Oleh: M. Isa Ansori
Negara yang kuat tidak diukur dari seberapa banyak janji yang diucapkan, melainkan dari seberapa nyata janji itu diwujudkan. Dalam suasana politik yang penuh harapan, kepemimpinan hari ini dihadapkan pada tanggung jawab besar: bukan sekadar melanjutkan pemerintahan, tetapi meneguhkan kembali arah dan visi bangsa. Tulisan ini adalah seruan reflektif bagi pemerintah untuk menata ulang langkah, menemukan kembali arah negara, dan mengubah janji besar menjadi bukti nyata bagi rakyat.
Negeri ini selalu pandai menebar janji. Anak-anak dijanjikan makan bergizi, rakyat dijanjikan rumah layak, para pelajar dijanjikan sekolah tanpa sekat sosial, dan bangsa dijanjikan kemandirian dari utang luar negeri. Namun di balik gemuruh retorika itu, kita justru menyaksikan paradoks: semakin banyak janji dikumandangkan, semakin sedikit yang benar-benar terwujud. Negara seakan berjalan, tapi tanpa arah — terperangkap dalam vakum kepemimpinan yang kehilangan kompas.
Kepemimpinan yang Bereaksi, Bukan Mengarahkan
Dalam teori John P. Kotter (1990), kepemimpinan yang sehat bukan sekadar kemampuan merespons, tapi mengarahkan dan memberi arah jangka panjang. Namun kini, arah itu tampak kabur. Pemimpin lebih sibuk bereaksi terhadap tekanan politik dan sorotan media, daripada meneguhkan visi dan membangun fondasi kebijakan. Akibatnya, kebijakan negara berjalan tanpa koordinasi, anak buah bergerak tanpa arah, dan janji-janji besar kehilangan substansi.
Janji Makan Bergizi, Tapi Serapan Gizi Tak Tercapai
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi ikon kampanye pemerintahan baru: simbol keberpihakan pada anak bangsa. Namun data menunjukkan ironi. Dari total alokasi triliunan rupiah, serapan hingga September 2025 hanya berkisar 18,3%, jauh dari target. Sebagian sumber pemerintah memang mengklaim 50% lebih, tapi di lapangan sekolah-sekolah penerima belum merata, sistem distribusi tidak siap, dan koordinasi antarkementerian masih tumpang tindih. Yang tampak justru seremonial: makan bersama di depan kamera, bukan pelayanan gizi yang berkelanjutan. Janji besar yang seharusnya menyentuh perut rakyat berubah menjadi angka di atas kertas.
Rumah Murah, Tapi Tak Mudah
Janji membangun jutaan rumah rakyat melalui KPR FLPP dan program MBR terdengar megah di panggung politik, tapi hingga pertengahan 2025, realisasinya baru mencapai sekitar 26 ribu unit — sangat jauh dari target nasional. Kendala klasik seperti keterbatasan lahan, biaya infrastruktur, dan tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah terus berulang. Yang tersisa hanyalah angka pencitraan yang menenangkan, bukan solusi yang menyejahterakan.
Sekolah Rakyat: Antara Sosial dan Pendidikan, Tanpa Sinkronisasi
Program Sekolah Rakyat semestinya menjadi jalan bagi pendidikan inklusif. Namun di balik ide besar itu, terjadi benturan kewenangan. Kementerian Sosial mengklaim sebagai pelaksana program bagi anak rentan sosial, sementara Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menjalankan skema serupa melalui PKBM dan pendidikan nonformal. Hasilnya: lokasi program tumpang tindih, data murid berulang, dan anggaran terbuang sia-sia. Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut para ilmuwan tata kelola sebagai governance dissonance — ketika lembaga negara bekerja tanpa orkestrasi, dan harmoni digantikan kebingungan.
Janji Heroik: Mengambil Alih Utang Whoosh
Janji paling heroik datang ketika Presiden Prabowo berikrar akan mengambil alih utang proyek Kereta Cepat Whoosh — warisan mahal dari pemerintahan sebelumnya. Di permukaan, langkah ini tampak berani dan patriotik. Namun secara fiskal, keputusan ini menyimpan dilema besar.
