Oleh: Agus Wahid
Penulis: analis politik
Mengapa kita harus memperingati Hari Pahlawan per 10 November? Jelas urgensinya: mengenang semangat juang para pahlawan yang gugur dalam menghadapi kekuatan kolonial pada 10 Novermber 1945 itu. Sebuah perjuangan yang tak ternilai. Perjuangannya merupakan mata rantai sekaligus mempertahankan sebuah entias negara merdeka yang kala itu baru dipekikkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Sebuah pertanyaan besar, sekedar mengenang dan rasa hormat? Hanya seremonial dan menghaburkan anggaran negara? Tentu tidak. Lalu, apa urgensi kita mengenangnya untuk saat ini? Inilah yang perlu kita refleksi lebih jauh.
Tentu, selaku anak bangsa wajib mengenang perjuangan para pahlawan yang telah gugur itu. Tanpa perjuangan mereka, sangat boleh jadi, entitas Indonesia sebagai negara mereka masih tertatih-tatih. Mengacu nasib bangsa Palestina, sejak Zionis Israel berdiri pada 14 Mei 1948, hingga kini, nasib bsangsa dan negara Palestina masih dalam genggaman kaum Zionis, meski sudah 153 negara mengakui berdirinya sebagai sebuah negara merdeka.
Mengacu nasib bangsa Paestina, tidaklah tertutup kemungkinan, nasib bangsa kita juga tak jauh beda. Bahkan – sangat boleh jadi – karena kian ditemukan kekayaan negeri ini, maka daya cengkeraman kolonial jauh lebih menguat. Tapi, alhamdulillah, ilusi itu tak terjadi. Peristiwa 10 November 1945 menjadi salah satu indikator politik perlwanan anak bangsa Indonesia dalam mengenyahkan kaum penjajah. Karena itu, peringatan terhadap Hari Pahlawan merupakan reflksi penghormatan terhadap para syuhada. Layak kita berdoa kepada mereka yang telah gugur. Sebuah harapan, Allah merima seluruh kejuangannya sebagai amal soleh.
Lalu, apa urgensi kita merayakan Hari Pahlawan itu? Urgensinya jelas. Pertama dan utama, para pahlawan yang gugur telah memberikan dedikasi terpuncaknya untuk sebuah misi mempertahankan kedaulatan negeri ini. Mereka menunjukkan spirit kejuangannya dengan penuh ikhlas. Rela berkorban, meski – di hadapannya – jelas-jelas siap terenggut nyawannya.
Pertanyaannya, apakah anak bangsa saat ini – setelah mengarungi sekitar 80 tahun merdeka – masih menunjukkan dedikasinya untuk negara dengan penuh ikhlas? Sungguh naif, jika menyatakann tiada sama sekali. Namun demikian, juga naif jika kita menutup mata dari realitas anak bangsa Indonesia telah terhinggap krisis mental yang sangat sangat akut. Di antara mereka memang terlibat dalam derap membangun negara. Tapi, arahnya penuh pamrih. Bukan sekedar bekerja yang berkonsekuensi dapatkan sejumlah gaji, tapi mengeruk kekayaan negara untuk kepetingan pribadi dan atau kelompoknya.
Di antara mereka, demikian tega menggadaikan teritorialnya yang kaya-raya kandungannya. Korupsi, gratifikasi, atau penyalahgunaan kekuasaan menjadi warna dominan dalam penyelenggaraan negara. Itulah praktik- kekuasaan yang sejatinya merupakan tindakan paradoks dengan para pejuang kita terdahulu. Yang memprihatinkan, paradoksalitasnya sampai pada tahab pengkhianatan terhadap pejuang masa lampau.
Kita perlu merenung, jika zaman revolusi – setidaknya sejak era 1940-an hingga 1950-an – para pahlawan menghadapi kekuatan kolonial asing, di samping para anteknya yang jumlahnya terbatas dan dapat dilihat dengan telanjang. Kini, jumlah anteknya relatif tak terbatas. Mereka menyeruak di berbagai lini: di intitusi formal level puncak (lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif dan atau penegak hukum pada umumnya). Juga, mereka “eksis” di lembaga pemerintahan level menengan (provinsi) dan bawah (kabupaten/kota, sampai ke level kcamatan dan kelurahan/desa).
Itulah krisis mental eksploitatif yang telah menjangkiti sebagian besar aparatur negara. Implikasinya jelas: negara merdeka tapi seperti tetap dalam cengkeraman. Kepentingan kesejahteraan dan ekonomi yag dicita-citakan konstitusi tetap dalam cekikan para elitis yang memegang kendali kebijakan, dalam kaitan rumusan kebijakan yang anti rakyat, anti penegakan hukum pro rakyat dan lainnya. Perilaku kekuasaan ini sudah membalut puluhan tahun, apalagi dalam kurun waktu sepuluh tahun terkakhir. Sebuah masa pemerintahan yang nyaris ada dalam komplotan bersama aseng.
