Dalang Lama di Panggung Baru

Dalang Lama di Panggung Baru
Presiden Prabowo dan Mantan Presiden Jokowi bertemu di Solo

Penulis : Sri Radjasa, M.BA
Pemerhati Intelijen

Di republik ini, kekuasaan jarang benar-benar pergi. Ia hanya berganti wajah, mengganti jas, dan berpindah kursi. Setelah dua periode berkuasa, Jokowi seolah telah turun dari takhta, tetapi bayangannya masih tinggal di setiap ruang kekuasaan. Ia mungkin tidak lagi duduk di kursi presiden, tapi denyut politiknya masih terasa di jantung pemerintahan baru.

Putranya kini menjadi wakil presiden. Loyalisnya menempati kursi menteri. Relawan dan ormasnya menjelma menjadi kekuatan sosial dengan disiplin politik yang nyaris militeristik. “Genk Solo,” begitu mereka dijuluki, seolah mewakili satu dinasti yang tak rela kekuasaan berhenti bersama masa jabatan.

Fenomena ini membuat kita bertanya, apakah Indonesia sedang mengalami transisi kekuasaan, atau sekadar perpanjangan tangan dari rezim lama dengan kostum baru? Apakah Prabowo benar-benar memimpin, ataukah ia hanya memainkan naskah yang sudah disiapkan sebelumnya?

Operasi Garis Dalam dan Politik Bayangan

Dalam dunia intelijen, ada istilah inside operation, yakni operasi yang bekerja dari dalam untuk memengaruhi arah sistem tanpa perlu kudeta.

Tanda-tandanya ada di mana-mana. Kabinet yang diisi wajah-wajah loyalis lama. Lembaga hukum dan keamanan yang masih dikendalikan oleh orang-orang dengan sejarah panjang kedekatan pada kekuasaan sebelumnya.

Dan yang paling halus, jaringan media dan buzzer yang terus mengatur arah opini publik, membentuk narasi, membolak-balikkan persepsi rakyat dengan algoritma.Disinilah titik paling berbahaya bagi sebuah negara demokrasi. Ketika kekuasaan formal dikendalikan oleh kekuatan informal, maka demokrasi berubah menjadi sandiwara. Pemilu tetap digelar, rakyat tetap memilih, tetapi arah negara ditentukan oleh tangan-tangan tak terlihat.

Carl von Clausewitz pernah menyebut center of gravity, yaitu pusat gravitasi kekuatan lawan yang mesti dihantam bila ingin melumpuhkannya.

Dalam konteks Indonesia hari ini, pusat gravitasi itu adalah legitimasi. Dan yang sedang dimainkan oleh “garis dalam” adalah pelemahan legitimasi Prabowo dari dalam sistemnya sendiri.

Serangkaian kebijakan yang tampak tak sinkron, seperti polemik proyek kereta cepat Whoosh, atau pembentukan tim reformasi Polri yang berisi tokoh-tokoh lama, bukan hanya soal teknis. Ia adalah bom waktu kepercayaan publik. Setiap kebingungan pemerintah adalah energi politik bagi lawan yang bermain dari dalam.

Kekuasaan yang Tak Mau Mati

Fenomena ini bukan baru. Sejarah menunjukkan, banyak pemimpin yang gagal melepaskan diri dari magnet kekuasaan yang pernah mereka nikmati.

Ferdinand Marcos di Filipina, Soeharto di Indonesia, atau Putin di Rusia, semuanya membangun struktur kekuasaan yang membuat mereka tetap berkuasa, bahkan setelah jabatan formal selesai.

Kini bayangan itu hidup dalam wajah “Jokowi rebond 2029.” Ambisi politik yang tak pernah padam, disertai mesin sosial yang tetap aktif di lapangan: jaringan relawan, ormas, media, dan buzzer yang terorganisir secara hierarkis.

Mereka bekerja dengan pola cell system, dimana setiap simpul memiliki lima di bawahnya, membangun jaringan opini seperti semut yang bekerja tanpa henti. Tujuannya bukan sekadar mempertahankan nama, tapi mempersiapkan jalan bagi kebangkitan dinasti.

Operasi ini bekerja halus, dengan menciptakan kesan bahwa pemerintahan baru tidak efektif, menebar narasi bahwa presiden tak berdaya, dan menyuburkan stigma “presiden omon-omon.”
Dan ketika kekecewaan rakyat mencapai titik jenuh, percikan itu bisa berubah menjadi ledakan sosial.

Demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025 hanyalah uji coba kecil dari gelombang yang lebih besar: bentrokan antara frustrasi rakyat dan aparat negara yang kelelahan menghadapi politik yang tak kunjung jujur.

Negara dalam Cermin Retak

Indonesia kini seperti rumah besar dengan dua penguasa. Yang satu memegang kunci resmi, yang lain masih menguasai peta jalan di kepalanya. Dan di antara keduanya, rakyat berdiri bingung, siapa yang sebenarnya sedang memimpin negeri ini?

Guillermo O’Donnell menyebutnya delegative democracy, yaitu demokrasi yang tampak hidup di atas kertas, tapi sesungguhnya dikendalikan oleh sekelompok kecil elite yang saling menjaga kepentingan.

Ketika institusi negara dikerdilkan menjadi alat, dan pejabat publik diangkat bukan karena kapasitas tapi karena loyalitas, maka yang lahir bukan pemerintahan, melainkan perpanjangan tangan oligarki.

Jika dibiarkan, ini bukan sekadar soal politik. Ia akan menjadi soal moral, tentang kesetiaan pejabat pada negara, bukan pada patron. Tentang keberanian presiden untuk memutus mata rantai kekuasaan lama, bukan menegosiasikannya.

Jika Prabowo gagal menegakkan jarak itu, maka ia akan berakhir seperti banyak pemimpin lain yang menjadi sandera sejarahnya sendiri sebagai pemimpin yang berkuasa tapi tak pernah benar-benar memerintah.

Antara Bayang dan Negarawan

Bangsa ini tidak butuh presiden yang menambah panjang daftar kompromi. Ia butuh pemimpin yang berani melawan arus, bahkan jika arus itu datang dari tangan yang dulu mengangkatnya.
Negarawan diukur bukan dari lamanya berkuasa, tapi dari keberaniannya mengatakan “tidak” kepada kekuasaan yang salah arah.

Prabowo punya peluang menjadi sosok itu, jika ia mampu melihat bahwa bayangan yang mengikuti langkahnya bukan teman, tapi ujian sejarah. Ia harus memilih, menjadi dalang baru yang memainkan boneka lama, atau memutus tali kendali itu dan menulis babak baru republik ini.

Sejarah bangsa tidak akan mencatat siapa yang paling banyak berkompromi. Sejarah hanya mengingat siapa yang berani melawan ketika kekuasaan kehilangan moralnya.

Kekuasaan yang terlalu lama berdiam di satu poros akan menimbulkan bau busuk yang pelan-pelan mengaburkan batas antara kebenaran dan kepentingan.

Dan ketika republik mulai sulit membedakan keduanya, yang tersisa hanyalah ritual demokrasi tanpa jiwa. Kita sedang menuju ke sana, kecuali ada yang berani memutus garis dalam itu, bukan dengan dendam, tapi dengan ketegasan seorang negarawan.

Karena pada akhirnya, ancaman terbesar bagi republik ini bukanlah musuh dari luar, melainkan bayang-bayang kekuasaan yang tak mau mati di dalam.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K