Agus Wahid: Prabowo Dan Urgensi Mono-Loyalitas

Agus Wahid: Prabowo Dan Urgensi Mono-Loyalitas
Presiden Prabowo Subianto

Oleh: Agus Wahid
Penulis: analis politik

“Apapun akan saya perjuangkan. Apapun akan saya hadapi. Demi rakyat”. Itulah statemen Prabowo yang cukup menggema dalam mewujudkan komitmennya sebagai Presiden. Dirinya pun siap menghadapi kekuatan penghalang sebesar apapun. Luar biasa kemitmen kerakyatannya.

Sebuah pertanyaan mendasar, apakah hanya omon-omon? Kelihatannya tidak. Sedikit demi sedikit, dia tunjukkan langkah spektakulernya: membabat para koruptor, meski belum berani menangkap aktor terpuncaknya. Siapa dia? Rakyat bisa membaca sendiri. Setidaknya, bica dibaca dari catatan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang menempatkan aktor terpuncak itu pada rangking kedua sebagai pejabat terkorup dunia. Atau, pengakuan sejumlah mantan pejabatnya yang kini dalam pesakitan karena proses hukum. Mereka selalu menyebut nama dia.

Prabowo juga menyikat gembong mafia migas: Reza Chalid. Diawali menyikat para pejabat Pertamina yang korup sekitar Rp 1.000 triliun. Bahkan, kini anak Reza pun sudah mendekam sebagai terangka.

Namun, gebrakan hukum itu masih belum cukup untuk menunjukkan komitmen paripurnanya yang pro rakyat. Bagaimana pun, Prabowo memerlukan soliditas pemerintahannya. Dan itu memerlukan prasyarat: integritas, kapasitas, moralitas dan etikabilitas. Dan satu lagi yang tak kalah krusialnya. Itulah mono-loyalitas. Semua prasyarat ini harus ada dalam diri para pembantunya: Menteri dan wakil Menteri, serta jajarannya ke bawah, serta lembaga-lembaga tinggi negara yang terkait dengan penegakan hukum dan regulasi.

Mono-loyalitas menjadi landasan kuat Prabowo untuk mendayagunakan seluruh aparatur pembantunya mengerahkan prasyarat-prasyarat itu. Dengan mono-loyalitas itu, akan lahir komitmen besar para aparatur itu untuk memberikan yang terbaik. Demi negara. Dan dengan demikian, demi rakyat.

Beberapa hari lalu kita masih saksikan panorama duo-loyalitas. Meski dirinya sebagai pembantu Prabowo dalam Kabinet Merah Putih, tapi hatinya masih mendua: tampak tunduk pada Prabowo secara lahiriah, tapi juga sangat hormat kepada Jokowi. Bahkan, kecenderungannya malah lebih kuat ke Jokowi sebagai the boss utama. Maka, menjadi problem psikologis, seorang hamba sahaya “menghamba” kepada dua Tuan Agung. Pasti ga beres kinerjanya, bahkan komitmennya pun sangat dipertanyakan. Dan akhirnya, sejatinya terlihat kepada Tuan mana yang dihamba.

Melalui tragedi kerusuhan massa 26 – 30 Agutus lalu, panorama itu merupakan data kongkret tentang ketidakloyalitasan sejumlah Menteri dan Wakil Menteri, terutama para titipan Jokowi. Atas data faktual itu, Prabowo sudah mengambil langkah tepat: mendongkel para “brutus” dari kabinet. Arahnya jelas: untuk membenahi sistem kirja yang beroutput positif bagi kepentingan negara dan rakyat.

Akankah sekaligus hasilnya seperti membalikkan telapak tangan? Tentu tidak. Tapi, kita saksikan terdapat gebrakan yang memberikan optimisme baru. Seperti kita saksikan, Menteri Keuangan yang baru lansung mengambil kebijakan yang cukup membuat publik melongo. Dengan otoritasnya, Menkue Purbaya langsung membuka data keuangan yang tersimpan di BI. Atas nama percepatan program ekonomi mikro, Purbaya akan segera mentransfer ke bank-bank penyalur program ekonomi kerakyatan. Tidak main-main jumlahnya. Sekitar Rp 200 triliun bisa menjadi stimulus perkembangan ekonomi mikro itu. Yang terpenting, pihak bank dan penerima kredit/pinjaman sama-sama Amanah. Dan untuk itu sistem pengawasan tetap diberlakukan, dari unsur KPK ataupun DPR.

Purbaya juga langsung sigap untuk merevisi sistem pajak cukai yang gila-gilaan prosentasenya: mencapai 56% untuk negara. Bagaimana produsen mau mempertahankan produksinya? Akibatnya, seperti yang dialami Gudang Garam, dirinya hand up. Dan itu berarti ribuan pekerjanya terPHK massa. Jika cukai yang besar ini tidak segera diatasi, maka pengangguran akan tetap meledak. Percuma ganti manteri. Itulah sebabnya, Purbaya selaku Menkeu langsung melakukan koreksi sistem perpajakan dan cukai nasional peninggalan SriMulyani.

Bahkan, Menkeu baru ini juga segera siap terbitkan pembebasan pajak pengahasilan bagi yang bergaji atau berpendapatan di bawah Rp 10 juta. Untuk mengurangi beban hidup masyarakat berpenghasilan rendah.

Yang pelu dicatat, sikap Purbaya menunjukkan mono-loyalitas yang bisa diharapkan untuk perbaikan ekonomi, sekaligus memperkuat sistem kerja pemerintahan Prabowo. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sejatinya sudah menunjukkan sikap politik yang poli-loyalitas. Tidak hanya masih loyal kepada Jokowi, tapi juga loyal kepada globalis, terutama Bank Dunia dan IMF. Dua agen globalis penghisap “darah” tanah air agar terbangun ketergantungan abadi. Karena itu, skema ekonom yang terus dibangun adalah utang dan utang. Uniknya, bukan hanya utang negara, tapi juga utang korporasi swasta, apalagi korporasi BUMN.

