Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan
Ilustrasi: Pertamina Hulu Rokan

SIAK RIAU – Pagi itu, Sabtu 25 Oktober 2025, matahari baru sepenggalah naik di langit Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Riau. Lapangan kerja BPIT SJE, yang biasanya riuh oleh deru dump truck dan lengkingan excavator, mendadak berubah jadi sunyi. Di tengah debu dan bau solar, seorang anak muda bernama Julifer Situmeang (23) terkapar tak sadarkan diri. Di keningnya, darah menetes deras — bukti bisu dari benturan fatal bucket excavator yang baru saja berayun.

Ia bukan sekadar angka statistik di laporan HSE (Health, Safety, Environment). Ia adalah nyawa yang melayang di tengah sistem kerja yang seharusnya menjamin keselamatan.

Julifer bekerja sebagai spotter di proyek milik PT PGAS Solution (PGASOL), anak perusahaan PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Di usia 23 tahun, ia mungkin tak pernah membayangkan bahwa tugas rutinnya — memberi aba-aba agar alat berat bekerja aman — justru akan menjadi akhir hidupnya.

Ilustrasi kecelakaan kerja di wilayah Kerja PHR

Awal tragedi: Ombeng yang tak terkunci

Berdasarkan laporan investigasi awal yang diterima redaksi dari sumber lapangan, insiden bermula ketika ombeng dump truck DT223 gagal menutup sempurna. Julifer, yang bertugas sebagai spotter, memutuskan meminta bantuan operator excavator M. Syafrizal (52). Di lokasi juga hadir driver dump truck Jekson Bondar Pasaribu (37).

“Proses itu sebenarnya sederhana. Excavator membantu menekan ombeng dump truck agar menutup,” jelas seorang pekerja yang tak mau disebut namanya. Namun kesalahan fatal terjadi: posisi Julifer terlalu dekat dengan bucket excavator. Dalam hitungan detik, ayunan alat berat itu menghantam kepalanya. Ia roboh seketika.

Evakuasi dilakukan cepat. Tim HSE, operator, dan driver segera membawa korban menggunakan bus MB602 menuju Klinik 28, fasilitas medis terdekat di area kerja. Tapi nyawa Julifer tak tertolong. Ia meninggal dunia sebelum sempat mendapat perawatan lebih lanjut.

Pekerja PT Pertamina Hulu Rokan mengecek saluran pipa minyak yang menuju tangki pengumpul produksi minyak (Tank Farm) di Blok Rokan, Dumai, Riau.

Respons cepat — dan diam yang panjang

Pasca insiden, perusahaan menerapkan Stop Work Authority (SWA): semua aktivitas dihentikan sementara. Garis kuning keselamatan dipasang, investigasi awal dilakukan oleh PMCOW dan tim HSE PGASOL. Namun, yang menarik — dan menimbulkan tanda tanya besar — bukan pada kecepatan evakuasi, melainkan keheningan yang menyelimuti peristiwa ini setelahnya.

Tidak ada rilis resmi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Riau.

Tidak ada pernyataan terbuka dari pihak perusahaan, selain kutipan standar belasungkawa dari Corporate Secretary Pertamina Hulu Rokan (PHR), Eviyanti Rofraida.

“Kami sangat menyesalkan atas insiden fatality ini. Manajemen dan segenap keluarga besar PHR menyampaikan duka cita mendalam,” tulisnya dalam pernyataan tertulis pada 6 November 2025.

“Meski lokasi kejadian berada di luar area operasi langsung PHR, kami tetap memantau penanganan oleh PGASOL, termasuk pemenuhan hak-hak korban.”

Namun sumber internal perusahaan yang ditemui redaksi mengaku bingung dengan pernyataan tersebut.

“Kalau dibilang di luar area kerja PHR, itu janggal. Karena proyek BPIT SJE jelas berada di wilayah kerja WK Rokan. PGASOL kan kontraktor PHR juga,” ujarnya.

Kebingungan ini memperkuat dugaan bahwa ada upaya untuk mengaburkan tanggung jawab operasional dalam rantai kontraktor proyek migas di Riau.

