“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di ruang rapat Komisi XI DPR RI

(Catatan Serial Ketiga “Purbayanomics”)

Oleh: Agus Wahid

Penulis: analis politik dan pembangunan

 

Mengejutkan dan membikin banyak elemen kebakaran jenggot, bahkan tegang. Itulah terobosan Purbaya dalam menata-kelola keuangan negara. Bagaimana tidak? Terobosannya sangat di luar dugaan. Bisa dikatakan out of the box. Setidaknya, keluar dari sisi irama kebiasaan tata-kelola keuangan negara selama beberapa dasawarsa lalu.

Satu sisi, masyarakat luas wajar harus terkejut. Karena, “hilir” dari terobosan kebijakannya mengarah pada manfaat besar untuk kepentingan rakyat. Sang engeneer teknik elektro sekaligus ekonom ini – untuk merealisasikan tekad kemakmuran rakyat – rela berjibaku menghadapi tembok raksasa yang memang bermental bandit.

Data faktual bicara, selama ini terdapat beberapa kukuatan benar-benar menghalangi cita-cita kemakmuran yang dirumuskan konstitusi. Dan selama itu pula, pelanggaran serius terhadap konstitusi dianggap sebagai fatamorgana. Tak ada tuntutan serius sebagai perusak konstitusi. Bahkan, penghalangan itu tidak terumuskan dalam undang-undang sebagai golongan perusak konstitusi. Karena itu, proyek penghalangan politik-hukum selalu aman dan bahkan diamankan dengan pemagaran penuh komplotan antar-elit.

Bagi Purbaya, kemiskinan struktural akut bahkan telah mengkristal, apalagi jelas-jelas mencederai spirit UUD 1945, terutama Pasal 33, tidak bisa dpandang sebelah mata. Sebagai pejabat negara yang lagi punya kekuasaan (al-yadd) tak rela membiarkan existing gurita raksasa yang sudah puluhan tahun merampas kedaulatan sosial-ekonomi rakyat. Sikap politik Purbaya ini jelaslah merupakan panggilan nurani.

Bagi seorang ideolog, panggilan nurani seperti itu bukan hanya sangat konstruktif. Tapi, juga siap menghadapi resiko badai tsunami sebesar apapun. Itulah yang membuat dirinya siap “meregang nyawa” jika memang itu terjadi sebagai konsekuensi melawan arus besar. Hebatnya lagi, dirinya pun mempersiapkan keluarganya (istri dan anak-anaknya) sepakat atau sejalan dengan langkah besarnya yang menghadapi resiko besar itu.

Seperti kita ketahui, risiko besar itu, tidak hanya komitmen atau tekad besarnya menghadapi mafia oligarki, yang pasti menghalalkan segala cara, termasuk resiko pembunuhan terhadap dirinya dan atau keluarganya. Tapi, Purbaya juga menghadapi kekuatan internal jajaran pemerintahan.

Yang sungguh luar biasa dan selama ini baru kali ini terjadi, Kementerian Keuangan (Kemenkue) Purbaya menyikapi secara kritis terkait sistem keuangan negara yang mengalir ke seluruh lembaga pemerintahan (lembaga kementerian, lembaga-lembaga negara non-kementerian bahkan lembaga-lembaga korporasi). Semuanya direview. Tidak hanya serapannya, tapi juga bagaimana ketepatan sasaran programnya.

Jika tidak sesuai target, Purbaya tidak segan-segan menarik saldo yang masih nongkrong. Harus dikembalikan saldo itu kepada negara, yang tentu dalam rekening Kemenkue. Juga, jika anggarannya tak sesuai dengan programnya, Kemenkue juga bertindak tegas: siap memprosesnya secara hukum. Inilah pertanggungjawaban publik yang harus nyata.

Itulah yang membuat seluruh pimpinan dari lembaga kementerian, lembaga non-kementerian bahkan korporasi-korporasi negara berteriak keras: menentang kebijakan Kemenkue. Purbaya dinilai mengganggu kewenangan masing-masing lembaga pemerintahan. Cacian negatif pun banyak terlontar, tertuju kepada Purbaya.

Salah satu kebijakan Purbaya yang membuat petinggi negara naik pitam adalah persoalan kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh. Meski sebagian dinilai positif karena ada unsur go green, tapi proyek Whoosh jelas-jelas cacat dari awal perencanaan. Di antaranya, terdapat sinyalemen mark up yang keterlaluan. Mengutip catatan Machfud MD, nilai mark upnya mencapai tiga sampai empat kali lipat. Artificial Intelligent (AI) memperkirakan, biaya pembangunan infrastuktur kereta Jakarta-Bandung Whoosh mencapai Rp 350.000.000 juta per m2.

