Oleh: Agus Wahid
Penulis: Analis Politik dan Pembangunan
Sudah terverifikasi oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudha Sadewa. Kerugian negara megaproyek kereta api cepat Jakarta – Bandung Whoosh mencapai kisaran Rp 118 triliun. Menkeu pun sudah jelas sikapnya. Karena megaproyek tersebut B to B, maka negara tak mau mengcover kerugian itu melalui APBN.
Kini, Prabowo menunjukkan sikap: dirinya – atas nama kepala negara dan pemerintahan – siap menanggung kerugian itu, meski berdalih sumber dananya dari penyitaan uang korupsi. Sebuh sikap ekonomi-politik-hukum yang tergolong paradok dengan komitmen penegakan hukum anti korupsi yang dikumandangkan selama ini
Paradoksalitas itu jelas-jelas tak sesuai dengan komitmen Prabowo selama ini yang siap mengejar koruptor, sekalipun sampai ke daratan Antartika. Ada inkonsistensi dengan sikap politik-hukumnya yang sering dikobarkan ke ranah publik. Karena, korupsi jelas-jelas telah menyengsarakan rakyat. Sementara, Prabowo – dengan gagah – selalu mengumandangkan “demi rakyat, akan selalu menghadapi kekuatan apapaun dan siapapun”.
Mengapa terjadi gejala perubahan sikap hukum itu? Menurut penelusunan Purbaya, beberapa pihak yang paling bertanggung jawab pada kasus Whoosh di antaranya Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan Jokowi. Ketika Purbaya menyasar LBP, Prabowo masih “anteng”. Membiarkan “cek-cok” LBP versus Purbaya. Dan sinyal kuatnya seperti menggambarkan Prabowo memback up Kemenkeu.
Tapi, ketika arah hukumnya ke Jokowi, muncullah sinyal baru. Indikasinya, Prabowo luntur terhadap pengaruh Jokowi. Kelunturannya terbaca jalas pada sikap Pemerintah (Prabowo) yang siap menanggung kerugian megaproyek Whoosh itu. Sekali lagi, meski sumber dananya dari hasil penyitaan korupsi.
Kita perlu mencatat, penyitaan uang korupsi menjadi milik negara. Hasilnya pun harusnya untuk kepentingan rakyat. Yang sungguh aneh rencana hasil penyitaan hasil korupsi jutru untuk mengcover kerugian akibat korupsi itu. Keanehan ini harus kita garis-bawahi, pengcoveran itu jelas-jelas mengarah pada kepentingan personal, terutama kepada Jokowi.
Sikap Probowo itu dapat kita catat sebagai keloyoannya dalam menghadapi Jokowi. Dan secara ekstrim dapat dinilai Prabowo masih tersandera oleh Jokowi. At least, Prabowo mau melindungi kejahatannya padahal sangat benderang praktik abuse of powernya. Dan itulah cermin Prabowo yang tetap setia pada Jokowi. Prabowo bisa dinilai masih tebang pilih dalam penegakan hukum anti korupsi.
Pertanyaan mendasarnya, apakah kerugian Whoosh karena faktor korupsi? Inilah yang perlu ditelusuri. Meski demikian, kita dapat mengarsir beberapa hal di balik kerugian Whoosh itu. Pertama, studi kelayakannya – sedari awal – sudah diyakini tidak feasible, terutama dari sisi market, meski ada manfaat sisi lain (kepentingan go green). Pertimbangan bisnis sudah disampaikan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan kala itu.
Tapi, buntut dari catatan itu, Jonan malah direshuffle. Sikap yang sama juga dilakukan oleh Kepala Bapenas saat itu: Andrinof Chaniago, padahal andilnya sangat besar bagi perjalanan politik Jokowi. Karena menilai tidak feasible, Andrinof pun direshuffle. Analisis ketidaklayakan pasar terbukti: tingkat serapan penumpang tidak sesuai ekspektasi.
Yang kita saksikan – sebagai hal kedua – Jokowi menggunakan kekuasaan (tangan besinya). Tidak mau mendengarkan catatan akademik dari kedua menterinya. Jokowi lebih manut pada titah Xi Jinping. Apapun landasannya, Jokowi telah melakukan abuse of power. Hal ini jelaslah pelanggaran hukum yang serius. Tetap bisa dikategorikan korupsi, meski tidak langsung ke keuangan negara. Korupsi politik justru menjadi hal fundamental dalam derap pembangunan yang tak sesuai rencana.
Yang ketiga, terjadi pembiaran terhadap praktik mark up dana pembangunan megaproyek kereta api cepat Jakarta – Bandung itu. Mark up-nya cukup serius. Jika AI memperkirakan nilai pembagunan infrastruktur mencapai Rp 350-an juta per m2, penulis mendapatkan info dari sub-kontraktor: nilai mark up-nya mencapai kisaran Rp 700-an juta, padahal – sekali lagi menurut narasumber subkon itu – hanya kisaran Rp 60-an juta per m2 (11,6 kali lipat).