Jika pengambilalihan dilakukan atas nama negara, maka beban utang otomatis berpindah ke pajak rakyat. Artinya, rakyat yang tak pernah menaiki Whoosh tetap menanggung cicilan dan bunganya. Padahal, rasio utang terhadap PDB Indonesia pada 2025 sudah menyentuh sekitar 39–40%, dengan ruang fiskal yang makin sempit. Sebaliknya, jika pengambilalihan dilakukan atas nama pribadi atau entitas tertentu, maka muncul pertanyaan tentang transparansi dan tanggung jawab publik. Dalam kedua skenario, rakyatlah yang berpotensi dirugikan — baik melalui pajak yang meningkat maupun layanan publik yang dikorbankan.
Fenomena ini disebut para ekonom sebagai fiscal illusion: ilusi kebijakan pro-rakyat yang sebenarnya hanya memindahkan beban tanpa memberi manfaat nyata.
Menemukan Kembali Arah Kepemimpinan
Keluar dari vakum ini membutuhkan langkah yang lebih besar dari sekadar retorika.
1. Audit independen nasional untuk menilai efektivitas program unggulan — MBG, rumah murah, Sekolah Rakyat, dan Whoosh — agar publik mengetahui capaian dan beban fiskal secara transparan.
2. Task force lintas kementerian dengan otoritas tunggal di bawah presiden guna memastikan sinergi, bukan tumpang tindih.
3. Pendekatan desentralisasi adaptif, yang memberi ruang bagi daerah menentukan prioritasnya sesuai kondisi sosial-ekonomi.
4. Kepemimpinan berbasis hasil, bukan seremoni. Ukurannya bukan berapa kali diresmikan, tapi berapa anak kenyang, berapa keluarga punya rumah, berapa murid kembali belajar.
5. Transparansi fiskal, agar rakyat tahu setiap rupiah yang digunakan untuk membayar utang atau membiayai program sosial.
Dari Janji ke Bukti
Negara tidak akan runtuh karena kritik, tetapi ia bisa hancur karena kehilangan arah. Kepemimpinan yang sibuk bereaksi tanpa visi hanya akan melahirkan kebijakan tambal-sulam, dan rakyat yang kehilangan kepercayaan. “Janji besar” seharusnya menjadi energi perubahan — bukan tameng pencitraan untuk menutupi ketidakmampuan.
Hari ini, bangsa ini tidak kekurangan ide. Yang hilang adalah kompas moral dan arah kebijakan. Ketika negara terjebak dalam vakum kepemimpinan, ia tampak bergerak — tapi sesungguhnya tersesat. Janji besar menjadi gema, realisasi hambar menjadi kenyataan. Dan di antara keduanya, rakyat menunggu: kapan negara benar-benar hadir dengan hati, bukan hanya dengan kata.
Catatan Sumber Data dan Referensi:
– Data serapan MBG: Kementerian Keuangan, Laporan Semester I 2025 dan paparan DPR Komisi VIII.
– Data realisasi rumah murah: Kementerian PUPR, Rilis FLPP 2025.
– Data rasio utang terhadap PDB: Bank Indonesia dan Kemenkeu, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia 2025.
– Teori Kepemimpinan: John P. Kotter, Harvard Business Review, 1990.
– Analisis Governance Dissonance: Pierre & Peters (2000), Governance Without Government.
Surabaya, 5 November 2025
Tentang Penulis:
M. Isa Ansori adalah Kolumnis dan Dosen, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, serta Wakil Ketua ICMI Jatim. Aktif menulis opini tentang kebijakan sosial, politik, ekonomi dan pendidikan serta kebijakan publik yang berkeadilan untuk berbagai media nasional
EDITOR: REYNA
Related Posts

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Patianrowo Nganjuk dan Komite Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Nganjuk

Aksi Selamatkan Hiu: Pemuda Banyuwangi Kembangkan Aplikasi Berbasis Kecerdasan Buatan untuk Identifikasi Spesies Hiu Secara Akurat



No Responses