Yahya Zaini Ingatkan Rendahnya Serapan Anggaran MBG dan Dorong Transparansi

Yahya Zaini Ingatkan Rendahnya Serapan Anggaran MBG dan Dorong Transparansi
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini

JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai terobosan besar pemerintahan Prabowo-Gibran ternyata menghadapi persoalan serius di tahap implementasi. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, menyoroti bahwa hingga memasuki triwulan kedua 2025, serapan anggaran MBG masih berada di kisaran 18–22 persen dari total alokasi yang telah disiapkan pemerintah.

“Ini sangat rendah untuk sebuah program prioritas nasional. Padahal anggarannya besar dan seharusnya segera dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” tegas Yahya.

Tantangan Serapan Anggaran

Menurut data Kementerian Keuangan, anggaran MBG tahun 2025 mencapai Rp 71 triliun, menjadikannya salah satu program sosial dengan porsi belanja terbesar setelah bantuan sosial reguler. Namun, lambatnya serapan menimbulkan pertanyaan besar: apakah masalah terletak pada mekanisme distribusi, kesiapan mitra pelaksana, atau lemahnya koordinasi antarinstansi?

Di sejumlah daerah, laporan kasus keracunan makanan pada peserta MBG juga memperburuk citra program. Contohnya, insiden di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, di mana ratusan siswa sempat dilarikan ke puskesmas setelah mengonsumsi makanan dari penyedia pihak ketiga. Kasus-kasus ini memicu kekhawatiran publik tentang standar higienitas dan kualitas pengelolaan MBG.


Usul Yahya: Sekolah Jadi Pengelola

Melihat berbagai masalah tersebut, Yahya mengusulkan agar sekolah diberi porsi lebih besar dalam mengelola MBG. Menurutnya, pihak sekolah dan komite jauh lebih memahami kebutuhan, selera, dan kondisi siswa dibandingkan penyedia jasa yang datang dari luar.

“Kalau sekolah yang mengelola, pengawasan bisa lebih langsung. Selain itu, risiko makanan tidak sesuai selera atau bahkan membahayakan kesehatan siswa bisa ditekan,” ujarnya.

Namun, Yahya juga menekankan bahwa usul ini bukan berarti memutus kerja sama dengan pihak ketiga. Model pengelolaan oleh yayasan atau mitra UMKM tetap bisa dilanjutkan, tetapi dengan evaluasi ketat terhadap tata kelola dan mutu pelaksanaan.

Transparansi dan Kanal Pengaduan Publik

Hal lain yang disoroti Yahya adalah soal transparansi dan akuntabilitas. Ia mendesak pemerintah membangun kanal pengaduan publik yang mudah diakses, agar setiap temuan penyimpangan atau masalah mutu makanan bisa segera ditangani.

“Dengan anggaran triliunan rupiah, tanpa pengawasan publik, risiko penyalahgunaan dana sangat tinggi. Transparansi bukan hanya kewajiban, tapi kebutuhan,” tambahnya.

Yahya juga menyinggung perlunya pengawasan sejak awal, bukan hanya ketika terjadi masalah. Dengan demikian, potensi kebocoran atau manipulasi dapat ditekan lebih dini.

Antara Harapan dan Realitas

Program MBG sejatinya lahir dari gagasan mulia: memastikan anak-anak Indonesia mendapat asupan gizi yang baik. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa implementasi tidak semudah yang dibayangkan.

Rendahnya serapan anggaran, kasus keracunan, hingga dugaan inefisiensi distribusi, menjadi sinyal bahwa pemerintah perlu merombak tata kelola program ini. Usulan Yahya Zaini agar sekolah dilibatkan lebih jauh bisa menjadi salah satu solusi yang masuk akal, meskipun tantangan administratifnya tidak kecil.

Bila dikelola dengan transparan, akuntabel, dan berbasis kebutuhan nyata di lapangan, MBG bukan hanya bisa memperbaiki gizi generasi muda, tapi juga menghindarkan bangsa dari kerugian akibat tata kelola yang lemah.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K