Jangan Buat Rakyat Makin Marah, CERI Tolak Danantara Suntik Whoosh: Janji B2B, Realita Utang Triliunan

Jangan Buat Rakyat Makin Marah, CERI Tolak Danantara Suntik Whoosh: Janji B2B, Realita Utang Triliunan
Kereta Cepat jakarta -Bandung (Whoosh)

JAKARTA – Polemik penyelamatan keuangan Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menyeruak setelah Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) menolak rencana suntikan dana dari BPI Danantara. Bagi CERI, langkah itu bukan sekadar soal kebijakan finansial, melainkan bentuk pengingkaran janji lama yang pernah diucapkan Presiden Joko Widodo: “Kereta cepat tidak akan menggunakan APBN sepeser pun.”

Namun fakta berbicara lain. Hingga akhir 2024, proyek prestisius yang dikelola PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)—anak usaha PT KAI—mencatat kerugian Rp 2,69 triliun, ditambah Rp 1 triliun lagi pada semester I 2025. Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, bahkan mengungkapkan di DPR bahwa total utang dan kerugian KCIC telah menembus USD 7,2 miliar atau sekitar Rp 117,72 triliun, dengan pembengkakan biaya (cost overrun) USD 1,2 miliar.

Janji Manis yang Berbuah Pahit

Sejak awal, proyek kereta cepat ini digadang sebagai simbol modernitas Indonesia. Namun jalan menuju realisasi penuh liku. Mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada 2016 sempat menolak menerbitkan izin karena syarat hukum dan teknis belum dipenuhi. Saat itu, ia merujuk pada UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian yang mengatur ketat soal perizinan dan tata kelola proyek perkeretaapian.

Tetapi proyek tetap jalan, dengan sokongan politik tingkat tinggi. Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan kala itu menekankan bahwa skema business to business (B2B) dengan konsorsium China akan membuat proyek bebas dari beban APBN. Ironisnya, skema itu kemudian menimbulkan masalah pembiayaan, utang menumpuk, dan kerugian tak terbendung.

Danantara: Mandat Strategis yang Dipelintir?

Menurut Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI, kehadiran Danantara sejatinya untuk membiayai infrastruktur yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional: migas, hilirisasi, energi baru terbarukan, hingga ketahanan pangan. Bukan untuk menutup defisit proyek mercusuar yang sejak awal menuai kontroversi.

“Kalau memang proyek itu dipaksakan oleh elite, biarlah mereka yang menanggung risikonya. Jangan rakyat yang akhirnya ikut memikul melalui BUMN dan lembaga investasi seperti Danantara,” tegas Yusri.

Kritik ini menguak persoalan lebih besar: apakah Danantara sedang menjalankan fungsi sesuai mandat, atau justru diarahkan untuk menalangi “dosa warisan” pemerintahan sebelumnya?

Beban Publik, Aset Negara Taruhan

Pertanyaan besar kini bergulir di ruang publik: siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian kereta cepat? Apakah negara harus menutup lubang lewat BUMN dan Danantara, atau para pemegang saham yang notabene terdiri dari WIKA, KAI, PTPN VIII, dan Jasa Marga, bersama konsorsium China?

Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa penyelamatan kereta cepat akan mengorbankan alokasi dana untuk sektor yang lebih strategis: pangan, energi, hingga layanan publik. “Kalau setiap kegagalan proyek mercusuar selalu dibayar dengan dana publik, maka yang dirugikan adalah rakyat,” ujar seorang pengamat BUMN.

Antara Simbol dan Realitas

Kereta Cepat Whoosh tetap menjadi ikon modernisasi transportasi Indonesia. Namun di balik kecepatan 350 km/jam itu, ada laju hutang yang membengkak jauh lebih cepat. CERI menolak suntikan Danantara bukan hanya soal angka, melainkan peringatan agar tata kelola proyek infrastruktur tidak lagi berbasis ambisi politik sesaat.

Kini publik menunggu: apakah pemerintah akan konsisten menjaga mandat Danantara, ataukah memilih jalur pragmatis dengan menutup kerugian proyek mercusuar yang mulai kehilangan kilaunya?

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K