Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara
Ilustrasi: PT Pertamina Energy Terminal (PET)

Membuka Tabir Relasi Kuasa Mohamad Riza Chalid dan Jejaring Mafia Migas Indonesia

JAKARTA — Nama Mohamad Riza Chalid, atau yang dijuluki “The Gasoline Godfather”, kembali mencuat. Hingga kini ia masih diburu aparat karena keterlibatannya sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina.

Namun, yang jauh lebih menarik dari sekadar status hukumnya adalah: seberapa besar cengkeraman Riza dalam sistem energi nasional? Siapa saja yang berada dalam jaringannya?

Podcast Madilog Forum Keadilan menyingkap sebagian jawabannya. Dalam edisi khusus ini, jurnalis senior Darmawan Sepriyossa berbincang dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra, mantan intelijen negara yang pernah bertugas di sektor energi. Percakapan mereka membuka lembaran gelap tentang bagaimana bisnis minyak berubah menjadi arena kekuasaan.

Bayangan dalam Kebijakan Energi

“Ketika harga minyak dunia turun, justru harga BBM di dalam negeri naik. Ketika masyarakat membeli Pertamax, yang didapat malah BBM oplosan,” ujar Sri Radjasa membuka diskusi.

“Apakah ada mafia migas? Kita tidak bisa asal menuduh, tapi fakta di lapangan mengarah ke sana.”

Menurutnya, di balik setiap fluktuasi harga dan kebijakan energi, ada kekuatan tak kasatmata yang bekerja: jejaring politik, bisnis, dan hukum yang ia sebut sebagai shadow government — negara di balik negara.

Relasi Kuasa dan Para Mentor

Dalam penjelasannya, Sri Radjasa menyebut Riza Chalid tidak muncul begitu saja. Ia dibentuk oleh para mentor yang memiliki posisi kuat di lingkaran kekuasaan migas.

“Purnomo Yusgiantoro itu mentornya Riza. Saat menjabat Sekjen OPEC, dia mengenalkan Riza ke trader-trader minyak dunia. Dari situlah karier Riza melejit,” ujarnya.

Hubungan serupa, kata Sri, juga terjadi antara Riza dan Hatta Rajasa.

“Sudah lama Hatta punya kedekatan dengan Riza. Bahkan saat menjabat menteri, ia kerap difasilitasi pesawat jet pribadi milik Riza,” ungkapnya.

Kedua figur ini, menurut Sri, memainkan peran penting dalam membentuk Riza sebagai pengendali bayangan industri migas.

“Dia bukan sekadar pengusaha minyak, tapi arsitek jaringan — the godfather of gasoline,” tegasnya.

Tekanan terhadap Direksi Pertamina

Isu keterlibatan jaringan itu kembali mengemuka dalam persidangan Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina, pada 27 Oktober 2025. Dalam kesaksiannya di bawah sumpah, Karen mengaku ditekan dua tokoh publik agar memberikan perhatian khusus kepada perusahaan milik anak Riza Chalid yang terlibat dalam proyek kilang minyak Merak.

Sri Radjasa menjelaskan, “Karen bilang dia bertemu Hatta Rajasa dan Purnomo Yusgiantoro di resepsi pernikahan di Hotel Dharmawangsa. Di situlah mereka menyampaikan agar Karen memperhatikan usaha milik anak Riza.”

Menurutnya, pertemuan itu bukan kebetulan.

“Dalam dunia intelijen, tekanan sering dilakukan lewat forum sosial seperti itu. Pesan politik justru disampaikan di tempat yang tidak resmi,” jelasnya.

Yang janggal, lanjut Sri, adalah fakta bahwa proyek kilang Merak tidak pernah masuk rencana kerja resmi Pertamina pada masa Karen menjabat.

“Karen bahkan menegaskan, keputusan sewa itu muncul setelah ia mundur. Maka pertanyaannya: siapa yang memutuskan?”

“Negara di Balik Negara”

Bagi Sri Radjasa, fenomena ini menunjukkan bahwa mafia migas bekerja di luar sistem formal namun menentukan isi sistem itu sendiri.

“Seperti kata Machiavelli: ada negara di balik negara. Di sinilah keputusan penting dibuat, bukan lewat regulasi, tapi lewat memo pribadi dan tekanan politik,” ujarnya.

Ia menambahkan, jaringan ini bukan hanya warisan masa lalu, tapi masih aktif hingga kini.

“Pola mereka tidak berubah — hanya aktornya yang berganti. Dari generasi ke generasi, mafia migas selalu punya wakil di setiap rezim.”

Dorongan kepada Kejaksaan Agung

Sri mendesak Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti fakta persidangan yang menyeret dua nama besar tersebut.

“Dalam hukum, pemberi, penerima, dan fasilitator suap adalah satu kesatuan. Jadi Kejaksaan wajib memanggil Hatta Rajasa dan Purnomo Yusgiantoro untuk dimintai keterangan,” tegasnya.

Ia juga menyinggung Anton, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, yang disebut pernah menangani kasus besar di Pertamina.

“Saya harap Anton menuntaskan babak ini. Jangan sampai kasus sebesar ini berhenti di tengah jalan,” ucapnya.

Politik Migas dan Prabowo

Menjelang akhir percakapan, Sri Radjasa menyinggung dimensi politik yang lebih luas.

“Riza Chalid tidak senang dengan pemerintahan Prabowo. Ia ingin Prabowo jatuh karena baru kali ini ada presiden yang berani menyentuh jaringan mafia migas lewat hukum,” katanya.

Menurutnya, sepuluh tahun terakhir merupakan masa kejayaan jaringan Riza.

“Dulu mereka menang di mana-mana. Sekarang kekuasaan itu mulai goyah.”

Sri bahkan menyebut ada dugaan aliran dana dari Riza ke aktivitas tertentu yang mengarah pada instabilitas nasional.

“Saya tidak bisa buka lembaganya, tapi laporan intelijen internasional menunjukkan adanya indikasi dukungan logistik terhadap kerusuhan Agustus lalu,” ujarnya hati-hati.

Bagi Sri Radjasa, skandal migas ini bukan hanya persoalan kerugian finansial.

“Kerugian negara akibat permainan migas mencapai Rp285,7 triliun, tapi yang lebih berbahaya adalah ketika bangsa ini dipecah oleh segelintir orang yang bermain di balik bayangan negara,” tutupnya.

 

BERSAMBUNG

 

EDTOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K