Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana

Fiksi Politik

Oleh: Budi Puryanto

Hujan tipis mengguyur halaman istana malam itu. Dari balik kaca jendela ruang kendali, Presiden Pradipa berdiri diam, memandang taman yang diterangi lampu kuning pucat. Di belakangnya, para staf sibuk menyiapkan laporan tentang keberhasilan operasi balasan. Puluhan simpatisan Garuda Hitam ditangkap, propaganda ditekan, dan narasi resmi semakin dominan di media.

Namun di ruang lain yang jauh dari sorotan, Seno menatap peta intelijen dengan ekspresi kaku. Di papan itu, garis merah yang ia tarik sejak beberapa hari terakhir kini bertemu di satu titik: nama seorang tokoh yang tidak asing—orang yang setiap hari duduk di meja rapat bersama Presiden Pradipa.

“Ini gila…” gumam Maya, yang berdiri di sampingnya. “Kalau benar, berarti Garuda Hitam sudah masuk terlalu dalam. Lebih dekat daripada yang kita kira.”

Seno mengangguk perlahan. “Semua jejak berakhir padanya. Aliran dana, koordinasi simbol, hingga jaringan distribusi informasi. Bukan sekadar simpatisan—dia adalah jantung Garuda.”

Nama itu terpampang jelas: Menteri Koordinator Politik, Keamanan, dan Stabilitas Nasional, Wiratmaja.

Tokoh yang dikenal setia, pengawal utama kebijakan keamanan Presiden Pradipa. Orang yang setiap kali krisis datang selalu berdiri paling depan memberi pernyataan keras. Namun justru di balik retorika itulah ia menanamkan pengaruh, melindungi jaringan Garuda Hitam dari sapuan intelijen.

Maya menelan ludah. “Kalau Pradipa tahu, dia pasti akan membakarnya hidup-hidup. Tapi bagaimana mungkin… orang seperti Wiratmaja, yang kariernya dibangun di atas loyalitas, bisa bermain ganda?”

Seno menatapnya dengan mata redup. “Bukan loyalitas yang digenggamnya, melainkan kesempatan. Garuda hanyalah kendaraan. Ia melihat Pradipa terlalu dominan, terlalu lama menggenggam kendali. Dan Garuda Hitam  memberinya jendela untuk menyiapkan panggung sendiri.”

Seno sadar, ini bukan sekadar temuan intelijen. Ini adalah bom yang bisa menghancurkan stabilitas politik dari dalam.

Malam itu, ia membuat laporan rahasia, hanya untuk mata Presiden. Namun tangannya bergetar sesaat sebelum menulis nama itu. Ia tahu risikonya: jika laporan ini bocor, atau jika Pradipa meragukan data, ia sendiri bisa dianggap pengkhianat.

Di sisi lain, Maya mengingatkan, “Kalau kita buka kartu ini terlalu cepat, Pradipa mungkin tidak siap. Wiratmaja punya jaringan kuat di militer. Bisa-bisa malah balik menekan kita.”

Seno menghela napas panjang. “Itulah dilema. Mengungkapnya berarti membuka kotak pandora. Tapi menutupinya berarti membiarkan Garuda Hitam terus bernapas.”

Sementara itu, di istana, Wiratmaja sedang memimpin rapat terbatas. Ia berdiri tepat di samping Presiden, wajah tegas, suaranya meyakinkan. “Pak Presiden, operasi balasan berhasil menekan Garuda Hitam. Tapi saya sarankan kita tingkatkan status darurat. Lebih ketat, lebih keras. Biarkan rakyat tahu negara tidak memberi ruang sedikit pun.”

Pradipa mengangguk, tampak percaya penuh. Ia tidak sadar bahwa orang di sebelahnya justru adalah dalang yang ia cari.

Di markas rahasia, Seno akhirnya memutuskan. Ia menutup map intelijen itu dan berkata pada Maya, “Kita harus mainkan ini pelan. Jika jantung Garuda Hitam ada di dalam istana, maka medan tempur kita bukan lagi jalanan atau media, tapi meja rapat Presiden sendiri.”

Maya menatapnya dalam. “Lalu apa langkahmu?”

Seno menghela napas. “Aku akan masuk lebih dalam. Bukan untuk menumpas Garuda Hitam sekarang, tapi untuk menyingkapkan bayangan di mata Pradipa dengan caranya sendiri. Jika waktunya tepat, kebenaran itu akan menghancurkan mereka dari dalam.”

Hujan di luar semakin deras. Di kejauhan, istana berdiri angkuh, tapi di balik dindingnya, bayangan sudah menunggu saat untuk menusuk.

Dan Seno kini tahu satu hal pasti: musuh terbesar bukanlah Garuda di jalanan, melainkan Garuda yang bernafas di dalam istana.

