeri demokrasi yang berdasarkan hukum dan yang diperlukan pun adalah suara rakyat bukan keris bertuah. Suara rakyat yang jernih, bening, tidak tercemar, serta tanpa intervensi untuk menegakkan Indonesia Maju dan Berkeadilan.
Pasca Pemilu 14 Februari 2024 yang lalu, muncul sebagai kontroversi fenomena yang viral yaitu “pesta pora” kemenangan ala joged-jogedan para elite tertentu, penuh dengan suka cita, kegembiraan, dan seolah tidak ada beban dalam menikmati “kemakmuran” negeri bagai “zamrud khatulistiwa” yang subur makmur gemah ripah loh jinawai berkat limpahan kekayaan alam karunia Illahi. Dan ini penyebab negeri ini suka jalan pintas, serba instan serta jadi “rebutan” banyak negara di dunia, barat maupun timur.
Fenomena berikut adalah maraknya antri sembako, khususnya beras murah, di banyak tempat untuk masyarakat yang memerlukan bantuan akibat terbatasnya pendapatan kelompok ini dan harga beras merayap naik yang bisa jadi sebatas kurangnya pasokan karena sediaan beras yang ada tersedot untuk bagi-bagi Bansos pra-Pemilu yang konon jumlahnya, kalau dirupiahkan, mencapai trilyunan. Tentu hukum ekonomi yang sederhana pun dapat menjelaskan fenomena ini. Dan bukan maksud tulisan ini mengulas secara ilmu ekonomi apalagi politik praktis yang kerap “berdasamuka” dan sudah lewat ingar bingar kampanyenya. Tidak sama sekali.
Gambaran ini sekedar deskripsi dangkal atas fenomena kekinian di medsos dan secuil rekaman fenomena yang terjadi dalam hidup masyarakat sehari-hari bukan untuk menggeneralisasi keutuhan fenomena kontemporer masyarakat yang kompkleks dan berdimensi-ganda.
Maksudnya pun sederhana sekali sekedar membangkitkan kesadaran kolektif untuk menjaga dan mengisi kemerdekaan negeri ini secara benar, baik, dan bersama jauh dari ungkapan kata-kata bijak pujangga Jawa Rangga Warsita yang merujuk pada penggalan episode “Zaman Kalatida” yaitu suatu masa perseteruan antara kepuasan hawa nafsu dan keluhuran akal budi.*
EDITOR: REYNA
Related Posts

Negara Yang Terperosok Dalam Jaring Gelap Kekuasaan

Rakyat Setengah Mati, Kekuasaan Setengah Hati

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Novel “Imperium Tiga Samudra” (13) – Perang Senyap Mata Uang

Mencermati Komisi Reformasi Polri

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia



No Responses