Oleh: Budi Puryanto
Langit sore di atas Samudra Hindia tampak seperti kanvas darah dan tembaga. Di dek kapal riset yang berlayar di bawah bendera netral PBB, Seno berdiri diam, memandangi horizon. Namun di benaknya, ia bukan sedang meneliti plankton seperti tertulis dalam surat tugas diplomatiknya — ia sedang membaca peta pergerakan kapal tak bertanda yang dua hari terakhir melintas di bawah radar.
“Koordinat yang dikirimkan Gatra tidak cocok dengan laporan NATO,” kata Ratna, membuka peta digital di tablet.
“Tiga kapal tanker tanpa identitas, bergerak lambat ke arah barat daya Sumatra. Lalu lenyap.”
Seno menarik napas panjang.
“Itu pola lama. Mereka menyebutnya Ghost Convoy — armada bayangan yang digunakan Imperium Tiga Samudra untuk memindahkan logistik dan dana tanpa jejak satelit.”
Ratna menatap suaminya dengan ragu.
“Jadi Imperium itu… benar-benar nyata?”
Seno tak menjawab seketika. Ia memejamkan mata, membiarkan suara ombak menggantikan kalimat.
“Nyata. Tapi bukan entitas tunggal. Lebih mirip simfoni dari tiga pemain besar yang saling curiga namun satu tujuan: menguasai jalur ekonomi lintas samudra.”
Ratna memiringkan kepala.
“Samudra Hindia, Samudra Pasifik, dan Samudra Atlantik?”
Seno mengangguk pelan.
“Ya. Imperium Tiga Samudra. Mereka bukan negara, tapi jaringan yang menyatukan korporasi transnasional, dinas intelijen, dan konglomerat logistik global. Di balik layar, mereka menulis ulang peta kekuasaan ekonomi dunia, tanpa perlu perang — cukup lewat utang, pelabuhan, dan infrastruktur digital.”
Ratna menelan ludah.
“Lalu Gema?”
“Gema hanyalah pion,” jawab Seno dingin. “Mereka dikendalikan, diberi ide tentang ‘kemerdekaan ekonomi’, padahal hanya menyiapkan jalur bagi Imperium untuk menguasai sumber daya laut dan pangan. Samudra Jaya itu bukan gerakan rakyat, tapi proyek canggih kamuflase — propaganda untuk menciptakan legitimasi moral.”
Ratna menatap laut, kali ini dengan tatapan murka.
“Dan Presiden Pradipa?”
Seno berbalik.
“Dia sudah tahu. Tapi Presiden tidak bisa bertindak frontal. Banyak pejabat di dalam negeri sudah terikat pada jaringan logistik dan energi Imperium. Ia menyiapkan langkah diam-diam — diplomasi senyap.”
Tiga hari kemudian, di gedung tua Kementerian Luar Negeri yang kini diselimuti penjagaan ketat, Pradipa bertemu Duta Besar dari tiga negara besar secara rahasia. Tak ada wartawan, tak ada foto, tak ada catatan resmi. Pertemuan itu disebut “Konferensi Laut Gelap”.
“Yang kalian sebut Imperium Tiga Samudra,” kata Pradipa datar, “sedang menguji garis kedaulatan kami. Mereka membeli pelabuhan kecil, membiayai riset oseanografi, dan menyusupkan data lewat sistem kabel bawah laut. Itu bukan kerja NGO atau perusahaan swasta biasa.”
Duta Besar dari Eropa tersenyum tipis.
“Presiden, dunia sudah lama hidup dalam simbiosis seperti ini. Tidak ada ekonomi murni, tidak ada politik netral.”
“Kalau begitu,” Pradipa mendekat, menatapnya tajam, “bagaimana jika Indonesia berhenti menjadi bagian dari simbiosis itu?”
Ruangan mendadak senyap. Hanya terdengar bunyi detak arloji di tangan Pradipa. Seorang pejabat muda di sudut ruangan — yang belakangan diketahui sebagai agen Imperium — mencatat semua kata lewat mikrochip kecil di pena.
Di malam yang sama, Seno menerima pesan terenkripsi dari unit intel BIN.
“Kode Operasi: Garuda Melayang. Target: Node Samudra Barat. Tujuan: Lacak sumber dana Imperium di bawah bendera riset laut.”
Ratna menatap pesan itu dengan wajah tegang.
“Berarti kita sudah resmi berperang?”
Seno tersenyum kecil, tapi matanya tetap dingin.
“Belum. Tapi kita sudah menyeberangi garis yang tak bisa kembali.”
Ia kemudian membuka peta dunia holografik di layar kabin.Tiga garis biru melingkari dunia — satu dari Atlantik ke Pasifik, satu dari Pasifik ke Hindia, dan satu lagi menghubungkan ketiganya lewat rute rahasia bawah laut.
“Tiga Samudra,” gumam Ratna. “Tiga poros dunia.”
“Dan di tengahnya,” kata Seno pelan, “ada Indonesia.”
Beberapa hari kemudian, dari kantor pusat PSC di Jakarta, sebuah tim kontra-spionase memulai operasi senyap, menelusuri jaringan fiber optik internasional yang ternyata menyembunyikan Data Bridge milik Imperium. Mereka menemukan pola komunikasi aneh antara laboratorium kelautan di Norwegia, perusahaan minyak di Afrika Timur, dan satu entitas misterius di Singapura yang disebut Horizon-3.