Dalam masa bersamaan, Menteri Koperasi (Menkop) yang baru, Fery Yulianto – atas perintah Prabowo – langsung melakukan gebrakan: penyebaran secara massif dan ekstensif kepada para pelaku ekonomi mikro dan koperasi. Untuk kepentingan akselerasi program, Menkop pun membuka lowongan kerja besar-besaran. Sebuah langkah yang tak dilakukan oleh Menkop sebelumnya, Budi Ari.

Sekali lagi, usai tragedy 26 – 30 Agustus, Prabowo melihat jelas para brutus binaan Jokowi. Alhamdulillah, sebagian sudah disingkirkan, meski muncul reaksi dunia dari para elit globalis. Terlihat pada panorama terjun payung indeks harga saham. Sebuah drop shoot yang mengakibatkan distrust, terutama bagi kalangan investor asing. Reaksi itu wajar dan hanya efek kejut saja.

Yang jauh lebih penting adalah bagaimana menciptakan mono-loyalitas yang lebih besar dalam jajaran pemerintahan Prabowo. Saat ini, kita masih saksikan para brutus binaan Jokowi masih ada yang bertengger. Sebut saja, Menteri Bahlil, Tito Karnavian, Kapolri Setyo Sigit Prabowo bahkan Panglima TNI, Agus Subianto dan Ahmad Qodari.

Atas nama efektivitas pemerintahan, Prabowo masih harus menyaring (scanning) para petinggi negara titipan Jokowi itu. Jika tidak, akan tetap dipertanyakan mono-loyalitasnya. Meski mereka bisa berubah menjadi pejabat yang sangat pragmatis, tapi ikatan emosional yang telah terbangun lama tak mudah berubah. Ikatan emosionalitas itulah yang harus dicatat Prabowo dengan penuh pengawasan.

Satu hal penting yang harus dibangun dalam menciptakan mono-loyalitas adalah para mitra kerja pemerintah. Dalam hal ini anasir lembaga legislatif dan yudikatif, termasuk di dalamnya anasir lembaga kemananan dan pertahanan. Mereka merupakan satu paket besar yang harus tunduk pada sistem pemerintahan yang sedang all out mengabdi kepada kepentingan negara dan rakyat. Lembaga seperti KPK dan atau kejaksaan juga harus menunjukkan mono-loyalitasnya yang utuh dan total. Tak boleh lagi bermain mata dengan “Tuan” lainnya.

Karena itu, keinginan Presiden (segera merealisasikan UU Perampasan Aset) harus segera direspon. Bukan hanya sekedar memasukkan dalam prioritas masuk dalam prolegnas, tapi bagaimana proses pembahasannya yang cepat terwujud sampai menjadi UU. Dalam hal ini Prabowo bisa menekan para Ketua Umum partainya yang kebetulan menjadi anggota Kabinet Merah Putih, kecuali PDIP, PKS dan NasDem. Dengan konfigurasi politik di parlemen (Gerindra, PAN, Demokrat, PKB dan Golkar), maka para ketua fraksi partai-partai tersebut akan segera sendiko dawuh untuk menyetujui proses legislasi RUU Perampasan Aset.

Golkar memang berpotensi mbalelo. Tapi, ada dua instrumen yang dimainkan. Yaitu, Ketua Umum direshuffle atau dimahkamah-luar-biasakan (KLB). Perlu dicatat, suara intenal Golkar untuk untuk mendongkel Bahlil melalui KLB sudah cukup kencang. Dengan memanfaatkan dinamika politik imternal Golkar, maka Fraksi Golkar akan bersikap tunduk pada keinginan proses legislasi RUU Perampasan Aset.

Pendek kata, konfigurasi politik di Senayan sangat memungkinkan proses yang mulus untuk menggolkan RUU Perampasan Aset. Kini, dalam masa bersamaan, KPK dan atau Kejaksaan juga harus seirama langkahnya dalam menindak siapapun kasus hukum yang menimpa Jokowi dan para anteknya.

Akhirnya, kita bisa membaca topografi politik saat ini. Untuk pemulihan Indonesia demi negara dan rakyat, diperlukan mono-loyalitas terhadap kepemimpinan Prabowo. Perlu digaris-bawahi, perlu dibedakan antara mono-loyalitas dengan diktatorisme-otoritenianisme. Sebab, diktatorisme-otoriterianisme cenderung ke kepentingan kekuasaan personal semata, jauh dari dimensi kemanfaatan negara dan rakyat. Karena itu, Prabowo tak perlu ragu untuk membangun mono-loyalitas itu.

Satu lagi yang perlu kita catat, mono-loyalitas untuk soliditas pemerintah tidak berarti memasung hak-hak korektif rakyat. Artinya, rakyat tetap diberi kanal kritik sepanjang kinerja pemerintah masih belum maksimal. Kritik itu sejatinya memperkuat dan bahkan membangun soliditas pemeritahan Prabowo. Inilah relasi penting rakyat – Pemerintah yang harus dikontruksikan lebih jauh dan positif.

Kini, Praboro ditantang. Selama demi negara dan rakyat, pasti rakyat akan mendukung penuh. Selamat berjuang wahai Mr. President… Rakyat sudah lelah tercengkram selama10 tahun terkahir dalam potret kemiskinan dan penindasan, secara ekonomi, politik bahkan ideologi. Please, noted this national sadness picture.

Bekasi, 21 September 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K