Oleh: M. Isa Ansori
Ketika langit Surabaya memerah oleh kobaran api dan dentuman meriam pada 10 November 1945, yang membara sesungguhnya bukan hanya gedung-gedung kota, melainkan hati rakyat Indonesia yang menolak tunduk. Di tengah pekik takbir dan suara bedil, lahir kesadaran kolektif: bahwa kemerdekaan adalah harga diri, bukan hadiah penjajah. Bahwa bangsa ini harus berdiri di atas kaki sendiri, dengan darah dan air mata rakyatnya sendiri.
Dalam pidatonya yang mengguncang jiwa, Bung Tomo berseru:
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!”
Seruan itu bukan hanya panggilan perang, tetapi panggilan untuk berpikir dan berjuang secara sadar. Api perjuangan Surabaya bukan sekadar kobaran fisik, melainkan api kesadaran bangsa — kesadaran untuk merdeka dari kebodohan, dari ketidakadilan, dan dari penindasan dalam segala bentuknya.
Dari Perang Fisik ke Perang Pemikiran
Delapan puluh tahun telah berlalu. Senjata dan meriam telah digantikan oleh layar-layar gawai, dan medan pertempuran kini bergeser ke ruang pikir dan moral bangsa. Di era digital, ancaman bukan lagi peluru penjajah, tetapi penjajahan melalui kebodohan, manipulasi informasi, dan politik transaksional.
Dalam situasi itulah, muncul figur seperti Anies Baswedan — seorang intelektual publik yang menyalakan api perjuangan dalam bentuk baru: perjuangan mencerdaskan bangsa. Ia tidak membawa senjata, tetapi membawa ide dan teladan. Ia tidak memerangi bangsa lain, tetapi melawan keterbelakangan yang merampas masa depan bangsanya sendiri.
Sejak awal kiprahnya, Anies percaya pada pesan abadi Ki Hajar Dewantara:
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”
Ia memaknai kalimat itu bukan hanya sebagai filosofi pendidikan, tetapi strategi peradaban. Melalui Gerakan Indonesia Mengajar, ia menempatkan sarjana muda ke pelosok negeri, agar anak-anak dari Sabang sampai Merauke merasakan kehadiran negara melalui ilmu dan kasih. Ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta, ia melanjutkan api itu dengan menghadirkan pendidikan yang berkeadilan — KJP Plus, sekolah kolaboratif, hingga revitalisasi ruang publik sebagai tempat belajar sosial.
Anies meyakini, bangsa yang cerdas akan melahirkan warga yang merdeka berpikir. Dan warga yang merdeka berpikir, akan melahirkan pemimpin yang berintegritas.
Demokrasi yang Hidup dari Kecerdasan Rakyat
Demokrasi sejati hanya tumbuh di tanah yang subur oleh pengetahuan. Tanpa itu, demokrasi hanyalah ritual lima tahunan tanpa makna. Anies memahami hal ini. Ia menegakkan prinsip transparansi, partisipasi, dan kolaborasi, agar rakyat tidak lagi menjadi penonton, melainkan pelaku dalam pembangunan.
Di Jakarta, ia membuktikan bahwa kolaborasi dapat menjadi energi perubahan. Program Musrenbang Partisipatif, Jakarta Smart City, dan Jakarta Kota Kolaborasi menunjukkan bahwa keadilan sosial hanya lahir dari keterlibatan publik. Ia tidak menjanjikan rakyat untuk “diselamatkan”, tetapi mengajak rakyat untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Di sinilah semangat 10 November menemukan wujud barunya. Bila rakyat Surabaya dulu berjuang dengan bambu runcing, rakyat masa kini berjuang dengan pena, gagasan, dan solidaritas. Jika dulu mereka mengangkat teriakan “Merdeka!”, maka kini kita perlu mengangkat seruan “Cerdas dan Berdaya!”
Api Perubahan dan Amanah Konstitusi