Ujian Untuk Wiratmaja

Malam di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Gedung-gedung tinggi seolah membungkam rahasia besar yang berputar di dalam tubuh republik. Seno tahu, setiap langkahnya sekarang adalah taruhannya sendiri—antara kebenaran atau jebakan balik yang bisa menghabisi nyawanya. Temuannya tentang Wiratmaja, tokoh penting dalam lingkaran Presiden Pradipa, tak bisa hanya dibiarkan sebagai dugaan. Ia harus diuji.

Seno duduk di ruang kendali tim rahasia, layar-layar monitor menampilkan peta kecil Kota Bogor, lokasi yang dipilihnya sebagai panggung ujian. Maya berdiri di sampingnya, masih dengan tatapan dingin yang tegas, meski ada bayangan khawatir di matanya.

“Kalau kau salah menilai, Seno, Wiratmaja bisa berbalik dan menjerumuskanmu langsung ke Pradipa,” ujar Maya, suaranya rendah.

“Justru itu,” jawab Seno sambil menatap layar. “Kalau ia benar-benar Garuda Hitam, jebakan ini akan memancing langkahnya keluar dari bayangan. Kalau tidak… aku siap menanggung akibatnya.”

Operasi jebakan itu sederhana namun berlapis. Seno menyebarkan informasi palsu melalui jalur komunikasi internal bahwa ada cache dokumen rahasia—bukti koordinasi ilegal antara Pradipa dan kontraktor asing—disembunyikan di sebuah rumah aman di pinggiran Bogor. Hanya orang dalam lingkaran tertentu yang bisa mengakses informasi itu, dan Wiratmaja salah satunya.

Rencananya jelas: bila Wiratmaja setia kepada negara, ia akan segera melaporkan temuan itu ke Seno atau Pradipa. Tapi bila ia bagian dari Garuda, ia akan mencoba merebut dokumen itu lebih dulu untuk membalik situasi.

Malam itu, Seno dan Maya menunggu di sebuah rumah tua yang sengaja dipasangi sensor. Di luar, dua tim khusus sudah bersiaga di radius dua kilometer. Semua gerak-gerik akan terekam.

“Target bergerak,” suara seorang agen terdengar di telinga Seno. “SUV hitam memasuki jalur barat, plat nomor sesuai. Hanya dua pengawal bersenjata ringan.”

Seno mengeraskan rahangnya. “Itu dia… dia datang.”

Lampu mobil menembus kabut tipis. Wiratmaja turun dengan tenang, wajahnya teduh, tanpa ekspresi tergesa. Ia masuk ke halaman rumah, dan ketika pintu dibuka, tatapannya langsung menemukan Seno yang berdiri tegak di dalam ruang tamu.

“Aku dengar ada sesuatu yang penting di sini,” kata Wiratmaja, suaranya dalam, seperti orang yang sudah tahu permainan ini.

Seno hanya tersenyum tipis. “Pertanyaannya, kau datang ke sini untuk siapa?”

Beberapa detik itu seperti duel senyap. Mata Wiratmaja tajam, penuh perhitungan. Tangannya perlahan masuk ke dalam jasnya, tapi bukan untuk menarik senjata—melainkan sebuah ponsel terenkripsi. Ia menaruhnya di meja.

“Aku bisa saja menghubungi Presiden sekarang juga,” katanya pelan. “Tapi aku ingin tahu lebih dulu… kenapa kau menguji aku, Seno?”

Ketegangan merambat cepat. Maya menatap Seno, siap bergerak bila situasi pecah.

“Karena aku menemukan jejakmu,” jawab Seno tegas. “Jejak yang mengarah pada Garuda Hitam. Kau dekat sekali dengan jantung mereka.”

Menko Wiratmaja terdiam, lalu menghela napas panjang. “Kadang, untuk menyelamatkan negara ini, kau harus masuk ke sarang ular. Apa yang kau lihat sebagai pengkhianatan… bisa jadi adalah penyamaran.”

Ucapan itu mengguncang ruang. Benarkah Menko Wiratmaja penyusup dalam Garuda, bukan pengkhianat? Atau itu hanya dalih licin untuk menutupi langkahnya?

Seno menatap dalam-dalam, membaca tiap garis wajahnya. Tapi ia tahu, jawaban tak bisa diambil hanya dari kata-kata. Ujian ini baru dimulai.

“Kalau begitu,” kata Seno akhirnya, “aku ingin kau buktikan. Ada operasi berikutnya—aku ingin lihat di pihak mana kau berdiri saat peluru mulai bicara.”

Wiratmaja menatap Seno lama sekali, lalu tersenyum samar. “Baik. Aku akan mainkan kartu itu. Tapi jangan salahkan aku kalau ternyata taruhannya lebih besar dari yang kau sangka.”

Malam itu, operasi jebakan tidak berakhir dengan penangkapan atau tembakan. Tapi justru membuka babak baru—pertarungan bayangan dalam lingkar istana yang lebih rumit dari yang pernah dibayangkan Seno.

Ia tahu satu hal pasti: Wiratmaja bukan orang biasa. Dan uji kesetiaan ini mungkin justru membuka pintu ke dalam jantung Garuda yang selama ini tersembunyi.

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara

Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema

Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam

Last Day Views: 26,55 K