JAKARTA – Seiring memasuki tahun kedua pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dinamika politik nasional mulai menunjukkan gejala regangan dalam koalisi yang sebelumnya tampak solid. Aktivitas kabinet dan fraksi pendukung kini kian sering diliputi sinyal-sinyal ketidakpuasan dari dalam. Beberapa menteri yang duduk di posisi strategis disebut tidak sepenuhnya selaras dengan visi presiden, terutama terkait agenda reformasi birokrasi dan percepatan digitalisasi pemerintahan.
Dalam pertemuan tertutup, seorang tokoh partai koalisi mengungkap bahwa loyalitas formal tidak lagi cukup bila arah kebijakan dianggap bergeser: “kepatuhan bukan berarti sejalan,” ujarnya. Sementara itu, tekanan publik semakin meningkat akibat sejumlah proyek infrastruktur raksasa mangkrak dan anggaran kementerian yang minim transparansi. Publik dan media mulai mempertanyakan efektivitas kabinet yang dibentuk sejak Oktober 2024.
Di tengah atmosfer ini, muncul rumor kuat bahwa reshuffle kabinet akan segera dilaksanakan. Tujuannya: memperkuat kendali presiden atas jalannya pemerintahan, sekaligus meredam potensi kebocoran suara koalisi ke oposisi menjelang pemilihan kepala daerah serentak. Namun, langkah ini juga berisiko memunculkan konflik internal yang lebih serius — terlebih bila partai pendukung merasa dipinggirkan atau posisinya di kabinet ditukar dengan yang dianggap “kurang strategis”.
Analis politik menilai bahwa perubahan susunan kabinet bisa menjadi titik balik peta kekuasaan nasional. Bila partai kunci merasa dirugikan, mereka berpotensi menahan dukungan atau bahkan membentuk blok alternatif. Ini tentu akan mempengaruhi momentum menuju tahun 2026, ketika sejumlah pilkada dan posisi strategis partai akan kembali diperebutkan.
Sedangkan dari sisi publik, harapan besar diletakkan pada pemerintahan agar lebih konkret — bukan hanya berganti nama atau wajah baru, tetapi juga dalam pencapaian reformasi nyata: percepatan pelayanan publik, pengurangan korupsi, digitalisasi nyata, dan kebijakan fiskal yang berpihak pada rakyat. Kalau reshuffle semata-mata kosmetik, risiko kekecewaan serta gejolak sosial akan meningkat.
Pada akhirnya, koalisi yang retak di tengah jalan bukan hanya soal pergantian menteri, tetapi soal kepercayaan. Bila pemerintahan gagal menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan tuntutan publik akan perubahan, potensi turbulensi akan muncul — bukan hanya dalam lingkup kabinet, tetapi dalam dukungan rakyat dan figur presiden sendiri. Harapan besar kini tertumpu pada resolusi cepat dan kebijakan yang menyentuh, agar sinyal panas dari Istana ini menjadi momentum perbaikan — bukan pemicu fraktur yang lebih dalam.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Patianrowo Nganjuk dan Komite Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Nganjuk

Aksi Selamatkan Hiu: Pemuda Banyuwangi Kembangkan Aplikasi Berbasis Kecerdasan Buatan untuk Identifikasi Spesies Hiu Secara Akurat

Pemilu Amerika 2025: Duel Sengit AI vs Etika di Panggung Politik Dunia

Jakarta 2030: Ketika Laut Sudah di Depan Pintu

Dari Wayang ke Metaverse: Seniman Muda Bawa Budaya Jawa ke Dunia Virtual

Operasi Senyap Komisi Pemberantasan Korupsi: Tangkap Tangan Kepala Daerah dan Pejabat BUMD dalam Proyek Air Bersih



No Responses