Oleh: M. Isa Ansori
Akademisi, Kolumnis, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim,
Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, dan Wakil Ketua ICMI Jatim
Setiap tanggal 5 Oktober, dunia memperingati Hari Guru Sedunia, sebuah momentum untuk menundukkan kepala sejenak — menghormati mereka yang telah menyalakan lentera pengetahuan di tengah gelapnya kebodohan. Namun, di balik perayaan yang penuh penghormatan itu, ada realitas getir yang tak bisa kita abaikan: guru kini berjuang di tengah badai media sosial dan derasnya arus informasi yang tak terkendali.
Ungkapan “guru digugu lan ditiru” yang lahir dari kearifan Jawa bukan sekadar slogan, melainkan nilai luhur pendidikan Nusantara. Guru adalah sosok yang ucapannya dipercaya (digugu) dan tindakannya diteladani (ditiru). Ia adalah cermin moral, pembimbing akal sehat, sekaligus penjaga nurani bangsa. Namun, di era digital yang serba cepat dan serba visual, posisi mulia ini tengah diuji oleh perubahan zaman yang begitu radikal.
Kini, siapapun bisa menjadi “guru” di dunia maya — cukup bermodal akun media sosial dan ribuan pengikut. Anak-anak kita belajar bukan hanya dari sekolah dan buku teks, tetapi juga dari TikTok, YouTube, dan Instagram. Sayangnya, tak semua informasi yang mereka konsumsi berisi nilai kebenaran dan kebajikan. Media sosial sering kali menciptakan ilusi pengetahuan tanpa kedalaman, opini tanpa tanggung jawab, dan popularitas tanpa moralitas.
Dalam situasi seperti ini, guru menghadapi tantangan baru: bukan lagi sekadar mengajarkan rumus, tetapi mendidik kesadaran kritis di tengah banjir informasi yang menyesatkan. Guru dituntut untuk memahami dunia digital, agar bisa menjadi pembimbing yang relevan bagi generasi yang tumbuh di dunia serba daring. Namun, tantangan ini diperparah oleh keterbatasan sumber daya manusia, kurangnya pelatihan literasi digital, serta minimnya dukungan fasilitas di banyak daerah.
Di pelosok-pelosok negeri, masih banyak guru yang berjuang dengan segala keterbatasan — mengajar di ruang kelas sederhana, koneksi internet yang tak stabil, dan honor yang tak sepadan. Namun mereka tetap hadir setiap pagi, dengan semangat yang tak pernah pudar. Mereka mungkin tidak viral, tapi mereka nyata. Mereka menyalakan cahaya kecil di tengah kegelapan zaman, mengajarkan anak-anak bukan hanya cara menghitung angka, tapi juga cara menghitung makna hidup.
Di tengah derasnya arus media sosial, guru sejati adalah mereka yang mengajarkan siswanya membaca dunia dengan nurani. Mereka tidak sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi menanamkan nilai: kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Di tangan mereka, pendidikan kembali menemukan ruhnya — membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar manusia yang pandai berpikir tapi miskin hati.
Namun, tidak adil jika beban moral ini hanya ditimpakan kepada guru. Negara dan masyarakat harus hadir dan berpihak. Guru harus diberi ruang belajar yang luas, pelatihan digital yang berkelanjutan, serta penghargaan yang layak. Sudah saatnya kita berhenti memperlakukan guru sebagai pelaksana kurikulum, dan mulai melihat mereka sebagai agen perubahan sosial yang menyiapkan masa depan bangsa.
Peringatan Hari Guru Dunia tahun ini seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan seremonial. Mari kita bertanya dengan jujur: sudahkah kita menghargai guru bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat kebijakan? Sudahkah kita memberi mereka kesempatan untuk berkembang di tengah perubahan teknologi yang melesat cepat? Dan sudahkah kita, sebagai masyarakat, meneladani nilai-nilai yang mereka ajarkan — kesabaran, kejujuran, dan cinta pada ilmu pengetahuan?
Bangsa yang besar bukan hanya karena canggih teknologinya, tapi karena kokoh moral para pendidiknya.
Selama masih ada guru yang datang ke sekolah dengan senyum meski gajinya tak seberapa, selama masih ada guru yang menuntun muridnya keluar dari kegelapan kebodohan, selama masih ada guru yang mengajarkan kejujuran di tengah riuhnya kebohongan digital — maka bangsa ini belum kehilangan arah.
Guru adalah jangkar moral bangsa. Di tengah badai media sosial yang mengguncang, mereka tetap menjadi pelita yang menuntun kita pulang — ke kemanusiaan.
Surabaya, 9 Oktober 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kecerdasan Spiritual Fondasi Kebahagiaan

Kubu Jokowi TawarkanMediasi Kepada Roy cs

Bukan Sekadar Layar: Kehadiran yang Membentuk Hati Anak

TNI AL Amankan Dua Kapal Pengangkut Nikel Ilegal di Perairan Morowali–Konut

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (8) : Penghargaan Dunia Dan Jejak Diplomasi Global Indonesia

Apa Mungkin Selama Ini Negara Tidak Tahu?

Buntut Pemusnahan Dokumen, Taufiq Ancam Laporkan Semua Komisioner KPU Surakarta

Kasus Lapangan Terbang Morowali Hanya Kasus Kecil

Habib Umar Alhamid Ingatkan Jangan Ada UU dan Kebijakan “Banci” di Pemerintahan Prabowo

Bravo, Prasiden Prabowo Beri Rehabilitasi ke Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi!



No Responses