Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana
Dr Anton Permana

Oleh: Budi Puryanto, Pemimpin Redaksi

Di tengah hiruk pikuk politik dalam negeri dan kabar seputar konflik global yang kian panas, Indonesia berdiri di posisi strategis — sekaligus rentan. Sebuah negeri kepulauan yang diapit dua samudra dan dua benua, menjadi jalur pelayaran internasional yang sibuk, sekaligus ladang subur bagi infiltrasi kekuatan asing, persaingan ekonomi, dan manuver militer global.

Namun di balik jargon “poros maritim dunia” dan berbagai rencana modernisasi alutsista yang digembar-gemborkan, tersimpan persoalan klasik yang belum terselesaikan: lemahnya koordinasi antar lembaga, kebijakan pertahanan yang reaktif, ketergantungan impor teknologi militer, dan minimnya kesadaran geopolitik di kalangan elite.

Di sinilah suara-suara seperti Anton Permana, pengamat ekonomi dan geopolitik, menjadi penting. Ia dikenal sebagai sosok yang berani bicara blak-blakan soal pertahanan, dengan pandangan yang tegas, bahkan terkadang tajam terhadap pemerintah.

Dr Anton Permana dalam acara Diskusi Publik memperingtai Sumpah Pemuda, Senin (20/10/2025) di Jakarta

Membaca “Peta Panas” Dunia dari Jakarta

Anton Permana dalam berbagai kesempatan mengingatkan bahwa dunia saat ini sedang memasuki fase “ketegangan multi-kawasan” yang berpotensi menyeret banyak negara, termasuk Indonesia, dalam pusaran konflik. Ia menyebut setidaknya ada lima titik rawan yang patut diwaspadai: Ukraina, Timur Tengah, Taiwan, Laut China Selatan, dan kawasan India–Pakistan.

“Indonesia tidak boleh merasa aman hanya karena berada jauh dari pusat perang. Peta panas dunia hari ini bersifat global — efek ekonominya, politiknya, bahkan militernya bisa terasa lintas benua,” kata Anton dalam sebuah forum geopolitik di Jakarta.

Ia mencontohkan bagaimana Laut China Selatan, yang sebagian masuk dalam wilayah perairan Indonesia, terus menjadi ajang unjuk kekuatan antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Indonesia memang bukan pihak yang bersengketa langsung, namun wilayah Natuna sering menjadi area latihan militer dan patroli kapal asing. “Kalau kita tidak punya postur pertahanan maritim yang kuat, jangan heran kalau suatu saat perairan kita hanya menjadi arena orang lain,” ujarnya.

Pandangan itu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Modernisasi kapal perang dan sistem radar Indonesia berjalan lamban, sementara armada kapal patroli dan pesawat intai belum cukup untuk mengamankan lebih dari 17 ribu pulau dan 81 ribu kilometer garis pantai.

Pertahanan: Antara Ambisi dan Realitas

Anton Permana mengakui bahwa langkah pemerintah dalam memperkuat pertahanan patut diapresiasi — terutama pada masa kepemimpinan Prabowo Subianto yang kini melanjutkan mandat sebagai Presiden. Namun ia menekankan, kekuatan pertahanan bukan diukur dari banyaknya senjata yang dibeli, melainkan dari bagaimana sistem itu dibangun.

“Kalau kita ingin perdamaian, maka kita harus kuat. Tapi kekuatan itu tidak cukup lewat niat atau belanja senjata semata. Ia butuh struktur dan arah yang jelas,” kata Anton.

Ia menyoroti bahwa Indonesia sering terjebak dalam mentalitas proyek, bukan strategi. “Begitu ada ancaman, lalu buru-buru membeli alutsista dari luar negeri. Padahal seharusnya kita membangun sistem pertahanan yang berkelanjutan, berbasis industri dalam negeri, dan terintegrasi dengan diplomasi serta intelijen,” tambahnya.

Kritik itu bukan tanpa alasan. Dalam lima tahun terakhir, proyek pengadaan alutsista Indonesia kerap disorot karena ketidakjelasan transparansi dan potensi pemborosan. Beberapa kontrak besar dengan perusahaan asing ditandatangani tanpa kajian publik memadai.

“Masalah terbesar sektor pertahanan bukan sekadar kurang dana, tapi kurang arah,” tulis Anton dalam sebuah artikel analisisnya. Ia menegaskan bahwa pertahanan yang kokoh lahir dari tata kelola yang jernih — dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan.

Tata Kelola yang Kabur, Koordinasi yang Lemah

Dalam banyak wawancara, Anton Permana menyoroti kebingungan kelembagaan antara Kementerian Pertahanan, TNI, dan Polri. 

“Pertahanan dan keamanan adalah dua hal berbeda tapi saling terkait. Kalau batasnya kabur, kita bisa kehilangan arah. Tentara sibuk di dalam negeri, sementara ancaman eksternal dibiarkan,” kata Anton.

Ia juga mengkritik gagasan agar Kementerian Pertahanan menjadi orkestrator semua lembaga intelijen. Menurutnya, langkah itu bisa menimbulkan resistensi dan malah memperumit koordinasi. “Intelijen tidak boleh dikonsentrasikan di satu kementerian. Harus ada mekanisme lintas sektor, karena ancaman tidak selalu militer, bisa ekonomi, energi, siber, atau ideologi.”

Anton menilai, sudah saatnya Indonesia memiliki Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang berdiri independen, menjadi simpul koordinasi antar-lembaga keamanan, intelijen, dan pertahanan. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang punya National Security Council, atau Rusia yang memiliki Security Council sebagai ruang pengambilan keputusan strategis lintas sektor.