Hal itu jelas, bukan sekedar miss-management. Tapi, yang dapat kita garis-bawahi, dalam komponen miss-management terdapat dana menguap yang terencana secara sistematis. Dan itulah praktik korupsi.
Karena itu, sikap Purbaya sesungguhnya sudah on the track. Penolakannya membayar kerugian negara dari megaproyek Whoose bukan sekedar akadnya B to B, tapi memang sarat dengan pengempalangan keuangan negara.
Kini, Prabowo diperhadapkan masalah sikap politik-hukum anti korupsi. Benarkah committed untuk memberantasnya, atau hanya omon-omon?
Yang perlu diprihatinkan adalah, sikap omon-omon itu akan berefek jauh, di antaranya sebuah kemungkinan Prabowo lebih mendengarkan suara anti Purbaya, dari elemen Jokowi and his geng. Jika itu terjadi, maka nasib Purbaya di ujung tanduk. Tidak tertutup kemungkinan, akan direshuffle.
Bagi Purbaya, rasanya nothing to lose. Tapi, jika Purbaya direshuffle, maka akan terjadi distrust yang meluas. Rakyat yang sudah mulai respek pada rezim Prabowo akan kembali surut. Bahkan, sentiment positif pasar nasional dan internasional, termasuk kalangan investor asing akan berbalik negatif. Jika itu dibiarkan, ekonomi nasional pun akan kembali mengalami decline.
Bukan hanya itu dampak kontiogionnya. Kebijakan ekonomi Purbaya akan langsung tak berjalan efektif. Terjadi lagi pembangkangan dari sistem tata-kelola keuangan negara seperti dulu yang penuh naunsa penindasan terhadap kepentingan rakyat. Para bandit ekonomi pun akan bangkit kembali secara bersama-sama. Pajak pun akan kembali membebani rakyat.
Pendek kata, sektor ekonomi akan kembali pada titik rendah. Prabowo yang mengimpikan pertumbuhan ekonomi di atas 7% hanya mimpi dan fatamorgana.
Yang perku kita sikapi, apakah proses decline of economy disadari oleh Prabowo sebagai risiko pilihan yang paradoks atas persoalan penegakan hukum anti korupsi? Jika tidak disadari, inilah unrgensinya peringatan dini (early warning). Jika menyadari, berarti Prabowo bukan hanya omon-omon, tapi memang termasuk dalam komplotan menghacurkan negara. Dan ini berarti mempersilakan rakyat untuk melakukan gerakan perlawanan massif-ekstensif.
Pertanyaannya, apakah perlawanannya terhadap paket Prabowo-Gibran? Sebuah analisis politik hukum, rakyat tidak bicara paket itu, tapi alamat pasti tertuju kepada sang Presiden, sebagai pemegang kendali utama. Jika itu terjadi, sama artinya Prabowo sedang mempersiapkan Gibran sebagai penerusnya. Maasaa Allaah. Jika ini skenarionya, maka Indonesia memang sedang didesain sebagai negara yang siap dipunahkan. Persis yang dikutip Prabowo sendiri pada pilpres 2019 dalam nover Ghost Fleet karya PW Singer dan August Cole: 2030 Indonesia musnah. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.
Siapa yang bersorak-sore? Bisa China. Bisa juga AS dan lainnya. Mereka memang berkepentimgan Republik Indonesia ini tak boleh maju. Harus tetap menjadi negara “terjajah”. Sebab, kekayaan alamnya memang menggiurkan. Inilah gambaran yang perlu kita renungkan bersama sebagai elemen anak bangsa.
Kita semua pun akhirnya harus merenung kembali who the real leader for Indonesia. Kita butuh pemimpin berani, cakap, beritegritas, nasionalis sejati dan berpihak pada kepentingan rakyat dan negara, bukan sosok pemimpin yang omon-omon.
Jakarta, 06 Novermber 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Amazon mendekati ‘titik tak bisa kembali,’ ilmuwan memperingatkan menjelang COP30

Konferensi iklim PBB di Brasil akan berfokus pada implementasi dengan perkiraan jumlah pemimpin yang terbatas

HCML Raih Penghargaan “Excellence in Strategic Communication and Public Engagement” di CNN Indonesia Awards 2025

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3

Maklumat Yogyakarta: Keprihatinan Atas Perkembangan Kelola Dan Penyelenggaraan Negara Yang Tidak Kunjung Membaik

Prabowo Akan Bayar Utang Kereta Cepat, Habib Umar Alhamid: Apakah Semua Korupsi Era Jokowi Ditanggung Negara?

Prabowo Tanpa Jokowers: Lemahkah?

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional



No Responses