Oleh : Diana Bakti Siregar, S,Si
Di ruang kelas kita, setiap hari datang anak-anak dengan wajah ceria, berseragam sama, duduk di bangku yang sama, namun membawa kisah batin yang berbeda.
Ada yang berisik dan mencari perhatian, bukan karena nakal, tetapi karena takut tidak dianggap ada.
Ada yang menantang dan mudah marah, bukan ingin menang, melainkan belajar bertahan dari rasa tidak aman.
Ada yang diam dan memisahkan diri, bukan karena tidak peduli, tetapi karena terlalu banyak yang tidak sanggup ia katakan.
Itulah luka pengasuhan — silent wound. Tidak terlihat, tetapi memengaruhi cara anak melihat dunia, memahami diri, dan berhubungan dengan orang lain.
Dari perspektif mental health, setiap perilaku anak selalu mengandung pesan psikologis. Di balik setiap ledakan emosi, penarikan diri, atau sikap menutup diri, ada kebutuhan mendasar yang belum terpenuhi:
ingin merasa aman, diterima, disayangi, dan dipercaya .
Dan sering kali, ruang kelas menjadi tempat pertama luka itu muncul ke permukaan. Maka, pertanyaan penting untuk para pendidik adalah: bagaimana sikap terbaik guru menghadapi anak dengan luka pengasuhan — tanpa mengambil alih peran orang tua, tanpa menciptakan ketergantungan, dan tetap menjaga martabat profesi dan amanah pendidikan?
1. Hadir sebagai Co-Regulator, bukan penyelama
Dalam ilmu psikologi, anak belajar mengatur emosinya melalui co-regulation: mereka meniru kestabilan emosi orang dewasa di sekitarnya. Karena itu, ketika anak sedang meledak atau kehilangan arah, yang paling mereka butuhkan bukan ceramah panjang,bukan kalimat, “Sudah, jangan nangis. Kamu kan kuat.”
Yang paling menyembuhkan adalah kehadiran yang tenang: “Aku ada di sini. Kamu aman.” Ketenangan guru adalah jangkar.
Sikap guru yang stabil memberi pesan pada sistem saraf anak bahwa dunia belum berakhir dan mereka mampu melewatinya.
Guru tidak perlu menyelesaikan semuanya, cukup menjadi ruang aman sementara .
2. Mendengar tanpa memaksa membuka luka
Anak yang terluka tidak butuh diinterogasi. Mereka hanya perlu tempat untuk bernafas. Kadang cukup dengan mengatakan: “Kalau kamu ingin cerita suatu hari nanti, aku siap mendengar.” Dan biarkan ia memilih waktu untuk percaya. Karena dalam proses pemulihan, perasaan aman jauh lebih penting daripada kecepatan .
3. Menjaga batas sehat: Tidak menciptakan trauma bonding
Sering tanpa sadar, guru ingin menjadi pelindung, tempat paling nyaman, bahkan menjadi pusat emosi murid. Indah di mata, tetapi berbahaya bagi kesehatan jiwa.
Hubungan yang terlalu melekat (trauma bonding) membuat anak menjadikan guru sebagai pelarian, bukan tempat belajar tumbuh.
Guru bukan rumah baru untuk kabur dari rumah.Guru adalah jembatan pulang.Cinta seorang guru adalah cinta yang mengembalikan anak kepada keluarganya, bukan cinta yang menggantikan orang tua.
4. Kolaborasi, bukan mengambil alih
Ketika perilaku anak menunjukkan distress berat: self-harm, kemarahan ekstrem, penolakan total terhadap sekolah, hilangnya fungsi sosial, guru bukan terapis. Guru tidak berkewajiban mengobati trauma, dan tidak etis mengambil peran profesional kesehatan mental.
Sikap terbaik adalah komunikatif dan bersinergi: “Saya ingin kita bantu bersama. Bolehkah kita libatkan orang tua dan konselor?”
Itulah akhlak ilmiah, itulah adab profesi. Karena pendidikan sejati adalah kerja sama tiga pihak: sekolah, keluarga, dan profesional kesehatan jiwa (jika diperlukan)
Tidak ada yang saling meniadakan, semua saling menguatkan.
Pada akhirnya, tugas guru bukan menyembuhkan semua luka anak dan bukan menyelamatkan semua jiwa.
Tugas guru hanyalah: menjadi cahaya yang menuntun anak menemukan jalannya sendiri. Bukan menjadi pusat hidup mereka atau menjadi sosok yang menggantikan cinta keluarga, tetapi menjadi pelita kecil yang menerangi langkah.
Karena guru terbaik bukan yang membuat anak berkata: “Hanya Bu Guru yang mengerti aku.” Tetapi yang membuat anak mampu berkata: “Aku belajar memahami diriku. Aku kembali kepada keluargaku lebih kuat dari sebelumnya. ”
Begitulah seni mendidik jiwa: menuntun tanpa mengambil, mencintai tanpa memiliki, hadir tanpa menguasai .
Guru adalah pelita perjalanan—bukan matahari.
Penulis :
–Praktisi Pendidikan dan Talents mapping
-Founder I noEnt School (homeschooling binaan School of Universe)
EDITOR: REYNA
Related Posts

Yahya Zaini Wakil Ketua Komisi IX DPR: “Kematian Irene Sokoy Adalah Tragedi Negara, Bukan Sekadar Kelalaian Rumah Sakit”

Menyelami “Mens Rea” Polisi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (7): Diplomat Dunia Islam dan Pembela Bosnia Dari Genoside Serbia

Jangan biarkan penguasa bebas menjual kedaulatan negara

Indonesia Bisa Jadi Singapura Kedua

Gerakan menghukum Jokowi dan para penjahat negeri semakin masif

Anton Permana: Membaca Ulang Geopolitik Indonesia di Tengah Pergeseran Kekuatan Dunia

Faizal Assegaf: Saya usulkan mediasi agar gugurkan status tersangka Roy cs

Lapoan PBB: Jakarta, ibu kota terpadat di dunia dengan 42 juta penduduk

Delegasi konferensi perubahan iklim PBB mencapai kesepakatan di menit-menit terakhir, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan.



No Responses