Bahkan, salah satu subkon yang pernah penulis gali, dia sampaikan biayanya mencapai dua kali lipat dari perkiraan AI: kisaran Rp 700-an juta per m2. Sementara, subkon tersebut menegaskan, biaya riil untuk pembangunan infrastruktur tersebut hanya kisaran Rp 60-an juta. Harga ini pun sudah termasuk konversi pembelian tanah yang dilintasi rel kerta layang Whoosh, padahal realitas bicara: lahan tersebut milik Jasamarga. Moso harus dibeli juga. Jelas, itu akal-akalan atau rasionalisasi di balik niat mengkorupsi.

Yang memprihatinkan, tutur narasumber dari subkon itu, tenaga kerjanya didominasi etnis China. Mereka digaji tiga kali pipat dari tenaga kerja lokal, padaha kapasitasnya tidak beda. Sama-sama pekerja kasar. Perlakuan diskriminatif ini – di satu sisi – menimbulkan kecemburuan sosial bagi tenaga kerja lokal kita. Di sisi lain, menjadi faktor bengkaknya pembiayaan. Dan hal ini, rezim Jokowi “tutup mata” saat itu.

Sikap pat-guli-pat dalam proses pembangunan, termasuk pembuatan studi kelayakannya yang dipaksakan membuat megaproyek pembangunan kereta cepat Whoosh sudah sarat dengan niat busuk. Eksploitase secara koruptif. Karena itu, Purbaya tidak hanya tidak mau jadi “juru bayar” atas kerugian operasional Whoosh, tapi juga siap menyelidiki biaya pembangunannya. Purbaya pun menyatakan “sudah mengantongi” beberapa yang diduga kuat menikmati permainan nakal itu. Karena, memang sarat dengan rekasaya manipulatif (korupsi). Dan KPK atau pihak Kejaksaan Agung berkewajiban secara moral untuk menyelidiki lebih jauh megaproyek Whoosh itu.

Di sana, kita catat sejumlah Menteri Jokowi Jilid I yang layak dibidik. Yang jelas ada beberapa nama yang perlu diminta keterangannya, di antaranya Jokowi itu sendiri selaku pendisposisi megaproyek. Luhut Binsar Panjaitan (LBP) selaku “Menteri Segala Urusan” yang selalu mengencodorse kerjasama ekonomi Indonesia dangan China. Bahkan – boleh jadi – karena endorsement LBP itu pula, proyek yang sudah dimenangkan Jepang beralih ke China hanya dengan alasan megaproyeknya tidak bersumber dari APBN.

Yang menarik untuk dicatat, dibalik “mutase” pemenang tender, nilainya juga berubah: dari awalnya AS$ 6,07 miliar, membengkak: menjadi AS$ 7,26 miliar (Rp 119,7 triliun). Padahal, kesepakatan dengan Jepang, suku bunga dari konsekuensi pendanaan megaproyeknya hanya 0,1% per tahun. Sementara, China menerapkan 2% per tahun. Tapi, Indonesia – sepertinya di bawah pengaruh LBP – tetap memilih China sebagai main contractor pembanguna kerata cepat Jakarta-Bandung itu.

Ada permainan kompensasional apa di balik “mutasi” pemenang tender proyek itu? Perlu ditelusuri labih jauh. Penelusuran itu juga layak dilakukan kepada Sofyan Jalil dan Ignatius Jonan. Keduanya perlu diminta keterangan. Urgensi, apakah disposisi Sofyan Jalil sebagai Kepala Bapenas hanya pembubuh “stempel” atas serangkaian proyek pembangunan nasional? Dan itu berarti terdapat nuansa tekanan penguasa? Juga, bagaimana sikap Ignatius Jonan karena selaku Menteri Perhubungan sudah mengingatkan proyek Whoosh tidak feasible? Mengapa, prospek rugi kereta cepat Whoosh tetap dilanjutkan?

Pemaksaan LBP dan ketundukan Jokowi harus bertanggung jawab. Bukan hanya kerugiaan negara, tapi juga potensi penyalahgunaan wewenang selama berkuasa. Keduanya, tak bisa lepas dari tanggang jawab keuangan negara, meski dalihnya dikerjakan oleh BUMN KAI.