Sistem subkontrak: Rantai yang mematikan

Dalam sistem kerja di sektor migas, terutama di proyek-proyek besar seperti Blok Rokan, rantai subkontrak adalah hal yang lumrah. PHR sebagai operator utama menunjuk kontraktor utama (seperti PGASOL), yang kemudian bisa melibatkan subkontraktor lagi.

Masalahnya, semakin panjang rantai kerja, semakin kabur garis tanggung jawab keselamatan.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)

“Ketika terjadi kecelakaan, selalu ada permainan istilah: ‘di luar area operasi langsung’, ‘mitra kerja’, ‘bukan karyawan inti’. Padahal, yang bekerja di lapangan tetap manusia yang bernaung di bawah sistem yang sama,” ujar Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), saat dimintai tanggapan.

Menurut Yusri, pola semacam ini sering menjadi celah bagi perusahaan besar untuk menghindari tanggung jawab hukum dan moral atas kecelakaan kerja di proyek mereka.

“Kalau benar proyek itu bagian dari kontrak kerja PGASOL dengan PHR, maka PHR tetap punya kewajiban moral dan teknis dalam pengawasan. Tidak bisa hanya bilang ‘di luar area kami’. Itu bentuk lepas tangan,” tegasnya.

Diamnya Disnaker: Perlindungan atau Pembiaran?

Salah satu yang paling disorot dalam tragedi ini adalah sikap Disnakertrans Provinsi Riau. Ketika dikonfirmasi wartawan terkait kecelakaan fatal ini, Kabid Pengawasan Ketenagakerjaan, Bayu Surya, memilih bungkam.

“Tidak ada jawaban, padahal laporan kecelakaan sudah jelas ada,” kata salah satu sumber di internal Disnaker kepada redaksi.

Sikap diam ini memunculkan dugaan adanya tekanan politik atau ekonomi untuk menutup rapat informasi publik terkait kecelakaan di sektor migas. Riau, sebagaimana diketahui, merupakan jantung industri migas Indonesia yang selama ini menjadi sumber pendapatan besar bagi banyak pihak.

“Ketika pekerja meninggal, yang disalahkan bisa saja human error. Tapi bagaimana dengan pengawasan, pelatihan, izin kerja, dan pengendalian alat berat?” ujar sumber tersebut.

“Kalau ini tidak diungkap tuntas, nyawa pekerja lain bisa jadi korban berikutnya.”

Fasilitas migas di WK Blok Rokan. foto/ilustrasi/kompas.com

Prosedur HSE Yang Tak Dijalankan Sepenuhnya

Menurut hasil investigasi awal, kecelakaan terjadi karena pelanggaran pada jarak aman operasi alat berat. Dalam Standard Operating Procedure (SOP) migas, seorang spotter tidak boleh berdiri di radius berbahaya dari pergerakan bucket. Namun, di lapangan, hal ini sering diabaikan demi efisiensi waktu.

“Kalimatnya sederhana: ‘Bantu tutup cepat, biar kerja lanjut’. Tapi di balik kalimat itu, nyawa taruhannya,” kata seorang teknisi senior PGASOL yang turut bekerja di lapangan hari itu.

Ia menambahkan, pelatihan HSE memang rutin dilakukan, tetapi kultur disiplin keselamatan belum benar-benar tertanam. Banyak pekerja kontrak yang tidak berani menolak perintah, meski tahu berisiko.

“Kalau kita terlalu banyak protes, nanti dianggap lambat atau tidak kooperatif. Tekanan kerja tinggi. Semua ingin target harian tercapai.”

Suara dari Keluarga: “Anak Kami Pulang Tak Bernyawa”

Di rumah sederhana keluarga Situmeang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, suasana duka masih menyelimuti. Ayah korban, Jonatan Situmeang, hanya bisa menatap foto anaknya yang kini tergantung di ruang tamu.

“Kami tahu Julifer kerja keras. Tapi kami tidak tahu kalau tempat kerjanya tidak aman,” katanya lirih.

“Kami tidak mau uang santunan, kami hanya ingin keadilan. Anak kami mati saat bekerja untuk negara ini.”

Keluarga juga mengaku belum mendapatkan penjelasan lengkap dari pihak perusahaan soal kronologi sebenarnya. Hanya ada surat singkat dan santunan yang dikirim melalui perantara.

