Jangan biarkan penguasa bebas menjual kedaulatan negara

Jangan biarkan penguasa bebas menjual kedaulatan negara
SUTOYO ABADI

Oleh: Sutoyo Abadi

Culture warfare,  itu konflik budaya antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam suatu masyarakat yang saling bersaing untuk memperebutkan dominasi nilai dan praktik mereka.

Anehnya Culture warfare justru masuk menjadi konflik antara rakyat dan penguasa, ini berpusat pada isu-isu kontroversial, yang resikonya jangka panjang akan mencekik rakyat seperti kasus Mhoosh tentang siapa yang benar dan salah. 

Seperti langgam apalan penguasaan selalu berdalih pembangunan untuk rakyat, pemerataan pembangunan, jangan berhitung untung rugi, menyelinap didalamnya ada mahluk berniat busuk korporasi kongkalikong antara penguasa dan pengusaha  ekonomi hitam bermain tanpa memperdulikan dampaknya beban fiskal jangka panjang akan membebani rakyat.

Lho tiba – tiba muncul logika sungsang Prabowo menegaskan bahwa saya  (Presiden) bertanggung jawab dan sanggup membayar utang proyek Whoosh karena proyek mhoosh adalah untuk rakyat maka jangan pernah berhitung untung rugi.

Jabang bayi – ini bukan hanya soal bayar hutang tepai didalamnya ada koruptor kelas kakap tidak peduli, dikemudian hari rakyat yang harus membayar. Semisal membayar dengan tenor 60 tahun (bayar hutang) bisa memakan waktu 6 masa sebuah rezim (kalau setiap rezim bisa berkuasa dua kali lima tahunan ) = 60 tahun.

Kalau Presiden Prabowo mengabaikan unsur korupsinya tidak ada penyitaan aset yang kasat mata sebagai koruptor kelas kakap sebagai unsur jera, hanya sesumbar siap membayar utang semua tidak masalah, berpotensi bisa menjadi penghianat negara.

Pertanyaan: “Presiden Prabowo akan berkuasa berapa lama”. Seterusnya akan menjadi beban siapa. Setelah semua yang terlibat sudah masuk liang kubur.

Kasus lain misalnya tentang hak atas tanah di IKN, HGU sampai 190 tahun, penguasaan atas tanah hingga dua abad, sebelum dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi (MK),  yang diputuskan mantan Presiden Jokowi.

Pertanyaan: “Apa tanggung jawab seorang Jokowi yang sudah lengser dari kekuasaan, setelah merekayasa menjual kedaulatan negara?.

Untuk melawan culture warfare rakyat harus bisa fokus pada penguatan  menyaring setiap kasus dan mengelola akibat  dengan membatasi waktu terhadap konten polarisasi dan fokus pada dampak yang bisa di ukur dan di kontrol dengan waktu.

Keadaan  terus terulang negara dikendalikan seorang penguasa
berpotensi meminggirkan kendali negara sesuai  amanat konstitusi. Negara tidak boleh dikendalikan seorang presiden yang berpotensi menggadaikan kedaulatan negara dengan dalih demi memikat investasi.

Kasus diatasnya hanya sekedar contoh, bahwa setelah berlakunya UUD NRI 2002, seorang Presiden bersikap ugal-ugalan, bukan hanya merugikan generasi hari ini, generasi mendatang akan dijadikan tumbal dari kepentingan penguasa enjoy life (yang penting sekarang bisa hidup mewah, kaya dengan segala kemegahannya).

Investasi bukan alasan untuk melemahkan asas keselamatan antar generasi dan  beban penguasa berikutnya dari kebijakan super dungu rezim saat ini yang hanya tinggal beberapa hari harus masuk liang lahat.

Pembangunan bukan proyek satu rezim atau satu generasi, melainkan proyek lintas generasi. Pembangunan yang mengabaikan konstitusi mungkin akan terlihat gagah dan megah sesaat, tetapi akan rapuh ketika digugat oleh kenyataan dan sejarah.

Pertanyaannya sederhana : apakah negara akan berjalan mengikuti kompas konstitusi dengan tetap menjaga kehidupan generasi berikutnya atau akan membiarkan pembangunan keluar dari rel konstitusi masing masing penguasa bebas menjual kedaulatan negara dan tidak peduli (masa bodoh) dengan generasi berikutnya.

Presiden Prabowo harus hati-hati salah kelola negara bisa terjerembab menerima gelar sebagai penghianat negara?

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K