Oleh: M. Isa Ansori
Bangsa ini sedang diuji: bukan oleh perang atau bencana, melainkan oleh kemampuan menjaga kejernihan berpikir di tengah kabut politik yang kian pekat. Dua isu besar — polemik keaslian ijazah Presiden Joko Widodo dan proyek kereta cepat Indonesia–China (Whoosh) — memperlihatkan betapa sering akal sehat publik dikalahkan oleh loyalitas politik.
Di tengah dua pusaran ini, sikap Prabowo Subianto tampak paradoksal: antara semangat nasionalisme yang sering ia kumandangkan dengan tindakan-tindakan yang justru melawan logika publik. Hari ini 13 November 2025, mereka para aktivis yang mempertanyakan keaslian ijazah Jokowi, justru menghadapi kriminalisasi di Polda Metro Jaya, diantaranya Rismon Sianipar, Roy Suryo, dr Tifauzia dan lain lain, yang ini melengkapi kriminalisasi sebelumnya yang dialami oleh Bambang Tri dan Gus Nur.
Krisis Transparansi dan Akal Sehat Publik
Polemik mengenai keaslian dokumen akademik Presiden semestinya dijawab dengan sederhana: keterbukaan. Transparansi bukan sekadar urusan pribadi, tetapi menyangkut moral kepemimpinan. Ketiadaan itulah yang menimbulkan ruang keraguan, sementara aparat negara justru bergerak menekan pihak-pihak yang mempertanyakan. Di titik ini, publik melihat betapa negara lebih sibuk membungkam suara kritis daripada membuktikan kebenaran yang sebenarnya bisa dijelaskan dengan mudah.
Sejumlah akademisi dan peneliti publik mencoba mengurai persoalan ini dari berbagai sudut, termasuk dari aspek tipografi dan teknologi dokumen. Misalnya, penelitian tipografi oleh Toto Saksono, alumnus UGM yang melanjutkan studi di Amerika Serikat dan London, menunjukkan bahwa jenis huruf yang tercantum dalam salinan ijazah tahun 1980-an belum umum digunakan pada masa itu. Menurut kajiannya, perkembangan teknologi word processing dan kemunculan font Times New Roman dalam sistem komputer baru meluas pada awal 1990-an.
Temuan semacam ini tentu tidak otomatis menjadi bukti hukum, namun memberi alasan yang kuat bagi publik untuk menuntut keterbukaan. Sayangnya, alih-alih menjelaskan dengan gamblang, pemerintah justru menampilkan manuver hukum dan narasi pembelaan.
Yang lebih mengherankan, Prabowo — yang selama ini dikenal lantang dalam isu moral publik — justru tidak mendorong transparansi, melainkan memberi kesan akan “mengambil alih” dan melindungi Presiden dari persoalan hukum. Padahal, seorang pemimpin sejati seharusnya berpihak pada kebenaran, bukan pada kenyamanan politik.
Whoosh dan Logika yang Terseret
Paradoks serupa muncul dalam proyek kereta cepat Whoosh. Sejak awal, proyek ini diselimuti banyak pertanyaan: pembengkakan biaya, perubahan skema bisnis, dan utang luar negeri yang kini dibebankan kepada negara. Proyek yang semula disebut sebagai kerja sama bisnis BUMN dan China kini berubah menjadi beban fiskal nasional.
Namun, bukannya mengoreksi kebijakan yang jelas-jelas menyimpang dari prinsip efisiensi dan akuntabilitas, Prabowo justru tampil heroik dengan menyatakan akan “menanggung penuh” beban proyek tersebut. Sikap ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah semangat kebangsaan berarti mengambil alih semua persoalan, bahkan yang bermasalah sejak awal?
Dalam logika publik, keberanian semestinya diiringi rasionalitas. Mengambil alih tanggung jawab atas sesuatu yang tidak dirancang dengan transparan justru berpotensi memperpanjang lingkaran masalah.
Paradoks Seorang Prajurit
Prabowo selama ini dikenal sebagai prajurit yang teguh, berdisiplin, dan nasionalis. Namun dalam dua kasus besar ini, ia tampak lebih memilih jalan kompromi. Loyalitas terhadap kekuasaan seolah mengalahkan tanggung jawab moral kepada bangsa.
Seorang prajurit sejati tidak menutupi kebenaran, sekeras apa pun risikonya. Sebab, keberanian tidak diukur dari seberapa besar kekuasaan yang dimiliki, melainkan dari kesediaan menghadapi kebenaran tanpa takut kehilangan posisi.
Akal Sehat yang Dikorbankan
Rakyat Indonesia hari ini semakin cerdas dan kritis. Mereka tahu membedakan mana keberanian sejati dan mana pencitraan politik. Mereka tahu kapan seorang pemimpin berbicara untuk rakyat, dan kapan berbicara demi menjaga jaringan kekuasaan.
Dalam dua kasus ini, Prabowo justru terlihat melawan akal sehat publik. Ia mengorbankan rasionalitas demi stabilitas, dan kebenaran demi kenyamanan.
Moralitas di Atas Kekuasaan
Bangsa ini tidak sedang mencari pemimpin yang gagah di panggung politik, melainkan pemimpin yang berani jujur di hadapan rakyatnya. Seperti kata Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral akan membawa bangsa kepada kehancuran.”
Jika Prabowo sungguh ingin menjadi negarawan, ia harus berdiri di sisi kebenaran — mendorong transparansi, menegakkan akal sehat, dan tidak melindungi kesalahan apa pun atas nama stabilitas. Sebab, sejarah tidak akan mengingat siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling berani berpihak pada kebenaran
Keberanian dan Kejujuran sebagai Pilar Negara
Bangsa ini dibangun oleh mereka yang berani menegakkan kebenaran, bukan oleh mereka yang menutupi kesalahan. Bung Karno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Tetapi kita perlu menambahkan: bangsa yang besar juga adalah bangsa yang berani menatap kebenarannya sendiri — seberapa pahit pun kenyataannya.
Kepada Prabowo, publik berharap bukan hanya keberanian fisik seorang prajurit, tetapi juga keberanian moral seorang negarawan. Keberanian untuk berkata benar walau sendirian, kejujuran untuk menegakkan akal sehat di tengah gemuruh kekuasaan.
Dan seperti pesan Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa moral akan membawa bangsa pada kehancuran.” Kini saatnya keberanian dan kejujuran berdiri kembali di podium tertinggi republik ini. Sebab bangsa yang kehilangan akal sehat dan kejujuran, pada akhirnya akan kehilangan arah sejarahnya sendiri.
Surabaya, 13 November 2025
Tentang Penulis :
M. Isa Ansori adalah Kolumnis dan Dosen Psikologi Komunikasi, Fokus pada Transaksional analysis, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jawa Timur, Aktif menulis tentang persoalan kebiajakan publik, sosial, politik, ekonomi, dan layanan perlindungan anak diberbagai media cetak dan online
EDITOR: REYNA
Related Posts

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Surat Rahasia Bank Dunia: “Indonesia Dilarang Membangun Kilang Minyak Sendiri”

Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Mengaku Ditekan 2 Tokoh (PY) dan (HR) Untuk Memperhatikan Perusahaan Riza Chalid

Pangan, Energi dan Air

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

NKRI Sesungguhnya Telah Bubar

Dalang Lama di Panggung Baru

AS berencana mematahkan dominasi Tiongkok atas mineral-mineral penting melalui Afrika

Kekhawatiran atas mineral penting mengancam rantai pasokan global



No Responses