Inilah yang membuat LBP berteriak dan bersitegang dengan Purbaya. Bagi Purbaya, teriakan LBP ataupun gaya “ngeles” Jokowi, termasuk “serangan” para Jokower yang menegaskan kereta Whoosh merupakan karya terbaik Jokowi dan urusan kerugian buhkan lagi urusan Jokowi. nDasmu. Hehehe. Uenak tenan lepas dari tanggung jawab.

Apapun dalihnya, mereka wajib dihadapi dengan instrumen hukum yang pasti. Agar terbangun keadilan bagi kepentingan rakyat. Inilah dimensi hukum yang harus ditegakkan. Menkue selaku pemegang otoritas tata-kelola keuangan negara berhak ikut serta menegakkan hukum, melalui disiplin penggunaan anggaran (keuangan negara).

Kita perlu mereview, jika memang megaproyek kereta api cepat Whoosh sesuai dengan kalkulasi perencanaannya, mengapa pihak managemen Whoosh saat ini berhutang Rp 118 triliun? Jika jawabannya akibat sepi penumpang, pertanyaannya bagaimana dengan estimasi jumlah penumpang saat ada di meja perencanaan? Muncul pertanyaan lagi, ketika Whoosh mengalami kerugian, mengapa harus meminta dana recovery dari APBN?

Purbaya menolak tegas. Perjanjian awal tercatat, megaproyek kereta Whoosh merupakan kerjasama antar korporat (BUMN Indonesia dengan BUMN China). Berarti, bukan kerjasama G to G (government to government). Mengapa, ketika lose, harus meminta alokasi anggaran dari APBN? Ngaco, atau pura-pura lupa? Penolakan Purbaya semakin relevan sejalan dengan inside story terdapat informasi kepemilikan Whoosh sudah berada pada BUMN China. Perlu selidik managemen aset itu. Semakin jauh dari relevansi kewajiban negara membayar utang luar negeri (ULN).

Sikap yang sama juga ditegaskan Purbaya, ketika megaproyek ini ditarik ke DANANTARA sebagai lembaga investasi model keuangan saat ini, maka persoalan lose itu harusnya juga ditagihkan kepada DANANTARA itu. Mengapa DANANTARA keberatan? Ada logika yang tak nyambung. Karena itu, Purbaya pun menolak permintaan DANANTARA ketika diminta mencover kerugian Whoosh. “Enak aja”, tegasnya sembari senyum terkekeh, ciri khas Purbaya.

Sangat boleh jadi, dalam hati Purbaya terbesit, Kementerian Keuangan bukanlah “kasir” atau juru bayar. Kemenkeu juga berwenang untuk mengatur pembayaran mana yang on the track atau sesuai aturan UU Keuangan Negara dan mana yang sebaliknya. Jika sebaliknya, ya ga fair dong dibiarkan… Namanya tidak amanah.

Mencermati mekanisme tata-kelola keuangan negara saat ini, tidaklah berlebihan jika kita menilai terdapat terobosan Purbaya yang cukup elegan. Meski di level “hulu” harus berantem dan ngotot, hal ini karena model atau pendekatan baru. Beda dengan sistem tata-kelola selama ini. Biasa. Sebagai model baru pasti banyak yang kaget.

Tapi, dan hal ini yang krusial dari sisi kemanusiaan, komponen “hilir” (rakyat) pasti akan menerima buah manisnya. In syaa Allaah. Hanya masalah waktu. Jika Purbaya tetap terjaga keselamatannya, buah manis untuk rakyat bukanlah fatamorgana. Sebagai komponen rakyat sudah selayaknya merespon positif. Mendukung gerakan terobosan konstruktif itu. Juga, mendoakan keselamatan dirinya dan keluarganya. Dan hal ini sudah diperlihatkan oleh Prabowo: dengan mengerahkan Kopassus. Untuk keamanan penuh selama 24 jam, saat di luar ataupun di dalam kediamannya. Prabowo berkepentingan dengan manusia pemberani seperti Purbaya Yudha Sadewa ini.

Bekasi, 30 Oktober 2025

EDITOR: REYNA

Baca juga:

“Purbayanomics” (1): Purbaya Hanyalah Berdrakor?

“Purbayanomics&” (2): Pemberontakan Ala Purbaya: Rekonstruksi Ekonomi Nasional

 

Last Day Views: 26,55 K