Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak ( LPA ) Jatim, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim, DPP Koalisi Pegiat Pendidikan Ramah Anak Indonesia
Program Makan Siang Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden Prabowo sejak awal digadang-gadang sebagai terobosan populis untuk menyehatkan anak-anak bangsa. Gagasannya sederhana sekaligus mulia: tidak boleh ada anak Indonesia yang belajar dalam keadaan lapar. Lebih jauh, program ini diharapkan menurunkan angka stunting, memperbaiki gizi generasi muda, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Secara konsep, sulit untuk membantah pentingnya program ini. Berbagai studi menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapat asupan gizi seimbang di sekolah memiliki konsentrasi belajar lebih tinggi, prestasi akademik lebih baik, serta lebih jarang mengalami gangguan kesehatan. Banyak negara menjadikan program makan siang gratis sebagai pilar pembangunan manusia.
Namun, idealisme di atas kertas tidak selalu sejalan dengan praktik di lapangan. Dalam sembilan bulan pelaksanaan MBG di Indonesia, yang lebih sering terdengar justru berita buruk: makanan basi, anak-anak keracunan massal, distribusi yang amburadul, guru yang terbebani tugas tambahan, hingga praktik rente oleh pemodal, elit politik, dan kontraktor yang berebut proyek. Program yang seharusnya melindungi anak justru berpotensi mencederai hak dasar mereka: hak atas makanan sehat dan perlindungan dari bahaya.
Logika “Batas Wajar”
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional: “Kasus keracunan MBG masih dalam batas wajar.” Dengan wajah datar, ribuan anak yang muntah, mencret, hingga pingsan dianggap sebagai statistik normal. Katanya, hanya 4.711 porsi dari 1 miliar.
Logika seperti ini sungguh berbahaya. Apakah perut anak sekolah pantas dijadikan laboratorium probabilitas? Apakah keracunan ribuan anak bisa dianggap risiko normal, sama seperti hujan gerimis di sore hari?
Dalam dunia medis, tingkat kematian operasi 1% saja sudah cukup untuk memicu audit besar-besaran. Namun di negeri ini, ribuan anak keracunan dianggap sepele, masuk kategori acceptable risk. Kalau begini, jangan-jangan MBG lebih tepat disebut Makan Beracun Gratis.
Lebih parah lagi, indikator keberhasilan program ini begitu dangkal: asal nasi bungkus tersalurkan dan anggaran terserap, maka disebut sukses. Tidak ada laporan komprehensif tentang dampak gizi, peningkatan kesehatan, atau perbaikan prestasi sekolah. Dengan logika semacam ini, wajar jika publik mempertanyakan: apakah tujuan utama program ini menyehatkan anak, atau sekadar menyalurkan anggaran jumbo demi kepentingan politik dan ekonomi para pemangku kepentingan?
Belajar dari Negara Lain
Kegagalan implementasi MBG di Indonesia semakin ironis bila dibandingkan dengan negara-negara yang sukses menjalankan program serupa.
Finlandia sudah sejak 1948 menyediakan makan siang gratis bergizi seimbang untuk semua siswa. Menu mereka tidak sekadar nasi bungkus, melainkan kombinasi sayur, buah, susu, dan roti gandum. Hasilnya, tingkat gizi anak tinggi dan kesenjangan sosial berkurang drastis.
Swedia pada 1997 mewajibkan makan siang gratis lewat undang-undang. Menu menekankan makanan sehat, rendah gula, dan ramah lingkungan. Program ini sekaligus sarana edukasi gizi dan keberlanjutan.
Estonia sejak 2002 memberi makan siang gratis untuk seluruh anak sekolah dasar, lalu diperluas ke semua jenjang. Biaya ditanggung pemerintah pusat dan daerah secara berimbang.
Jepang terkenal dengan sistem kyūshoku di mana anak-anak ikut bergiliran menyajikan makanan. Selain memberi gizi seimbang, program ini mendidik tanggung jawab, kebersamaan, dan kesadaran gizi. Hasilnya, Jepang mencatat tingkat obesitas anak terendah di dunia industri.