Geopolitik yang Bergeser, Diplomasi yang Terlambat

Dalam konteks global, Anton Permana juga menyoroti ketidaksigapan diplomasi Indonesia merespons perubahan geopolitik. Ia menilai, sikap politik luar negeri Indonesia yang selama ini “bebas aktif” cenderung kehilangan arah di tengah polarisasi kekuatan dunia.

“Bebas aktif itu bukan berarti pasif. Tapi artinya bebas menentukan sikap, aktif memperjuangkan kepentingan nasional,” katanya.

Sebagai contoh, Anton mengingatkan bahwa Indonesia harus berani bersikap terhadap dinamika kawasan, seperti ketegangan di Laut China Selatan atau konflik di Timur Tengah. “Kita tidak bisa hanya mengirim pernyataan damai di PBB lalu diam. Diplomasi harus disertai posisi strategis nasional. Siapa kawan, siapa mitra, siapa kompetitor — itu harus jelas.”

Ia juga menyoroti perlunya integrasi antara diplomasi dan pertahanan, agar setiap langkah politik luar negeri sejalan dengan kemampuan militer dan strategi nasional. “Tanpa koordinasi, diplomasi kita bisa menjual janji yang pertahanan kita belum sanggupi,” ujarnya sinis.

Ancaman Non-Militer: Dari Siber Hingga Energi

Anton Permana tak hanya bicara tentang rudal dan kapal perang. Ia juga menekankan bahwa ancaman masa depan bersifat multidimensional. Ia mengingatkan, “Perang modern tak selalu pakai peluru. Bisa lewat data, energi, dan opini publik.”

Dalam pandangannya, perang siber, serangan ekonomi, dan infiltrasi ideologi menjadi ancaman nyata bagi stabilitas nasional. Indonesia, katanya, belum siap sepenuhnya menghadapi serangan non-fisik semacam itu.

“Banyak sistem strategis kita masih rentan diretas. Infrastruktur digital belum punya standar keamanan nasional yang solid,” ungkapnya.

Ia juga mengingatkan bahwa ketergantungan energi dan pangan terhadap impor merupakan bentuk “ketidakmandirian strategis”. Jika terjadi perang global atau embargo, Indonesia bisa lumpuh tanpa perlu satu peluru pun ditembakkan.

“Pertahanan sejati bukan hanya tank dan jet tempur, tapi kemampuan bertahan hidup sebagai bangsa — punya energi sendiri, pangan sendiri, dan sistem informasi yang berdaulat,” ujarnya dalam salah satu kuliah umumnya di Bandung.

Masa Depan Pertahanan: Antara Politik dan Kemandirian

Anton Permana menyadari, isu pertahanan sering terjebak dalam tarik-menarik politik jangka pendek. Setiap pergantian pemerintahan membawa arah dan prioritas baru. Padahal, pertahanan adalah proyek lintas generasi.

“Sayangnya, setiap kali ganti menteri, ganti juga strategi pertahanan. Padahal musuhnya tetap sama: ketidakmandirian,” katanya getir.

Ia mengusulkan agar Indonesia memiliki grand design pertahanan nasional yang bersifat jangka panjang dan mengikat lintas rezim. “Seperti halnya rencana pembangunan jangka panjang nasional, pertahanan juga harus punya peta jalan 50 tahun ke depan,” ujarnya.

Anton juga mendorong pengembangan industri pertahanan dalam negeri agar Indonesia tidak terus-menerus bergantung pada impor. “Negara yang tidak bisa membuat senjatanya sendiri, tidak bisa menentukan masa depannya sendiri,” katanya.

Menjaga Perdamaian Lewat Kekuatan dan Kearifan

Meski dikenal vokal dan keras, Anton Permana tetap menekankan pentingnya pendekatan damai dalam politik luar negeri Indonesia. Namun, damai bukan berarti lemah.

“Diplomasi tanpa kekuatan hanya akan menjadi doa di tengah perang,” ujarnya dalam satu diskusi publik.

Baginya, kekuatan dan kearifan harus berjalan beriringan. Indonesia harus membangun kekuatan militer dan ekonomi, namun tetap menampilkan wajah diplomasi yang humanis dan berkeadilan. “Kita tidak perlu menjadi agresor. Tapi jangan sampai kita jadi korban karena terlalu percaya pada niat baik orang lain,” katanya.

Ilustrasi: Infografis pandangan Dr Anton Permana tentang pertahan keamanan Indonesia

Kesimpulan: Dari Ancaman ke Kesadaran

Pandangan Anton Permana menyodorkan refleksi tajam bagi bangsa ini. Bahwa pertahanan tidak bisa dibangun di atas proyek dan pidato, melainkan di atas kesadaran nasional yang utuh — bahwa setiap kebijakan ekonomi, energi, pendidikan, dan teknologi sesungguhnya adalah bagian dari pertahanan.

Ia kerap menutup analisanya dengan kalimat sederhana:

“Negara yang ingin damai, harus siap perang. Tapi yang lebih penting, negara yang ingin selamat, harus tahu siapa dirinya dan siapa lawannya.”

Indonesia kini berdiri di persimpangan. Di satu sisi, ada peluang besar untuk menjadi kekuatan regional yang disegani. Di sisi lain, ada jebakan kepentingan global yang bisa menjerumuskan.

Di tengah semua itu, suara-suara kritis seperti Anton Permana menjadi pengingat: bahwa kedaulatan tidak pernah datang gratis — ia harus dijaga, dipikirkan, dan diperjuangkan setiap hari.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K