DUMAI — Langit Kota Dumai memerah malam itu. Kobaran api dari kompleks Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit II Dumai terlihat menjulang dari kejauhan, memantik kepanikan warga sekitar. Namun perhatian publik tak hanya tertuju pada peristiwa kebakaran ini, melainkan juga pada konteks waktunya: insiden terjadi hanya sehari setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengkritik Pertamina yang disebutnya “malas membangun kilang baru”.
Kombinasi antara kritik pemerintah dan kebakaran beruntun di fasilitas strategis membuat banyak pihak bertanya: apakah ini sekadar kebetulan, atau tanda lemahnya tata kelola energi nasional?
Kronologi Singkat: Api di Jantung Energi Riau
Menurut laporan resmi, kebakaran terjadi sekitar pukul 20.30 WIB, Rabu malam (1 Oktober 2025), di salah satu unit pengolahan Kilang Dumai.
Tim pemadam internal Pertamina dibantu aparat TNI–Polri berhasil menguasai api beberapa jam kemudian.
Pihak Kementerian ESDM memastikan bahwa: Kebakaran tidak menimbulkan korban jiwa. Stok dan distribusi BBM nasional masih aman. Tim investigasi gabungan termasuk Labfor Polda Riau telah dikerahkan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut dugaan awal bersifat teknis, meski menekankan perlunya penyelidikan tuntas agar penyebab pastinya jelas.
Kritik Menteri Keuangan: “Pertamina Malas Bangun Kilang”
Hanya sehari sebelum kebakaran, dalam rapat dengan DPR, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan kritik keras kepada Pertamina:
“Cuma Pertamina-nya yang malas-malesan aja,” ujarnya di hadapan Komisi XI DPR.
Ia menuding Pertamina menolak beberapa skema kerja sama dengan investor asing untuk membangun kilang baru, dengan alasan “over capacity”, padahal sejak 2018 belum ada satu pun proyek kilang baru yang benar-benar selesai.
Kritik ini segera memantik respons publik—ada yang menilai tepat, ada pula yang menilai terlalu menyederhanakan persoalan kompleks industri migas nasional.
Islah Bahrawi: “Setiap Bicara Kilang Baru, Ada yang Terbakar”
Tak lama setelah api di Dumai padam, tokoh NU dan pengamat sosial Islah Bahrawi melontarkan kritik tajam melalui media sosial, yang kemudian dikutip dalam akun TikTok @beyondprojectofficial.
Dalam cuitannya yang viral, Islah menulis:
“Setiap ada yang bicara pembuatan kilang baru, tidak lama ada fasilitas Pertamina yang terbakar.
Lihat nanti penyebabnya ‘sambaran petir’. Biasanya begitu. Kalau nggak Balikpapan, Indramayu, atau Cilacap. Kali ini Riau,” tulis Islah Bahrawi.
Melihat kenyataan itu, Islah kemudian menyindir keras:
“Pertamina itu harusnya ganti nama saja jadi Cosa Nostra.”
Istilah Cosa Nostra — yang berarti “kelompok kami” dan dikenal sebagai sebutan mafia Sisilia — menjadi sindiran paling pedas dalam komentar publik terhadap BUMN migas tersebut. Bahrawi seolah menuduh bahwa di balik setiap “kebetulan teknis”, ada sistem yang tertutup, tidak transparan, dan sarat kepentingan.
Makna di Balik Kritik: Antara Kebetulan & Sistem yang Sakit
Kutipan Bahrawi bukan sekadar sindiran; ia menyinggung pola berulang yang kerap terjadi setiap kali isu pembangunan kilang baru muncul: selalu saja muncul berita kebakaran, dengan alasan klasik “sambaran petir” atau “gangguan teknis”.
Kritiknya memperkuat narasi bahwa infrastruktur energi nasional bukan hanya rapuh secara fisik, tapi juga secara moral dan kelembagaan.
Dalam pandangannya, “api” di kilang bukan hanya persoalan suhu dan logam, tapi juga metafora dari rusaknya sistem kontrol, pengawasan, dan transparansi internal.
Respons & Tantangan ke Depan
Insiden Dumai dan kritik publik mengantarkan empat pesan penting:
Audit menyeluruh diperlukan. Pemerintah dan DPR harus mengaudit keamanan dan tata kelola seluruh kilang Pertamina, termasuk standar pemeliharaan dan sistem deteksi dini.
Transparansi hasil investigasi.Publik menanti laporan resmi penyebab kebakaran, agar tuduhan-tuduhan liar seperti “sabotase” atau “pengalihan isu” bisa diakhiri.
Pembangunan kilang baru harus dipercepat.Ketergantungan pada fasilitas lama seperti Balikpapan, Cilacap, dan Dumai menunjukkan kapasitas produksi nasional sudah di ambang batas.
Reformasi budaya kelembagaan.Kritik seperti yang disampaikan Islah Bahrawi menyoroti hal mendasar: bahwa reformasi Pertamina tak cukup di level manajemen, tapi harus menyentuh moralitas korporasi dan tata nilai internalnya.
Penutup: Api Yang Tak Hanya di Kilang
Kebakaran Dumai mungkin telah padam, tapi api kritik terhadap Pertamina justru makin berkobar.
Antara tudingan “malas membangun kilang” dari Menteri Keuangan dan sindiran “Cosa Nostra” dari Islah Bahrawi, publik kini dihadapkan pada satu pertanyaan mendasar: apakah perusahaan energi terbesar negeri ini masih mampu menjaga kepercayaan rakyat — ataukah sudah terbakar dari dalam?
EDITOR: REYNA
Related Posts
Rezim Masih Dikotori Praktek Transaksional
INVESTIGASI | Gelombang Baru “Jokowi Palsu”: Jejak Digital, Jaringan Penyebar, dan Pertarungan Narasi di Dunia Maya
Analisis PILPRES 2014 dan 2019: Kelemahan dan Keburukan Sistem Pilpres Langsung Dan Saran-Saran Perbaikan
Serasa Tidak Punya Presiden
Peran Ulama Dalam Dinamika Politik Umat
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Anton Permana: Waspada “Peta Panas Dunia” dan Mendesak Pembentukan Struktur Pertahanan Baru
Syahganda Nainggolan: Dari Aktivisme Kampus ke Wacana Kebangsaan
Ibrah – Lebih Baik Jadi Ketua RT/RW Dari Pada Jadi Presiden Mbladus Dan Mbelgedes
Yahya Zaini Pimpin Komisi IX DPR RI Kunker ke Kalteng: Perkuat Sinergi Kesehatan dan Ketenagakerjaan untuk Kesejahteraan Rakyat
No Responses