Oleh: Budi Puryanto
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui SK Nomor 731 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden—termasuk ijazah—bukan lagi informasi publik, memicu tanda tanya besar. Mengapa di tengah tuntutan transparansi demokrasi, KPU justru memilih menutup rapat akses terhadap dokumen vital yang sebelumnya terbuka?
Kronologi: Dari Polemik ke Keputusan Tertutup
Sejak Pemilu 2019 dan 2024, isu keaslian ijazah menghantui beberapa kandidat. Gugatan hukum, serangan politik, hingga viralnya isu “ijazah palsu” sempat meramaikan jagat politik nasional. Meski pengadilan menolak sebagian besar gugatan, keraguan publik tetap ada.
Saat tahapan Pemilu 2025 dimulai, aktivis masyarakat sipil bersiap mengajukan kembali permintaan informasi untuk memverifikasi keaslian ijazah capres-cawapres. Namun sebelum itu berjalan, KPU mengeluarkan SK 731/2025 yang menutup akses publik.
“Ini keputusan yang sangat mengejutkan, bahkan cenderung mencurigakan,” kata Titi Anggraini, pakar pemilu dari Universitas Indonesia. “Seolah ada upaya sistematis mencegah publik melakukan verifikasi independen.”
Isu-isu yang Mengiringi
Tekanan dari Kandidat dan Partai Besar
Sumber politik menyebut ada lobi intens dari elite partai besar agar KPU “mengamankan” dokumen kandidat. “Bagi partai pengusung, isu ijazah bisa menjadi titik lemah yang sangat berbahaya. Menutup akses adalah cara paling cepat meredam serangan,” ujar seorang pejabat senior partai yang enggan disebutkan namanya.
Intervensi Pemerintah
Pemerintah juga diduga khawatir isu ijazah akan menjadi bola liar yang mengganggu stabilitas. “Kalau isu ini dibiarkan, bisa meruntuhkan legitimasi kandidat tertentu dan menciptakan krisis politik. Pemerintah tentu tidak mau itu terjadi,” jelas Ray Rangkuti, analis politik dari Lingkar Madani.
Pertarungan Internal di KPU
Kabar dari dalam KPU menyebut ada perbedaan sikap. Beberapa komisioner sebenarnya mendorong keterbukaan, tetapi kalah dalam voting. “Keputusan ini lebih mencerminkan rasa takut KPU daripada keberanian menjaga prinsip transparansi,” kata Fadli Ramadhanil dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Bayang-bayang Oligarki Politik dan Ekonomi
Analis menilai kelompok oligarki yang mendukung kandidat tertentu juga ikut memengaruhi. “Oligarki punya kepentingan memastikan jagoannya mulus, tanpa gangguan verifikasi publik. Dengan sumber daya besar, mereka bisa melobi siapa pun, termasuk penyelenggara pemilu,” kata Adnan Topan Husodo, koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW).
Dugaan Aktor di Balik Keputusan
Meski tidak ada bukti resmi, publik menduga ada tiga lingkar kekuatan yang berpengaruh:
Elite Partai Pengusung Capres, yang ingin melindungi kandidat dari serangan isu ijazah.
Lingkar Kekuasaan Pemerintah, yang berkepentingan menjaga stabilitas dan legitimasi pemilu.
Oligarki Politik-Ekonomi, yang memastikan calon unggulan mereka tidak terganjal masalah administrasi.
“Kombinasi tekanan politik, intervensi kekuasaan, dan kepentingan oligarki adalah skenario paling mungkin,” ujar Titi Anggraini.
Implikasi: Demokrasi yang Tergadai?
Banyak pengamat menilai kebijakan ini justru kontraproduktif. Alih-alih meredam isu, penutupan dokumen malah memperbesar spekulasi publik.
“Kalau semua ijazah asli, kenapa harus ditutup? Justru keterbukaan akan memperkuat kepercayaan publik,” kata Ray Rangkuti.
Senada, Fadli Ramadhanil menegaskan: “Demokrasi membutuhkan transparansi. Jika KPU menutup informasi, mereka mengorbankan prinsip utama demi kenyamanan politik jangka pendek.”
Penutup
Hingga kini, KPU bergeming dengan keputusannya. Namun publik berhak bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari keputusan ini?
Sejarah demokrasi menunjukkan, semakin keras informasi ditutup, semakin besar dorongan publik untuk membukanya. Dan ketika kepercayaan publik runtuh, bukan hanya kandidat yang kehilangan legitimasi, tetapi juga KPU sebagai wasit demokrasi.
“Pada akhirnya,” pungkas Adnan Topan, “pemilu hanya akan bermakna bila rakyat percaya bahwa prosesnya jujur dan terbuka. Menutup ijazah capres-cawapres berarti menutup pintu kepercayaan itu.”
EDITOR: REYNA
Related Posts

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila

Jokowi Dan Polisi Potret Gagalnya Reformasi

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi

RRT Nyatakan Siap Hadapi Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Rasional dan Proporsional Dalam Menyikapi Zohran Mamdani

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana

Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah

Off The Record

Bangsa Ini Tidak Butuh Presiden Yang Pura-Pura Gila



No Responses