Setelah Ira Puspadewi Direhabilitasi, Layakkah Karen Agustiawan Mendapat Perlakuan Yang Sama?

Setelah Ira Puspadewi Direhabilitasi, Layakkah Karen Agustiawan Mendapat Perlakuan Yang Sama?
Foto: Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014 Karen Agustiawan

Oleh: Budi Puryanto, Pemimpin Redaksi

Rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo kepada mantan Direktur Utama ASDP, Ira Puspadewi, membuka kembali diskusi nasional tentang keadilan hukum bagi para pemimpin BUMN yang tidak terbukti menerima keuntungan pribadi, namun tetap dijatuhi hukuman pidana karena kebijakan korporasi yang dianggap menimbulkan kerugian negara.

Setelah kasus Ira direstorasi dan dinyatakan tidak bersalah karena tidak menikmati keuntungan pribadi apa pun, kini banyak pihak mempertanyakan: apakah standar yang sama layak diterapkan pada kasus mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan?

Kasus Karen, khususnya terkait kontrak jangka panjang LNG dengan perusahaan Amerika Serikat Corpus Christi Liquefaction (CCL), terus menjadi perdebatan serius. Terlebih, muncul data dan analisis independen yang menunjukkan bahwa kontrak tersebut justru menguntungkan Pertamina, bukan merugikan negara sebagaimana dakwaan di pengadilan.

Artikel ini menyajikan temuan dan argumentasi yang murni mendukung pertimbangan rehabilitasi untuk Karen, berdasarkan data publik, analisis para pakar, dan preseden hukum.

Kontrak LNG CCL Justru Menghasilkan Laba Besar, Bukan Kerugian

Sumber paling konsisten menyatakan keuntungan datang dari Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI). Menurut analisis Yusri Usman, kontrak jangka panjang LNG antara Pertamina dan CCL terbukti memberikan keuntungan signifikan.

Dalam laporan publiknya, Yusri mencatat: Pertamina memperoleh laba kotor USD 89,64 juta (sekitar Rp 1,39 triliun) hingga Agustus 2023.

Keuntungan tersebut berasal dari penjualan kembali kargo LNG ke pasar internasional pada momen ketika harga sedang tinggi.

Dengan kata lain, keputusan strategis mengamankan pasokan LNG jangka panjang bukan hanya tepat secara komersial, tetapi juga menghasilkan nilai tambah nyata bagi Pertamina dan negara.

Argumen ini langsung memukul inti dakwaan yang menuduh Karen menyebabkan kerugian negara. Jika kontrak menghasilkan profit, maka menjustifikasi putusan pidana terhadap pengambil keputusan menjadi problematis.

Fakta Penting: Kontrak yang Dibuat Karen Sudah Diganti Total pada Tahun 2015

Salah satu aspek paling penting, tetapi jarang muncul dalam pemberitaan populer, adalah fakta bahwa kontrak LNG era Karen bukanlah kontrak yang dijalankan Pertamina saat ini.

Yusri menegaskan bahwa pada 20 Maret 2015, Pertamina menandatangani: Amended and Restated LNG Sale and Purchase Agreement (SPA 2015) yang sepenuhnya menggantikan dokumen SPA 2013/2014 yang ditandatangani era Karen.

Implikasinya sangat signifikan: SPA 2015 adalah kontrak baru, dengan struktur harga, volume, dan persyaratan berbeda.

Seluruh keputusan operasional, komersial, maupun risiko jangka panjang berada di bawah Direksi Pertamina setelah Karen.

Melimpahkan dampak kontrak jangka panjang semata kepada Karen tidak tepat, karena kontrak yang berlaku justru adalah hasil perubahan Direksi berikutnya.

Dengan fakta ini, argumen bahwa Karen harus memikul seluruh konsekuensi kontrak jangka panjang menjadi semakin lemah. Rehabilitasi pun menjadi masuk akal dari sisi keadilan manajerial.

