JAKARTA — Kamis (30/10) menjadi hari yang sarat makna bagi perjalanan kebangsaan Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk politik dan dinamika sosial yang kian kompleks, sebuah pertemuan senyap namun bersejarah terjadi di Gedung DPR RI, Senayan.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menerima kunjungan Pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo, Ustaz Abu Bakar Ba’asyir, sosok yang namanya telah mewarnai lembar sejarah Indonesia modern — dengan segala kontroversi, keteguhan, dan perjalanan spiritualnya.
Pertemuan itu tidak hanya sekadar silaturahmi. Di balik ruang tamu pimpinan DPR yang hangat, keduanya membahas hal-hal mendasar: kemaslahatan umat, persatuan bangsa, dan arah pembangunan Indonesia ke depan.
Menembus Sekat Masa Lalu
Nama Abu Bakar Ba’asyir tidak bisa dilepaskan dari berbagai narasi besar tentang perlawanan, ideologi, dan perbedaan tafsir dalam perjuangan umat Islam di Indonesia. Ia pernah dituduh terkait jaringan terorisme internasional — tuduhan yang sampai hari ini masih menimbulkan perdebatan dan dianggap banyak pihak sebagai klaim sepihak yang tidak pernah sepenuhnya terbukti secara hukum yang adil dan transparan.
Namun waktu telah bergulir. Sang ulama kini menatap kehidupan bangsa dengan cara yang lebih teduh. Pesan-pesan yang disampaikan dalam pertemuan itu jauh dari nada perlawanan, melainkan seruan moral untuk menjaga kesatuan, menghindari perpecahan, dan meneguhkan nilai-nilai keislaman dalam bingkai kebangsaan.
“Persatuan umat adalah kunci utama dalam menjaga keutuhan Indonesia,” demikian salah satu pesan yang menjadi benang merah dalam perbincangan mereka.
Sufmi Dasco Ahmad: Menyatukan Politik dan Spirit Kebangsaan
Di sisi lain, kehadiran Sufmi Dasco Ahmad mewakili wajah baru politik nasional — seorang politisi yang dikenal dekat dengan Presiden Prabowo Subianto, sekaligus figur yang berperan strategis di parlemen.
Sebagai Wakil Ketua DPR RI, Dasco memegang peran penting dalam menjembatani komunikasi antara aspirasi masyarakat, kepentingan politik, dan arah pembangunan nasional.
Pertemuannya dengan Abu Bakar Ba’asyir menunjukkan bahwa politik yang sejati bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang merawat kepercayaan dan meneguhkan arah moral bangsa.
Dasco memahami bahwa dalam membangun Indonesia ke depan, dibutuhkan rekonsiliasi kultural dan spiritual, bukan sekadar pembangunan fisik atau ekonomi. Dialog dengan tokoh-tokoh moral seperti Ba’asyir menjadi bagian dari upaya merangkul seluruh elemen bangsa, tanpa terkecuali.
Momentum Persatuan di Tengah Fragmentasi Bangsa
Kita hidup di era di mana polarisasi sosial, perbedaan tafsir agama, dan rivalitas politik sering kali mengoyak persaudaraan kebangsaan. Dalam konteks inilah, pertemuan antara seorang tokoh spiritual dan tokoh politik nasional menjadi simbol penting.
Keduanya menegaskan bahwa cinta tanah air dan iman tidak pernah bertentangan. Justru keduanya harus berjalan seiring, saling memperkuat dan menjaga fondasi moral bangsa.
Abu Bakar Ba’asyir, dalam pandangan banyak kalangan, kini tampil sebagai sosok ulama sepuh yang menyerukan kedamaian, persatuan, dan dakwah yang mencerahkan, bukan yang memecah belah.
Sementara Sufmi Dasco Ahmad, dengan pengaruh politiknya yang kuat, berpotensi menjadi jembatan yang menyalurkan pesan-pesan moral itu ke dalam kebijakan dan arah pembangunan nasional.
Membangun Indonesia yang Utuh dan Bermartabat
Pertemuan ini seolah menjadi penanda bahwa Indonesia sedang memasuki babak baru: babak rekonsiliasi nilai dan kepemimpinan.
Negeri ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin kuat — ia memerlukan pemimpin yang mampu mendengar suara moral bangsa, termasuk dari mereka yang pernah “disisihkan” oleh sejarah.
Abu Bakar Ba’asyir dan Sufmi Dasco Ahmad telah menunjukkan, bahwa di atas segala perbedaan, ada satu tujuan besar yang menyatukan — kemaslahatan umat dan keutuhan Indonesia.
Di tengah tantangan global, degradasi moral, dan ketimpangan sosial, bangsa ini membutuhkan lebih banyak pertemuan semacam itu — pertemuan yang menghidupkan kembali semangat ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), ukhuwah islamiyah, dan ukhuwah insaniyah.
Penutup
Pertemuan ini bukan hanya simbol silaturahmi dua tokoh. Ia adalah simbol kesadaran baru, bahwa membangun Indonesia tidak bisa hanya dengan beton dan angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dengan nilai, dialog, dan keikhlasan.
Di antara dinding gedung parlemen yang sering menjadi arena debat politik, hari itu — Kamis, 30 Oktober — telah lahir sejenak suasana yang lebih tinggi: suasana persaudaraan dan harapan akan Indonesia yang damai, adil, dan bermartabat.
EDITOR: REYNA
Baca Juga:
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (75): Masyarakat Tidak Usah Takut Memutar Musik
Related Posts
 - Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menetapkan preseden iklim utama dalam kasus minyak Norwegia
 - Laporan rahasia AS menemukan ‘ratusan’ potensi pelanggaran hak asasi manusia Israel di Gaza
 - DI dan PRRI Adalah Jamu Dosis Tinggi Bagi NKRI
 - Pengamat Kebijakan Publik Ngawi Minta Rizky Mundur, Spanduk Protes Menyebar di Desa Tirak
 - Radhar Tribaskoro: Demokrasi Retorika
 - Siapa Yang Gila (2)
 - Kesederhanaan dan Keteladanan Sri Sultan HB X
 - Siapa Yang Gila (1)
 - Bersumpah Pemuda Masa Kini
 - Tirak Gate: Pengamat Kebijakan Publik Ngawi, Agus Fatoni Menilai Ada Keculasan Nyata Dan Brutal Dalam Kasus Tirak



No Responses