Bagi Anies, perjuangan mencerdaskan bangsa bukan romantisme moral, melainkan amanah konstitusi. Pembukaan UUD 1945 menegaskan dua hal pokok: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Itulah titik pijak seluruh pemikiran dan gerak langkahnya.
Ia menolak melihat rakyat sekadar sebagai objek kebijakan. Rakyat, bagi Anies, adalah mitra sejarah — sumber legitimasi dan sumber inspirasi. Karena itu, program yang ia rancang selalu bertumpu pada keadilan sosial: pendidikan inklusif, transportasi publik yang manusiawi, dan kebijakan ruang kota yang berpihak pada rakyat kecil.
Anies meyakini bahwa perubahan bukan sekadar soal mengganti orang di kursi kekuasaan, melainkan mengembalikan moralitas kekuasaan kepada rakyat. Ia sering mengingatkan, “Kita ingin Indonesia bukan hanya besar karena wilayahnya, tetapi karena keadilan dan kecerdasannya.”
Menyalakan Kembali Bara Surabaya
Kini, ketika bangsa ini kembali diuji oleh kemerosotan moral, polarisasi politik, dan krisis kepercayaan, pertanyaan besar muncul: Apakah api Surabaya masih menyala di dada kita?
Atau sudah padam dihembuskan oleh pragmatisme dan kepentingan sesaat?
Dalam setiap langkahnya, Anies berusaha menyalakan kembali bara itu — bukan dengan pekik perang, tetapi dengan seruan perubahan. Seperti Bung Tomo yang menggugah rakyat agar tidak menyerah kepada penjajah, Anies mengajak bangsa ini tidak menyerah pada kebodohan dan kemunafikan. Keduanya menyalakan api yang sama, hanya dalam medan perjuangan yang berbeda.
Api Surabaya menyalakan keberanian, Api perubahan menyalakan kesadaran. Dan keduanya tumbuh dari sumber yang sama: cinta kepada tanah air dan keyakinan pada kebenaran. Kita mungkin tidak lagi mendengar dentuman meriam, tetapi kita mendengar suara rakyat yang ingin hidup layak dan berkeadilan. Kita mungkin tidak lagi mengangkat senjata, tetapi kita bisa mengangkat pena, ilmu, dan nurani.
Bila Bung Tomo berjuang agar bangsa ini merdeka dari penjajahan fisik, maka perjuangan Anies Baswedan adalah agar bangsa ini merdeka dari kebodohan dan ketidakadilan. Dan selama api itu terus dijaga — di sekolah, di kampung, di ruang publik, dan di dada setiap anak bangsa — maka cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan tidak akan pernah padam.
Sebab dari api Surabaya itulah kini menyala api perubahan: api yang tidak lagi membakar tubuh, tetapi menerangi jalan bangsa menuju Indonesia yang beradab, berilmu, dan berintegritas.
Surabaya , 3 November 2025
Tentang Penulis :
M. Isa Ansori Adalah Kolumnis, Dosen, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, dan Wakil Ketua ICMI Jatim. Aktif menulis essay sosial, politik, pendidikan dan kebijakan publik diberbagai media online maupun cetak
EDITOR: REYNA
Related Posts

Air minum di Teheran bisa kering dalam dua minggu, kata pejabat Iran

Perintah Menyerang Atas Dasar Agama

Forum Bhayangkara Indonesia DPC Ngawi Layangkan Somasi ke Camat Kwadungan Soal Pengisian Calon Sekdes Desa Tirak

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Study Tour ke Jogja Diduga Buat Ajang Bisnis, Kepala SMAN 1 Patianrowo Nganjuk Diduga Langgar Hukum

Dari Api Surabaya ke Api Perubahan: Anies Baswedan dan Gerakan Mencerdaskan Bangsa

Sudah Bayar 200 Juta, Tidak Lulus Seleksi Calon Perangkat Desa Tirak, Uang Ditagih

Warna-Warni Quote

Kunjungan Jokowi Dan Gibran Ke Keraton Kasunanan Mataram Surakarta Hadiningrat



No Responses