Gubernur Riau Ditangkap KPK: “Taring Kekuasaan Tumpul di Balik Uang Proyek”

Gubernur Riau Ditangkap KPK: “Taring Kekuasaan Tumpul di Balik Uang Proyek”
Gubernur Riau Abdul Wahid tiba di gedung KPK sesaat setelah OTT

JAKARTA – Sekali lagi, publik Indonesia diguncang oleh operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Senin malam, 3 November 2025, tim penyidik KPK melakukan OTT terhadap sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau — dan salah satu yang tertangkap adalah Abdul Wahid, Gubernur Riau yang baru menjabat sejak Februari 2025.

Menurut keterangan resmi dari KPK, dalam OTT itu berhasil diamankan uang tunai senilai sekitar Rp 1,6 miliar dalam berbagai mata uang, yaitu rupiah, dolar AS, dan pound sterling. Uang itu ditemukan di beberapa lokasi, termasuk rumah dinas gubernur dan markas dinas PUPR provinsi.

KPK kemudian menetapkan Abdul Wahid bersama dua orang pejabat lainnya sebagai tersangka dugaan pemerasan dalam pengelolaan proyek infrastruktur di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Provinsi Riau. Penetapan ini diumumkan pada 5 November 2025 melalui jumpa pers resmi.

Modus Operandi dan Kerugian Negara

Penyidikan awal mengungkap bahwa proyek jalan dan jembatan di enam wilayah Riau tahun anggaran 2025 mengalami pembengkakan anggaran yang signifikan. Dari angka awal sekitar Rp 71,6 miliar melonjak menjadi Rp 177,4 miliar setelah intervensi. Dalam mekanismenya, setiap Kepala UPT di Dinas PUPR diminta menyetor sejumlah dana “jatah preman” yang dikaitkan dengan kelancaran proyek — bila menolak, mereka terancam mutasi atau pencopotan.

Fakta menarik: uang Rp 1,6 miliar yang diamankan merupakan sebagian dari aliran dana yang diperkirakan mencapai Rp 7 miliar. Uang di antaranya digunakan untuk perjalanan luar negeri sang gubernur ke tiga negara.

Reaksi Publik dan Pemeriksaan Lanjut

Reaksi publik langsung meluap. Aktivis antikorupsi seperti Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta KPK mengusut tuntas jaringan yang lebih luas, karena indikasi korupsi ini bukan sebatas satu-dua transaksi, melainkan sistem yang telah terstruktur.

Publik di media sosial pun ramai. Tagar seperti #RiauMaluLagi dan #GubernurTertangkap memuncaki tren karena masyarakat Riau merasa dikhianati oleh pemimpin yang baru delapan bulan memegang tampuk kekuasaan. Banyak yang menyebut kasus ini sebagai “pengulangan sejarah” bagi provinsi yang sebelumnya sudah beberapa kali gubernurnya tersangkut korupsi.

Dampak dan Langkah Kedepan

Dengan penetapan sebagai tersangka, Abdul Wahid terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar atau lebih, jika terbukti bersalah di Pengadilan Tipikor. Selain itu, KPK menyebut akan memperluas penyidikan ke pihak swasta—termasuk perusahaan kontraktor dan pemasok yang diduga menjadi bagian dari aliran dana.

Pemerintah Provinsi Riau saat ini berada di titik kritis. Kepala dinas dan pejabat pelaksana proyek ramai‐ramai diperiksa, dan proses tender proyek infrastruktur akan diaudit ulang. Jika mekanisme pengadaan dan pengawasan tidak diperbaiki, maka pembangunan yang mestinya untuk rakyat bisa jadi malah menjadi ladang penyimpangan.

Kasus ini bukan hanya soal seorang gubernur yang tertangkap. Lebih dari itu, ini adalah peringatan keras bagi seluruh kepala daerah: jabatan publik bukanlah lumbung pribadi. Ketika elites daerah menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan bukan untuk melayani rakyat, maka kita semua harus bertanya—apakah kita masih bisa berharap pada modernisasi pemerintahan daerah?

Publik sekarang menunggu transparansi penuh: hasil audit, kronologi lengkap aliran dana, dan tentu saja—keadilan ditegakkan, agar nama Riau tak terus tercemar akibat korupsi yang seharusnya bisa dicegah jauh lebih awal.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K