Sekali lagi, hari ini kita merayakan Hari Pahlawan. Dalam menghormati dan rasa syukur itu, Hari Pahlwan ini juga menyematkan penghormatan kapada para tokoh pembangunan yang telah dipanggil oleh-Nya. Perlu kita hargai kebijakan itu, walau ada yang tak sependapat. Tentu karena perbedaan cara pandang. Maklum.
Namun demikian, ada satu sisi yang sangat krusial saat ini, saat kita berhidmat atas nama Hari Pahlawan. Yaitu, bagaimana menghargai para pejuang kebenaran dan keadilan saat ini, yang benar-benar menghadapi kekuatan raksasa?
Kita tahu, siapapun yang berjuang untuk dan misi kebenaran berhadapan dengan arus besar. Gunung korupsi yang demikian besar dan siap dibersihkan, tapi justru menghadapi kekuatan raksasa yang impossible untuk dilawan. Barisan kekuatannya pun berlapis. Ada barikade perumus kebijakan yang nongkrong di ruang oval parlemen. Ada juga, di ruang ber-AC di sejunlah kantor kementerian teknis dan non-teknis. Juga, gurita korupsi dan penyalahguna di kantor-kantor pemerintahan level menengah dan bawah.
Sekali lagi, pejuang pro kebenaran, keadilan dan nilai-nilai ideal yang semuanya menyatu dalam mentalitas seseorang kini dalam krisis yang sangat serius. Para pejuang perbaikan mental ini tidak berhadapan dengan moncong senjata secara langsung seperti semasa revolusi, tapi kekuatan barikade sistemik dan penuh perlindungan politik dan hukum.
Kini, kita sedang menyaksikan sang pejuang yang siap membongkar total kejahatan sistemik, yang sudah sekian lama menghancurkan sistem bernegara. Pembangunan pun di berbagai sektor pun terseok-sekok akibat guritas korupsi atau aji mumung para pemegang kekuasaan (carpedium). Rakyat dalam kondisi merana meski sudah melewati beberapa kali pemilu dan pergantian pemimpin.
Sebuah perenungan, apakah pemimpin saat ini akan tetap mempertahankan irama “kolonialisme” dan mobokrasi yang tetap menggencet rakyat dan siap “menyerahkan” kedaulatan negeri ini kepada makhluk asing dan atau aseng dan asong?
Jika tidak, bangkitlah wahai Mr. President… Kini, hadir sosok pembela rakyat yang sudah bertindak tegas dan melawan arus. Sosok yang – kalau menengok masa revolusi lalu – tak ubahnya sang pejuang. Yang harus kita catat, sang pembela pro rakyat seperti Purbaya perlu diback up kekuasaan. Agar, terhindar dari amukan macan-macan buas bahkan senjata misterius yang biasa dilakukan kaum Machiavalies. Inilah refleksi komitmen politik dan hukum pro sang pahlawan.
So, we have to state, tunjukkan integritasmu sebagai Kepala Pemerintahan dan atau Kepala negara. You have a power. Anda you are a big tiger in Asia or more. Moso mau dirantai oleh seekor “kodok”? Ala maak. Apa kata dunia. Malu atuh… Hehehe. Segede apapun binatang kodok sangat mudah dicabik-cabik oleh sang macan. Tinggal kemauan politiknya. Is it true? Karenanya, kuatkan kemauan politiknya. Rakyat pun bersama sang pahlawan perubahan baru itu. Don’t be scare! Rakyat perlu melihat keberanian riil, bukan drama atas nama strategi. Untuk mencegah dan menghadang spekulasi rakyat yang heterogen level pendidikannya, saatnya Presiden membagun aliran politik realisme, bukan alirtan abstrak yang multi tafsir.
Jakarta, 10 November 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Hari Pahlawan Diperingati Para Pecundang Negara

Menteri Amran di ITS

Panitia Dan Kepala Desa Tirak Menolak Rekomendasi Camat Kwadungan, Aliansi Minta Seleksi Diulang

Wakil Ketua Komisi IX Yahya Zaini: Rumah Sakit Tak Boleh Tolak Pasien Darurat, Administrasi Nomor Dua

Viral, Lagi-Lagi Kepala Sekolah MAN 3 Kandangan, Komite dan Humas Diduga Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Polres Kediri

FTA meminta penghentian seluruh proses kriminalisasi dan intimidasi terhadap 8 aktivis dan peneliti

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila

Jokowi Dan Polisi Potret Gagalnya Reformasi

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi



No Responses