JAKARTA – Di era ketika satu kalimat bisa memicu badai di jagat maya, ucapan “orang-orang mabuk agama, tapi tidak beragama” dari anak Purbaya — pejabat publik yang kini tengah disorot — langsung menyulut api kontroversi. Kalimat itu pendek, tapi mematikan. Seperti percikan kecil yang jatuh di ladang kering, ia menjalar cepat, membakar reputasi sang anak, bahkan menyeret nama besar sang ayah.
“Duh, nak,” komentar seorang warganet, “tahanlah lidahmu. Bapakmu pejabat, kamu bukan rakyat biasa yang bisa seenaknya bicara.”
Komentar itu bukan tanpa alasan. Di tengah situasi sosial yang makin sensitif terhadap isu agama, satu ucapan yang menyinggung nilai spiritual bisa langsung dianggap penghinaan, meskipun maksud aslinya mungkin hanya kritik terhadap kemunafikan sosial.
Namun, apa sebenarnya yang ingin disampaikan anak Purbaya?
Beberapa pengamat melihatnya sebagai bentuk kegelisahan generasi muda terhadap praktik beragama yang dangkal: ritual dijunjung, tapi nilai moral diabaikan. Fenomena “mabuk agama” ini bukan hal baru. Banyak yang mengaku beriman, tapi tak segan mencaci, menipu, atau korupsi atas nama kebenaran.
Masalahnya, kebenaran semacam ini jadi ranjau ketika diucapkan oleh anak pejabat. Ia bukan sekadar individu; ia simbol dari sebuah keluarga yang punya posisi, kekuasaan, dan sorotan publik. Di dunia politik Indonesia, darah pejabat membawa konsekuensi: apa pun yang keluar dari mulut keturunannya bisa berbalik menghantam reputasi sang orang tua.
Sang ayah, Purbaya, dikenal sebagai sosok yang tegas, disiplin, dan religius. Ia jarang bicara politik identitas, apalagi menyinggung soal iman. Tapi kini, publik menatapnya dengan wajah penuh tanda tanya: apakah pandangan sang anak mencerminkan didikan keluarga, atau justru bentuk pemberontakan generasi?
Di media sosial, reaksi publik terbelah. Sebagian menganggap ucapan itu “jujur dan berani,” ekspresi dari generasi yang muak pada kemunafikan berjubah suci. Namun sebagian lain menilai itu penghinaan terhadap umat, kesombongan kaum muda yang merasa lebih pintar dari agama.
Sosiolog komunikasi, Dr. Nurul Hidayah, menilai kasus ini menarik. “Ini benturan antara dua dunia: idealisme personal dan etika publik. Anak pejabat punya hak berpendapat, tapi tanggung jawab moralnya lebih besar. Kebebasan berbicara bukan kebebasan tanpa konsekuensi.”
Dalam dunia politik, citra adalah segalanya. Dan citra, seringkali, lebih rapuh dari kaca.
Anak Purbaya mungkin hanya ingin jujur, ingin menggugah. Tapi di ruang publik Indonesia yang bising dan sensitif, kejujuran seringkali diterjemahkan sebagai penghinaan.
Kini bola panas itu ada di tangan sang ayah. Apakah ia akan membela anaknya atas nama kebebasan berpikir, atau menegur demi menjaga kehormatan keluarga dan jabatan?
Apa pun pilihannya, satu hal pasti: di negeri ini, bicara tentang agama selalu berisiko.
Dan kadang, satu kalimat bisa mengubah arah hidup seseorang — dan keluarganya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sebuah Laporan Sebut Australia Pasok Mineral Vital ke Tiongkok untuk Produksi Rudal Hipersonik

Apa Presiden Akan Pasang Badan Untuk Oligar Hitam?

Zohran Mamdani, Apakah Dia Syiah?

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Danantara & Uang Negara Penebus Dosa Oligarki

KPK Tetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Tersangka Suap Promosi Jabatan dan Gratifikasi, Langsung Ditahan

Presiden Harus Belajar dari Sultan Iskandar Muda

Mencuri Uang Rakyat Turun-Temurun

Pangan, Martabat, dan Peradaban: Membaca Kedaulatan dari Perspektif Kebudayaan

Prabowo Whoosh Wus



No Responses