Yahya Zaini Wakil Ketua Komisi IX DPR: “Kematian Irene Sokoy Adalah Tragedi Negara, Bukan Sekadar Kelalaian Rumah Sakit”

Yahya Zaini Wakil Ketua Komisi IX DPR: “Kematian Irene Sokoy Adalah Tragedi Negara, Bukan Sekadar Kelalaian Rumah Sakit”
Yahya Zaini Wakil Ketua Komisi IX DPR RI

JAKARTA – Kasus meninggalnya Irene Sokoy, seorang perempuan hamil dari Kampung Hobong, Distrik Sentani, Jayapura, bukan hanya tragedi keluarga—melainkan potret telanjang kerusakan sistem layanan kesehatan di Papua. Irene dan bayi dalam kandungannya mengembuskan napas terakhir setelah ditolak empat rumah sakit di Kabupaten dan Kota Jayapura. Empat. Bukan satu, bukan dua.

Peristiwa ini mengguncang publik. Dan di Jakarta, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini langsung angkat suara. Nada suaranya tegas: ini bukan kasus yang bisa dianggap biasa. Ini soal nyawa, dan negara tidak boleh diam.

Ini Menyangkut Nyawa Manusia

Ketika ditemui wartawan, Yahya Zaini tak berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas kematian ibu dan bayi tersebut.

“Saya menyatakan ikut prihatin atas peristiwa tersebut. Karena menyangkut nyawa manusia, sehingga ibu dan bayinya meninggal dunia,” ujarnya.

Menurut Yahya, ada satu prinsip dasar yang seharusnya tidak boleh pernah dilanggar oleh fasilitas kesehatan mana pun: rumah sakit tidak boleh menolak pasien. Terlebih lagi ketika Indonesia memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dirancang untuk memudahkan masyarakat mendapatkan layanan medis, termasuk masyarakat tak mampu melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Namun realitas di Jayapura memperlihatkan jurang besar antara kebijakan dan praktik.

Empat Rumah Sakit, Empat Penolakan

Pagi itu, Senin 17 November sekitar pukul 05.00 WIT, Irene dalam kondisi kritis. Keluarga membawa Irene keliling Jayapura, berharap satu saja rumah sakit bersedia menolong.

Jawaban yang diterima justru penolakan demi penolakan. Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey, menggambarkan situasi yang memilukan:

“Kematian seorang ibu hamil Irene Sokoy dan bayinya adalah tragedi yang memilukan. Empat rumah sakit diduga menolak korban.”

Ketika keluarga bolak-balik menuju RSUD Dok II Jayapura, Irene sudah tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia meninggal dalam perjalanan.

Mendesak Investigasi Penuh

Bagi Yahya Zaini, insiden ini jauh melewati batas toleransi. Ia meminta Kementerian Kesehatan membentuk tim investigasi khusus dan turun langsung ke Papua.

“Saya sudah menghubungi Dirjen Kesehatan Lanjutan Kemenkes untuk membentuk tim investigasi dan segera turun ke Papua.”

Ia juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh ragu menjatuhkan sanksi kepada rumah sakit atau tenaga kesehatan yang terbukti lalai.

Sorotan Tajam ke Pemerintah Daerah

Selain rumah sakit, Yahya Zaini mengarahkan sorot lampu investigasi ke pemerintah daerah, terutama Dinas Kesehatan. Ia menyebut pengawasan yang lemah menjadi bagian dari akar masalah.

“Mestinya Dinas Kesehatan Daerah aktif mengontrol dan membina rumah sakit-rumah sakit di daerahnya, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.”

Kalimat itu menegaskan bahwa tragedi Irene tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari kelengahan sistemik yang dibiarkan menahun.

Gubernur Papua: “Ini Kebodohan Pemerintah”

Gubernur Papua, Matius D. Fakhiri, menyampaikan permohonan maaf terbuka. Ungkapannya keras, emosional, dan menggambarkan tingkat frustrasi yang tinggi.

“Tuhan sudah memberikan satu contoh kebobrokan pelayanan kesehatan di Papua… Ini kebodohan yang luar biasa yang dilakukan oleh pemerintah.”

Pernyataan itu mempertegas bahwa insiden ini bukan sekadar persoalan rumah sakit, tetapi menyentuh inti dari tata kelola kesehatan di Papua.

Sebuah Cermin Retak Sistem Kesehatan Indonesia

Kematian Irene Sokoy dan bayinya adalah noda yang tak bisa dibersihkan dengan permintaan maaf saja. Kasus ini telah membuka pintu bagi penyelidikan lebih dalam tentang:

Yahya Zaini menyadari hal itu, dan tekanan DPR terhadap Kemenkes menjadi alarm bagi semua pihak: tragedi seperti ini tidak boleh terulang.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K