Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah

Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah
Pekerja berjalan mengontrol steam generator (penghasil uap panas untuk kegiatan injeksi ke lapangan duri) di Central Steam Station Pertamina Hulu Rokan Duri, Riau,15 Oktober 2021. [PERTAMINA/ENERGIA/Adityo Pramono]

JAKARTA – Di tengah gegap-gempita klaim swasembada energi dan semangat transisi hijau, industri minyak dan gas (migas) Indonesia sesungguhnya sedang sakit. Bukan karena cadangan minyak menipis semata, tapi karena penyakit kronis yang tak kunjung disembuhkan: lemahnya tata kelola, inkonsistensi kebijakan, dan praktik bisnis yang sering lebih berpihak pada kelompok tertentu ketimbang kepentingan nasional.

Salah satu suara paling nyaring dalam menyuarakan persoalan ini datang dari Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI). Namanya sering muncul di berbagai media nasional setiap kali ada isu krusial di sektor energi. Dengan gaya bicara lugas, tanpa tedeng aling-aling, Yusri seringkali menjadi pembuka tabir dari praktik-praktik yang jarang disentuh publik.

Yusri Usman Direktur Eksekutif CERI

TKDN yang Hanya Jadi Slogan

Dalam banyak pernyataannya, Yusri menyoroti betapa lemahnya komitmen pemerintah dan pelaku industri dalam menjalankan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di proyek-proyek migas. Ia menyebut, masih banyak kontraktor dan perusahaan besar yang “menyiasati” kewajiban penggunaan produk dalam negeri dengan cara formalitas belaka — sekadar memenuhi dokumen administratif tanpa benar-benar memakai barang atau jasa lokal.

“TKDN seharusnya bukan sekadar angka di atas kertas, tapi komitmen nyata membangun kapasitas nasional. Kalau semua impor, lalu di mana makna kedaulatan energi itu?” ujar Yusri dalam salah satu wawancaranya di Metro TV awal tahun ini.

Kritik itu bukan tanpa dasar. Dalam penelusuran CERI, beberapa proyek hulu migas besar justru menggunakan peralatan impor meski di dalam negeri ada produsen yang mampu menyediakannya. Ini membuat nilai tambah nasional bocor ke luar negeri dan memperlemah daya saing industri lokal.


Blok Rokan dan Pipa yang Tak Pernah Selesai dengan Benar

Sorotan tajam Yusri juga tertuju pada proyek pipa minyak di Blok Rokan, proyek bernilai lebih dari Rp 4,5 triliun yang digadang-gadang menjadi simbol kemandirian nasional pasca transisi dari Chevron ke Pertamina Hulu Rokan (PHR). Namun, menurut CERI, proyek ini menyimpan banyak persoalan — mulai dari kesalahan desain, keterlambatan pengerjaan, hingga dugaan inefisiensi pengelolaan dana.

“Kalau proyek strategis nasional dikelola dengan cara seperti ini, bagaimana investor mau percaya bahwa Indonesia serius membenahi sektor energi?” tegas Yusri dalam wawancara dengan VOI.id.

Ia menilai, persoalan bukan hanya pada teknis proyek, tetapi juga pada manajemen risiko dan tata kelola internal Pertamina yang masih jauh dari prinsip korporasi modern. Banyak keputusan strategis, katanya, masih didorong oleh kepentingan jangka pendek atau tekanan politik, bukan pertimbangan profesional berbasis data dan studi kelayakan.

Pertamina dan Politisasi Jabatan

Yusri juga termasuk sedikit pengamat yang berani mengkritik langsung intervensi politik dalam penempatan direksi Pertamina. Ia menilai keputusan Menteri BUMN yang kerap mengganti direksi tanpa alasan transparan menimbulkan ketidakstabilan manajemen.

“Bagaimana korporasi bisa sehat kalau setiap kali ada dinamika politik, direktur diganti seperti pion di papan catur? Pertamina butuh profesionalisme, bukan loyalitas politik,” katanya, mengomentari pencopotan salah satu direktur Pertamina oleh Erick Thohir pada 2023 lalu.

Bagi Yusri, ini bukan sekadar persoalan jabatan, tapi cermin dari rapuhnya independensi korporasi BUMN energi. Ketika manajemen tidak punya ruang berpikir strategis karena takut pada tekanan politik, maka efisiensi, inovasi, dan transparansi hanya akan menjadi slogan kosong.

Energi yang Tidak Merdeka

Dalam banyak artikulasinya, Yusri menggambarkan keadaan migas Indonesia sebagai “energi yang tidak merdeka.” Negara ini, katanya, kaya sumber daya, tapi miskin kedaulatan. Setiap kali harga minyak dunia naik, APBN terguncang. Setiap kali proyek besar dijalankan, ada aroma kepentingan yang menunggangi.

CERI sendiri di bawah kepemimpinannya tak hanya berhenti pada kritik. Lembaga itu sempat menyatakan akan mengajukan gugatan class action terhadap pelanggaran TKDN di sektor migas. Langkah ini menunjukkan bahwa Yusri tak sekadar bicara — ia mendorong tindakan hukum nyata.

Namun, sikap kerasnya itu membuat Yusri sering bersinggungan dengan banyak pihak. Ia pernah mengaku mendapat tekanan psikologis setelah mengundurkan diri dari kepanitiaan diskusi publik soal penjualan saham salah satu perusahaan tambang besar yang ditangani Kejaksaan Agung. “Saya lebih baik mundur daripada dibungkam,” ujarnya waktu itu — sebuah pernyataan yang mempertegas reputasinya sebagai pengkritik yang sulit dibungkam.

Menutup Luka Lama

Masalah migas Indonesia bukan baru hari ini. Tapi dalam konteks kepemimpinan Yusri Usman di CERI, publik kembali diingatkan bahwa akar persoalan energi bukan sekadar pada sumur minyak yang menipis, melainkan pada moral dan tata kelola yang bocor di mana-mana.

Selama industri migas masih menjadi arena kompromi politik dan kepentingan ekonomi segelintir orang, maka mimpi Indonesia menjadi bangsa mandiri energi akan tetap menjadi slogan. Dan di tengah heningnya suara pejabat yang lebih suka “aman,” keberanian Yusri untuk bicara menjadi oase kecil dalam padang kering transparansi.

Energi kita mungkin belum merdeka, tapi suara-suara seperti Yusri Usman membuktikan bahwa setidaknya masih ada yang berani memperjuangkan kemerdekaan itu — meski dengan risiko dibungkam oleh mereka yang merasa nyaman dalam gelapnya minyak.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K