JAKARTA – Pada permukaan, apa yang tampak sebagai pertukaran kebijakan antara pejabat keuangan dan kepemimpinan tertinggi negara — yakni Purbaya Yudhi Sadewa yang enggan “menanggung beban” utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) via APBN, kemudian dihadapkan pada pernyataan Prabowo Subianto yang memastikan bahwa negara tetap sanggup dan akan bertanggung jawab — menyimpan narasi yang jauh lebih dalam dan penuh implikasi. Aktivis Said Didu bahkan menuding bahwa “taring Purbaya telah dicabut” oleh Presiden Prabowo dalam menegosiasikan utang Whoosh.
Artikel ini akan menelisik dari sudut pandang yang berbeda: bukan hanya siapa yang “membayar”, tetapi siapa yang memiliki hak kontrol, siapa yang menutup-tutup, dan siapa yang akhirnya menanggung risiko — serta apa artinya ini bagi tata kelola publik dan akuntabilitas.
1. Latar Belakang Utang Whoosh dan Penolakan Purbaya
Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) dibiayai melalui konsorsium BUMN dan utang dari bank asing, dan kemudian mengalami pembengkakan biaya.
Menkeu Purbaya menegaskan bahwa utang tersebut tidak seharusnya dibebankan ke APBN, melainkan menjadi tanggung jawab Danantara Indonesia selaku induk BUMN yang menaungi proyek tersebut.
Pernyataan ini bukan sekadar keuangan — ini adalah, menurut para pengamat, sinyal bahwa ada persoalan tata kelola (“ketidakberesan”) dalam penanganan proyek tersebut.
2. Pernyataan Presiden Prabowo dan “Pencabutan Taring”
Kemudian Presiden Prabowo tampil dengan pernyataan bahwa utang Whoosh tak usah dikaitkan politik, bahwa Indonesia sanggup membayar, dan minta masyarakat tidak khawatir.
Said Didu menafsirkan hal ini sebagai langkah presiden yang “mencabut taring Purbaya” — dengan kata lain: menghalangi atau meredam langkah yang semula diambil Purbaya untuk membuka persoalan.
Jika kita melihatnya dari sudut pandang “kontrol vs tanggung jawab”, maka muncul pertanyaan: ketika Purbaya mengatakan “ini bukan APBN saya”, lalu presiden mengatakan “ini tanggung jawab saya”, siapa yang sebenarnya memegang kendali?
3. Analisis: Siapa Untung, Siapa Rugi?
a) Akuntabilitas & Transparansi
Purbaya ingin agar APBN tidak jadi penyangga utang korporasi/BUMN — semata-mata demi menjaga anggaran publik. Ketika presiden menegaskan “kita sanggup”, maka pilihan untuk “menutup” persoalan bisa terbaca sebagai prioritas menjaga stabilitas politik/ekonomi daripada kejelasan penyelesaian.
Menurut Said Didu: “Taring Purbaya untuk perbaikan dan membuka kasus… mulai dicabut?” — artinya, potensi kontrol pengawasan internal diminimalisir.
b) Risiko Anggaran Negara
Jika APBN akhirnya dipakai meski semula ditolak, maka beban yang seharusnya dikelola korporasi/BUMN menjadi beban publik. Hal ini bisa menimbulkan moral hazard: proyek besar dengan pembengkakan biaya, lalu negara “menabung” untuk menyelamatkan.
Media melaporkan bahwa pemerintah membuka kemungkinan APBN untuk menalangi utang Whoosh setelah semula ditolak oleh Purbaya.
c) Pesan untuk Masa Depan Infrastruktur
Proyek strategis memang penting, tetapi jika pengelolaan ruang keuangannya “dilepas” ke negara ketika salah, maka sinyal investasi dan manajemen proyek menjadi lemah. Purbaya melihat hal ini sebagai sinyal persoalan tata kelola yang “tidak beres”.
4. Implikasi Politik dan Ekonomi Langsung
Kepercayaan publik bisa terkikis: masyarakat melihat pejabat keuangan mengungkap, lalu presiden “menyelesaikan” tanpa penjelasan terbuka — bisa timbul kesan “penutup rapat”.
Moral bagi BUMN dan kontraktor: apabila utang proyek besar bisa ‘didukung’ oleh negara, maka insentif efisiensi mengecil.
Preseden anggaran: jika satu proyek besar ditangani melalui negara meski awalnya ditegaskan bukan tanggung jawab negara, maka proyek lain bisa menunggu “bantuan negara” pula.
Dinamika antarpejabat: antara menteri keuangan (Purbaya) yang ingin menjaga prinsip dan pengendalian APBN, dan Presiden yang mengambil alih tanggung jawab — bisa timbul gesekan terkait ruang kebijakan.
5. Kesimpulan: “Tanggung Jawab Presiden, Tapi Apakah Kendali?”
Ketika Presiden Prabowo “mengambil alih” tanggung jawab atas utang proyek Whoosh, sementara Purbaya semula menolak penggunaan APBN, maka secara simbolik terjadi pergantian “kepala risikonya” — namun tidak diikuti oleh pergantian “kepala kendalinya”. Purbaya tetap pada posisi bahwa proyek adalah tanggung jawab BUMN dan bukan negara.
Said Didu melihat ini sebagai momen di mana suara pengawas internal (Purbaya) diredam oleh panggung politik (Presiden). Jika “taring Purbaya” benar-benar dicabut, maka siapa yang akan menegakkan kontrol anggaran dan tata kelola ke depan?
Pertanyaannya bukan lagi “siapa yang bayar”, melainkan “siapa yang punya hak untuk bertanya, mengawasi, dan menetapkan batas”. Dan dalam konteks negara demokratis dengan anggaran publik, jawabannya penting untuk diketahui rakyat.
EDITOR: REYNA
Related Posts

“Ratu Pupuk Indonesia”: Ucok Khadafi Soroti Keistimewaan Istri Dirut Pupuk Indonesia

Hakim Perlu Dilindungi

Masa Depan ITS

Gubernur Riau Ditangkap KPK: “Taring Kekuasaan Tumpul di Balik Uang Proyek”

Ubaedillah Badrun: Presiden Tak Bisa Tutupi Korupsi dengan Nama Rakyat, Harus Diberi Peringatan Keras

Amazon mendekati ‘titik tak bisa kembali,’ ilmuwan memperingatkan menjelang COP30

Konferensi iklim PBB di Brasil akan berfokus pada implementasi dengan perkiraan jumlah pemimpin yang terbatas

Whoosh Dan Komitmen Anti Korupsi Itu: Omon-Omon?

HCML Raih Penghargaan “Excellence in Strategic Communication and Public Engagement” di CNN Indonesia Awards 2025

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3



No Responses