Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent
Foto: Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H, Koordinator Tim Hukum Roy, Rismon, Tifa (RRT). Dia juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI).

JAKARTA – Tim Hukum Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma (RRT) dalam rilisnya menyatakan bahwa tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya terkait penetapan status tersangka terhadap RRT adalah sangat tidak layak!

Koordinator Tim Hukm RRT Dr. M. Taufiq, SH, MH menegaskan, penetatapan tersnagka itu tidak layak karena peristiwa yang mendasarinya hanyalah karena klien-nya mempertanyakan dan menguji keaslian Ijazah UGM atas nama Joko Widodo.

“Klien kami hanya mempermasahkan keabsahan Ijazah S1- atas nama Joko Widodo yang diunggah oleh seorang kader PSI bernama Dian Sandi di aplikasi ”X” pada tanggal 1 April 2025. Dokumen itulah yang klien kami katakan sebagai palsu setelah melakukan uji ilmiah atasnya. Dari segi hukum, sama sekali tidak ada unsur penghinaanan, pencemaran nama baik maupun fitnah atas perbuatan tersebut,” kata Muhammad Taufiq.

Taufiq menerangkan, klien-nya tidak pernah bermaksud menghina seorang yang bernama Joko Widodo, “Klien kami hanya mengatakan bahwa dokumen yang diungguh tersebut yang berbentuk Ijazah S1 atas nama Joko Widodo adalah PALSU.”

Menurut Taufiq, belum pernah ada forum ajudikasi yang secara resmi menjawab pertanyaan klien-nya atau menetapkan bahwa Ijazah yang dipermasalahkan klien-nya adalah ASLI.

“Kami tidak pernah bermaksud menghina Jokowi. Yang klien kami katakan adalah bahwa ijazah yang dimuat Dian Sandi adalah palsu. Jika Jokowi berpendapat bahwa beliau mempunyai ijazah yang asli maka buktikanlah kalau klien kami salah, bukan dengan mempidanakan klien kami. Ini jelas merupan bentuk intimidasi hukum terhadap kebebasan berpendapat,” tegasnya.

1. Cacat Hukum: Indikasi Kuat Penggunaan Kekuasaan di Atas Hukum

Tim hukum melihat penetapan tersangka ini sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang kasat mata. Dia memberikan uraiannya.

Pertama, Penyelundupan Pasal UU ITE: Penyidik secara mengada-ada menambahkan pasal-pasal berat dari UU ITE (Pasal 35, 27A, dan 28 ayat 2) pada delik murni Pencemaran (310 KUHP) dan Fitnah (311 KUHP). Hal ini secara jelas hanya bertujuan agar bisa memenuhi syarat dilakukannya penahanan. Tindakan ini memberikan kesan kuat bahwa penegak hukum bertindak BUKAN dalam rangka penegakan hukum murni, melainkan sebagai pembela kepentingan seorang yang secara defakto adalah penguasa.

Kedua, Delik Aduan yang Cacat: Tindak Pidana Penghinaan dan Fitnah (Pasal 310 dan 311 KUHP) adalah Delik Aduan. Padahal pengadu (yaitu JOKOWI) tidak pernah mengadukan klien kami dengan menyebut nama, sehingga menjadikan klien kami tersangka adalah olah kreasi Penyidik untuk memuluskan penetapan tersangka dalam rangka membela kepentingan pengadu.

Ketiga, Melanggar Prinsip Contrarius Actus: Tindakan Penyidik yang menuduh klien kami melakukan editing atau manipulasi pada dokumen ijazah adalah persangkaan palsu yang merupakan tindakan pidana dan dapat dijerat Pasal 438 KUHP 2023.

Keempat, Penetapan Tersangka melanggar Asas Ultimum Remedium: asas hukum yang mengajarkan bahwa hukum pidana seharusnya hanya digunakan sebagai upaya terakhir setelah semua upaya hukum lain (seperti hukum perdata atau administrasi) telah dicoba namun tidak berhasil. Saat ini sedang diajukan gugatan Citizen Lawsuit di PN Surakarta, seharusnya menunggu hasil persidangan ini lebih dahulu sebelum menempuh Solusi pidana.

2. Perihal Praperadilan

Pada kesempatan ini Tim Hukum belum mengambil langkah untuk mengajukan Praperadilan .

3. Perlawanan Politik Menuntut Transparansi

Tim Hukum menyadari bahwa perkara ini adalah perkara politik. Oleh karena itu, pihaknya juga akan melakukan langkah politik untuk menuntut akuntabilitas pejabat publik:

Pertama, Gugatan terhadap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen).

Karena secara melawan hukum telah menyetaraan pendidikan Gibran Rakabuming Raka. Surat penyetaraan tersebut, berbentuk surat keterangan (bukan surat keputusan), telah menyatakan bahwa pendidikan Gibran di luar negeri setara dengan SMA di Indonesia.

“Kami akan menggugat PMH terhadap Kementerian Pendidikan terkait,” ungkapnya.

Kedua, Mendesak DPR Melakukan Pemakzulan. Bersama klien-nya akan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memeriksa dugaan pelanggaran berat oleh Wakil Presiden RI untuk proses pemakzulan.

“Kami tegaskan, klien kami adalah warga negara yang menggunakan haknya untuk berpendapat dan melakukan kontrol publik. Kami menolak kriminalisasi kritik. Kami akan melawan sewenang-wenang ini di setiap level hukum dan politik,” pungkasnya

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K