India memiliki Mid-Day Meal Scheme sejak 1995, kini menjangkau lebih dari 100 juta anak, menjadikannya program makan siang gratis terbesar di dunia. Selain meningkatkan gizi, program ini berhasil menekan angka putus sekolah, bahkan mendorong kesetaraan gender karena anak perempuan ikut bersekolah untuk mendapat makan.
Brasil menjalankan National School Feeding Programme sejak 1955. Keunggulannya: 30% bahan pangan wajib dibeli dari petani lokal, sehingga program gizi juga mendorong ekonomi desa.
Amerika Serikat dengan National School Lunch Program (1946) memang tidak sepenuhnya gratis, tapi anak-anak dari keluarga miskin mendapat subsidi penuh. Walaupun menu sering dikritik, program ini terbukti mengurangi kelaparan anak di sekolah.
Dari contoh di atas, jelas bahwa kunci keberhasilan bukan sekadar menyediakan makanan gratis, melainkan membangun sistem yang transparan, memiliki standar gizi jelas, melibatkan komunitas lokal, serta terintegrasi lintas sektor.
Jalan yang Seharusnya
Jika pemerintah serius, MBG harus segera bertransformasi dari proyek anggaran menjadi kebijakan perlindungan anak berbasis hak. Ada tiga langkah penting yang mendesak dilakukan:
1. Standarisasi gizi dan keamanan pangan dengan pengawasan ketat. Harus ada laboratorium uji independen yang memastikan makanan layak konsumsi sebelum didistribusikan ke sekolah.
2. Model distribusi partisipatif. Jangan serahkan program sebesar ini hanya kepada kontraktor besar atau elit politik. Libatkan sekolah, orang tua, petani lokal, dan komunitas setempat agar program lebih transparan, akuntabel, sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat.
3. Evaluasi berbasis data dan dampak. Keberhasilan MBG tidak boleh diukur sekadar dari jumlah nasi bungkus yang tersalurkan, tapi dari indikator nyata: perbaikan gizi anak, peningkatan kesehatan, dan prestasi akademik.
Selama tujuan utama masih sebatas “menyalurkan anggaran”, MBG akan tetap melahirkan ironi. Anak-anak menjadi korban, sementara para elit politik dan kroni bisnis kenyang menikmati rente.
Sejarah membuktikan, program makan siang gratis bisa menjadi warisan besar sebuah bangsa bila dikelola serius. Finlandia, Swedia, Jepang, India, hingga Brasil menunjukkan bahwa keberhasilan lahir dari sistem yang adil, transparan, dan berbasis pada kepentingan terbaik anak.
Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk menjadikan MBG sebagai fondasi emas pembangunan manusia. Namun peluang itu terancam hilang jika program hanya menjadi proyek politik, logika perut anak diperlakukan sebagai angka statistik, dan keracunan massal dianggap “batas wajar”.
Presiden Prabowo mungkin berniat baik. Tetapi tanpa koreksi fundamental, MBG akan tercatat bukan sebagai program gizi, melainkan sebagai program Makan Buang-buang Gelontoran-anggaran—di mana anak-anak menjadi korban eksperimen, dan perlindungan anak dikorbankan demi kepentingan segelintir elit.
Surabaya, 27 September 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

PBB meluncurkan proses formal untuk memilih sekretaris jenderal berikutnya

Kecerdasan Spiritual Fondasi Kebahagiaan

Kubu Jokowi TawarkanMediasi Kepada Roy cs

Bukan Sekadar Layar: Kehadiran yang Membentuk Hati Anak

TNI AL Amankan Dua Kapal Pengangkut Nikel Ilegal di Perairan Morowali–Konut

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (8) : Penghargaan Dunia Dan Jejak Diplomasi Global Indonesia

Apa Mungkin Selama Ini Negara Tidak Tahu?

Buntut Pemusnahan Dokumen, Taufiq Ancam Laporkan Semua Komisioner KPU Surakarta

Kasus Lapangan Terbang Morowali Hanya Kasus Kecil

Habib Umar Alhamid Ingatkan Jangan Ada UU dan Kebijakan “Banci” di Pemerintahan Prabowo



No Responses