Seno menduga Horizon-3 adalah markas kendali Imperium Samudra Barat — penghubung antara logistik global dan operasi rahasia finansial.
Namun, ada sesuatu yang lebih mengerikan.
“Menurut analisis, Horizon-3 bukan hanya server data,” kata Seno dalam rapat tertutup. “Dia juga mengatur algoritma distribusi pangan global — menentukan harga beras, gandum, hingga minyak ikan. Dunia ini dikendalikan bukan oleh pemerintah, tapi oleh sistem digital yang diciptakan oleh Imperium.”
Ratna berbisik, “Dan kita… bagian dari percobaan itu.”
Malam hari, Pradipa berdiri di balkon Istana, memandang ke barat — ke arah laut yang dulu jadi jalur penjajahan, kini jadi arena perebutan baru.
Ia tahu badai akan datang, tapi juga tahu bahwa bangsa ini tak bisa lagi menjadi bidak di papan catur Imperium.
“Sudah waktunya kita menulis ulang peta dunia,” katanya pelan, sebelum langit Jakarta kembali diselimuti kabut jingga dan bunyi sirene diplomatik dari kedutaan asing menggema di kejauhan.
Ditempat lain, Seno menatap layar yang kini menampilkan pola gelombang elektromagnetik berwarna hijau zamrud. Setiap titik berdenyut seperti detak jantung dunia bawah laut. Di balik pola itu, tersimpan pesan terenkripsi dari Horizon-3 — pesan yang tampaknya bukan sekadar data, melainkan perintah otomatis bagi sistem ekonomi global.
“Ini bukan hanya jaringan perdagangan,” gumamnya. “Mereka sudah menciptakan machine governance — pemerintahan digital tanpa wajah manusia.”
Ratna mendekat, jari-jarinya bergetar di atas layar komputer.
“Kalau begitu, siapa yang benar-benar memerintah dunia ini, Sen?”
“Algoritma,” jawab Seno datar. “Kita sedang melawan sesuatu yang tak bisa ditangkap, tak bisa diadili.”
Sementara itu, di ruang bawah tanah Istana, Presiden Pradipa memimpin rapat darurat dengan tim bayangan yang disebut Direktorat K-13. Di dinding, terpampang peta global dengan garis-garis merah menunjukkan jalur serat optik, pelabuhan strategis, dan titik energi lepas pantai. Di tengah ruangan, lampu redup menyoroti dokumen bertanda rahasia: Protokol Garuda Melayang — Tahap Dua.
“Jika mereka mengendalikan algoritma pangan,” kata Pradipa perlahan, “maka kita akan menyerang balik lewat hal yang sama.”
Ia menatap kepala Badan Siber.
“Buat algoritma tandingan. Namanya: ‘Ganesha’ — jaringan cerdas yang mampu mengacaukan sistem distribusi data Imperium tanpa terdeteksi.”
Malam itu, ribuan node server di seluruh Indonesia mulai menyala. Dari Sabang hingga Merauke, gelombang data mengenkripsi dirinya menjadi suara yang hanya dimengerti mesin: kode merah putih digital.
Dan di tengah laut, kapal riset tempat Seno berdiri bergetar halus — menerima sinyal dari pusat komando Jakarta.
Ratna menatap layar dengan napas tertahan.
“Apakah ini… awal perang siber dunia?”
Seno menatap ke luar, ke lautan gelap yang kini berkilau oleh pantulan satelit di langit.
“Bukan perang,” katanya pelan. “Ini kebangkitan. Dunia telah lama dikuasai tiga samudra, kini saatnya samudra keempat muncul — samudra data, dan kita yang menulis ombak pertamanya.”
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda
Novel Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang
Novel Imperium Tiga Samudra (4) — Pertemuan di Lisbon
Related Posts

Air minum di Teheran bisa kering dalam dua minggu, kata pejabat Iran

Perintah Menyerang Atas Dasar Agama

Forum Bhayangkara Indonesia DPC Ngawi Layangkan Somasi ke Camat Kwadungan Soal Pengisian Calon Sekdes Desa Tirak

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai

Study Tour ke Jogja Diduga Buat Ajang Bisnis, Kepala SMAN 1 Patianrowo Nganjuk Diduga Langgar Hukum

Dari Api Surabaya ke Api Perubahan: Anies Baswedan dan Gerakan Mencerdaskan Bangsa

Sudah Bayar 200 Juta, Tidak Lulus Seleksi Calon Perangkat Desa Tirak, Uang Ditagih

Dari Api Surabaya ke Api Perubahan: Anies Baswedan dan Gerakan Mencerdaskan Bangsa

Warna-Warni Quote

Kunjungan Jokowi Dan Gibran Ke Keraton Kasunanan Mataram Surakarta Hadiningrat


No Responses