Izin Tambang Emas Tumpang Pitu Banyuwangi: Membongkar Cacat Yuridis di Balik Surat Keputusan Menteri

Izin Tambang Emas Tumpang Pitu Banyuwangi: Membongkar Cacat Yuridis di Balik Surat Keputusan Menteri
Tambang emas di GunungTumpang Pitu Banyuwangi Jawa Timur

JAKARTA – Gunung Tumpang Pitu di Banyuwangi, Jawa Timur, sejak lama menjadi pusat kontroversi. Kekayaan mineral emas di kawasan itu memang menggoda banyak pihak, namun keberadaan tambang di wilayah yang dahulu berstatus hutan lindung menimbulkan perdebatan panjang. Dasar hukum yang digunakan untuk mengubah status kawasan tersebut adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 826/Menhut-II/2013, yang kemudian menjadi pijakan utama bagi PT Bumi Suksesindo untuk melakukan kegiatan pertambangan.

Namun, berbagai penelitian hukum dan advokasi masyarakat menunjukkan bahwa SK tersebut menyimpan cacat yuridis. Jika diuji berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, keputusan itu berpotensi batal demi hukum karena melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan di atasnya.

Melanggar Undang-Undang Kehutanan

Pertama, SK 826/2013 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU tersebut secara tegas mengatur fungsi kawasan hutan, termasuk hutan lindung yang memiliki peran vital menjaga ekosistem, tata air, dan keanekaragaman hayati. Dalam Pasal 38 ayat (4), jelas dinyatakan bahwa kegiatan pertambangan di hutan lindung dilarang, kecuali dalam bentuk penambangan bawah tanah (underground mining) dengan syarat-syarat ketat.

Faktanya, tambang emas Tumpang Pitu menggunakan metode open pit mining atau tambang terbuka, yang secara langsung merusak tutupan hutan, mengubah bentang alam, dan meningkatkan risiko banjir serta longsor. Dengan demikian, praktik tambang di sana bertentangan secara substansial dengan semangat dan isi UU Kehutanan.

Bertentangan dengan Undang-Undang Penataan Ruang

Kedua, SK tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU ini menekankan pentingnya kesesuaian pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pada saat izin diberikan, status Tumpang Pitu masih tercatat sebagai hutan lindung dalam dokumen RTRW Banyuwangi.

Alih fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi untuk tujuan pertambangan seharusnya melewati prosedur panjang, termasuk persetujuan DPR dan konsultasi publik. Namun, proses perubahan tersebut dinilai terburu-buru dan minim partisipasi masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan tata ruang.

Menabrak UU Minerba

Ketiga, izin di Tumpang Pitu juga cacat menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Pasal-pasal dalam UU Minerba menekankan bahwa setiap izin usaha pertambangan (IUP) harus didasarkan pada kepastian hukum, kejelasan wilayah, serta memperhatikan daya dukung lingkungan.

Tambang Tumpang Pitu berada di kawasan yang sejak awal berstatus hutan lindung, sehingga pemberian IUP kepada PT Bumi Suksesindo menimbulkan pertentangan antara norma hukum dan implementasi di lapangan. Selain itu, perubahan status kawasan hutan yang dilakukan lewat SK Menteri dinilai tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai untuk mengesampingkan aturan dalam UU Minerba.

Melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Keempat, SK tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). UU ini mewajibkan setiap kegiatan usaha yang berdampak besar terhadap lingkungan untuk memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sah, transparan, dan partisipatif.

Dalam praktiknya, penyusunan AMDAL tambang Tumpang Pitu dikritik karena tidak melibatkan masyarakat secara penuh, terutama warga yang tinggal di Desa Sumberagung dan pesisir selatan Banyuwangi. Lebih jauh, kerusakan lingkungan berupa banjir lumpur, pencemaran sungai, dan ancaman terhadap biota laut menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kewajiban lingkungan perusahaan. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa prinsip sustainable development yang diamanatkan UU PPLH tidak dijalankan.

Konsekuensi Hukum dan Sosial

Kecacatan yuridis ini tidak hanya persoalan legal formal, tetapi juga berdampak luas pada masyarakat dan lingkungan. Dari sisi hukum, SK Menteri yang cacat prosedur dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan berpotensi dibatalkan. Dari sisi sosial, konflik berkepanjangan terjadi antara masyarakat yang menolak tambang dengan aparat dan perusahaan. Kasus kriminalisasi aktivis lingkungan, seperti yang dialami Heri Budiawan alias Budi Pego, menunjukkan bahwa cacat hukum dalam izin tambang berimbas langsung pada demokrasi dan hak asasi manusia.

Penutup: Mendesak Evaluasi Menyeluruh

Kontroversi tambang emas Tumpang Pitu menjadi pelajaran penting tentang bahaya mengabaikan aturan hukum demi kepentingan investasi. SK 826/Menhut-II/2013 bukan hanya bermasalah secara yuridis, tetapi juga melahirkan dampak ekologis dan sosial yang serius.

Pemerintah pusat, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian ESDM, semestinya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin tambang ini. Jika terbukti cacat hukum, maka langkah paling konstitusional adalah mencabut izin dan mengembalikan fungsi kawasan hutan sebagaimana diatur undang-undang.

Masa depan Banyuwangi, dengan kekayaan alam dan potensi pariwisatanya, seharusnya tidak dikorbankan hanya demi keuntungan jangka pendek tambang emas. Kasus Tumpang Pitu adalah cermin bahwa hukum dan lingkungan harus ditempatkan di atas kepentingan ekonomi sesaat

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K