Pekerja berjalan mengontrol steam generator (penghasil uap panas untuk kegiatan injeksi ke lapangan duri) di Central Steam Station Pertamina Hulu Rokan Duri, Riau,15 Oktober 2021. [PERTAMINA/ENERGIA/Adityo Pramono]

Bayang-Bayang Korporasi: Siapa Bertanggung Jawab?

Dalam kasus seperti ini, pertanyaan utama adalah: siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum dan moral?

Apakah PGASOL, sebagai kontraktor langsung di lokasi kerja? Apakah PHR, sebagai operator wilayah kerja Rokan? Atau keduanya?

Menurut pakar hukum ketenagakerjaan Dr. Iwan Rahmanto, S.H., M.H., tanggung jawab tidak bisa sekadar dilempar antar entitas.

“Selama pekerja berada dalam sistem kerja proyek yang berizin dan berkontrak dengan PHR, maka tanggung jawab keselamatan adalah tanggung jawab kolektif,” jelasnya.

“Apalagi kalau diketahui PHR ikut memantau pekerjaan di area tersebut. Jadi alasan ‘di luar area kerja’ tidak otomatis menghapus tanggung jawab hukum.”

Luka Lama Yang Berulang

Kecelakaan kerja di sektor migas bukan hal baru. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang 2024–2025 tercatat lebih dari 300 kasus kecelakaan berat di industri energi dan tambang, dengan 47 di antaranya berujung fatal.

Riau menjadi salah satu provinsi dengan tingkat fatality tertinggi — ironi bagi wilayah yang menjadi penyumbang besar pendapatan negara.

Di balik kemegahan kilang dan proyek-proyek miliaran dolar, ada banyak pekerja lapangan yang bekerja di bawah tekanan dan risiko tinggi.

“Kadang, keselamatan dianggap penghambat target. Padahal kalau ada satu nyawa melayang, reputasi dan kepercayaan juga ikut terkubur,” ujar Yusri Usman menegaskan.

Pekerja Pertamina Hulu Rokan berjalan berkeliling di area Gathering Station #1 sekaligus pengecekan pipa-pipa di area Pertamina Hulu Rokan (PHR), Riau,14 Oktober 2021. (Foto: Adityo Pratomo)

Rekomendasi dan Refleksi

Dari hasil investigasi lapangan dan wawancara dengan berbagai pihak, redaksi menyimpulkan beberapa poin penting:

1.SOP HSE perlu ditegakkan dengan sanksi tegas, terutama dalam pengawasan jarak aman antara spotter dan alat berat.

2.PHR dan PGASOL harus transparan dalam hasil investigasi, termasuk membuka laporan resmi kepada publik.

3.Disnakertrans Provinsi Riau harus aktif, bukan diam, dalam memantau dan mengumumkan kecelakaan kerja di sektor migas.

4. Kultur keselamatan kerja harus dibangun dari pimpinan hingga pekerja lapangan, bukan sekadar formalitas training tahunan.

5.Audit independen terhadap praktik kerja di proyek-proyek migas di Riau perlu segera dilakukan oleh pihak luar.

Kelalaian Kolektif

Tragedi yang menimpa Julifer Situmeang bukan sekadar kisah duka keluarga pekerja. Ia adalah cermin kelalaian kolektif yang sudah terlalu sering terjadi di industri vital negeri ini.

Ketika nyawa manusia hanya menjadi catatan di laporan HSE dan aparat pengawasan memilih diam, maka keselamatan bukan lagi prioritas — ia hanya formalitas.

Julifer, anak muda 23 tahun itu, kini tak akan kembali ke lapangan kerja yang dulu ia banggakan. Tapi mungkin, dari kepergiannya, Indonesia perlu bercermin lebih dalam: apakah kita benar-benar menghargai pekerja yang membangun sektor energi negeri ini, atau hanya menganggap mereka bagian dari mesin produksi yang bisa diganti kapan saja?

Redaksi ZonaSatuNews.com menyampaikan duka cita mendalam untuk keluarga korban dan menyerukan transparansi penuh atas hasil investigasi kecelakaan kerja di proyek BPIT SJE, Kandis, Riau.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K