Tidak Ada Bukti Aliran Dana atau Keuntungan Pribadi kepada Karen

Dalam seluruh proses hukum, baik penyidikan maupun persidangan, tidak ditemukan bukti bahwa Karen menerima uang, gratifikasi, atau keuntungan pribadi terkait kontrak LNG CCL. Kasus ini berdiri semata pada: perbedaan interpretasi kebijakan bisnis, dugaan penyimpangan prosedural, serta perdebatan tentang perhitungan kerugian negara.

Padahal dalam standar tata kelola global dan business judgment rule, direksi BUMN atau korporasi tidak boleh dihukum secara pidana hanya karena kebijakan bisnis tidak sesuai ekspektasi auditor atau penegak hukum, selama tidak ada niat jahat dan tidak ada keuntungan pribadi.

Situasi Karen menyerupai kasus Ira Puspadewi — tidak terbukti memperkaya diri, tetapi tetap dibebani kesalahan atas dinamika bisnis perusahaan.

Metode Penghitungan Kerugian Negara Dinilai Tidak Mewakili Kondisi Nyata

Yusri Usman mengkritik metode penghitungan kerugian negara yang dijadikan dasar dakwaan. Menurutnya, perhitungan hanya mengambil cuplikan kerugian pada periode harga rendah (seperti 2020–2021 ketika pandemi COVID-19 meruntuhkan harga LNG).

Tidak memasukkan data tahun-tahun dengan keuntungan besar, seperti 2019, 2022, dan 2023.

Dengan demikian, angka kerugian negara yang diklaim menjadi tidak proporsional terhadap performa kontrak jangka panjang secara keseluruhan.

Dalam industri energi global, kontrak LNG jangka panjang harus dievaluasi melalui full-cycle economics, bukan hanya satu-dua tahun cuplikan. Bila dihitung secara siklus penuh, kontrak tersebut menunjukkan profit, bukan kerugian.

Pertanyaan Kunci : “Jika Pertamina Untung, Mengapa Direksi Yang Menginisiasi Dipenjara?”

Pertanyaan fundamental layak diajukan disini, yang menjadi inti argumentasi rehabilitasi:

“Jika faktanya Pertamina justru untung dari kontrak LNG CCL, mengapa direksi yang menginisiasi kontrak dipenjara?”

Pertanyaan ini mengarah pada dua kemungkinan: Ada kekeliruan dalam memahami risiko bisnis sebagai perbuatan kriminal. Atau, penilaian terhadap keputusan bisnis direduksi menjadi hitam-putih tanpa mempertimbangkan konteks industri energi global.

Dalam konteks ini, upaya rehabilitasi menjadi langkah korektif agar pemimpin BUMN tidak takut mengambil keputusan strategis untuk negara.

Preseden Ira Puspadewi: Negara Ternyata Mengakui Kesalahan Penilaian

Kasus Ira Puspadewi penting untuk dibandingkan.

Ia dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan, tetapi kemudian mendapat rehabilitasi dari Presiden setelah dinilai tidak melakukan tindakan koruptif yang memperkaya diri.

Kesalahannya bersifat perbedaan kebijakan manajerial (bukan korupsi personal), serupa dengan kasus Karen.

Jika negara mengakui bahwa keputusan korporasi tidak selayaknya dipidana sebagai korupsi — kecuali ada bukti motif pribadi — maka standar yang sama selayaknya diterapkan kepada Karen Agustiawan.

Dasar Rehabilitasi Karen Sangat Kuat

Berdasarkan seluruh fakta yang mendukung, argumentasi rehabilitasi bagi Karen Agustiawan berdiri pada tiga pilar utama:

1. Kontrak LNG CCL terbukti menguntungkan Pertamina.

Angka profit mencapai puluhan juta dolar.

2. Kontrak era Karen telah digantikan dengan SPA 2015.

Tanggung jawab operasional bergeser ke Direksi setelahnya.

3. Tidak ada aliran dana atau keuntungan pribadi.

Kasus ini adalah perdebatan kebijakan bisnis, bukan korupsi.

Dengan preseden rehabilitasi Ira Puspadewi, mantan Dirut ASDP, maka secara moral, administratif, dan logika keadilan, Karen Agustiawan, mantan Dirut Pertamina, layak dipertimbangkan untuk memperoleh rehabilitasi serupa.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K