Mardhani Jilal: Pemakzulan Yang Mendesak

Mardhani Jilal: Pemakzulan Yang Mendesak
Ilustrasi menggunakan dokumentasi Laporan Utama Majalah Tempo, 12 November 2023

Oleh: Mardhani Jilal 

 

Anak Joko Widodo yang dipasangkan dengan Prabowo itu, mungkin bisa memenangkan pilpres tahun depan.

Tentu bukan demikian yang saya harapkan.

Sebagai warga negara yang paham jejak sejarah karir militer Prabowo dalam perjalanan kelam bangsa ini di masa lalu, hal tersebut telah saya mustahilkan. Bayangan kerusuhan Mei 1998 masih tergambar jelas di ingatan saya. Ketika tak bisa pulang menemui istri dan anak-anak yang masih kecil. Gara-gara semua akses ke kediaman kami di Bintaro terhalang aksi brutal kerusuhan massa. Setelah beberapa mahasiswa Trisakti tewas diterjang peluru aparat.

Di malam yang kelam itu — bersama sahabat saya almarhum Ucok Dayat dan Ruslan Abdulgani — kami menginap di rumah almarhum Hartarto di jl. Tirtayasa. Atas budi baik putranya, almarhum Gunadarma. Rekan senior di tempat kami sama-sama kuliah dulu. Beliau adalah abang dari Erlangga yang kini menjadi Ketua Umum Golkar. Partai yang bermula dari Golongan Karya di masa Orde Baru yang kini mendukung Prabowo berpasangan dengan Gibran. Anak Jokowi yang secara konstitusi belum cukup umur. Tapi kemudian diperbolehkan Mahkamah Konstitusi melalui proses putusan janggal dan tak beretika. Sehingga Majelis Kehormatan lembaga tersebut memutuskan untuk memberhentikan Anwar Usman yang berstatus ipar Joko Widodo, dari kursi ketuanya. Meski pun produk konstitusi yang turut dia putuskan sebelumnya, telah memungkinkan Gibran sang keponakan menjadi calon wakil presiden dan tak bisa dianulir lagi. Sehingga anak Joko Widodo itu, bisa menjadi pendamping Prabowo dalam pencalonan resmi kandidat pasangan presiden-wakil presiden 2024-2029 nanti. Cukup dengan bermodalkan pengalamannya yang 2 tahun kemarin jadi walikota Solo. Salah satu dari lebih 500 daerah tingkat dua Indonesia yang bahkan tak berstatus ibukota provinsi.

Itulah puncak pembuktian ‘aroma tak sedap’ sikap, keputusan, dan kebijakan Joko Widodo yang selama ini kerap saya kritisi sehingga banyak kawan dan sejawat mencibir. Beberapa hari sebelum putusan sidang MKMK dibacakan, sebagian di antara mereka ‘siuman’ lalu menanda-tangani Deklarasi Juanda. Untuk mengumbar kekecewaan terhadap kepemimpinan Joko Wdodo. Saya setuju dan turut serta di sana. Meski dengan pandangan pribadi yang menganggapnya tak cukup. Sehingga perlu menambahkan pernyataan terpisah. Berbentuk ‘pengakuan bersalah’ atas kekeliruan yang saya lakukan sebelumnya. Dalam rangka berupaya mempengaruhi pandangan hingga pendapat yang lain. Agar meletakkan harapan dan kepercayaan kepada Joko Widodo. Lalu menjatuhkan pilihan suara mereka kepadanya.

Hari ini, jejak digital tentang semua itu, sangatlah mudah ditelusuri.

* * *

Pertimbangan utama saya mendukung Joko Widodo sebagai Presiden RI 2014-2019 — yang ketika itu baru 2 tahun menjabat Gubernur DKI — adalah untuk menghalangi pesaingnya, Prabowo Subijanto. Tentu saja disertai harapan terhadap pria kurus ceking yang piawai mengesankan diri sebagai sosok bersahaja itu, mewujudkan cita-cita Reformasi 1998. Di kemudian hari — terutama belakangan ini — semua harapan indah tersebut, nyatanya terbukti berlebihan.

Sejak mula Jokowi menduduki istana Negara, dalam kapasitas dan kemampuan terbatas yang dimiliki, saya sebetulnya kerap menyampaikan sikap maupun pandangan kritis terhadap kebijakan-kebijakannya yang terlihat ‘offside’ dan berlebih. Hal yang sering kali ditentang dan membuat tak nyaman rekan maupun sejawat lain yang mati-matian mendukungnya. Apalagi mereka yang berada di lingkar kekuasaan dan turut menikmati manfaat — baik yang secara langsung maupun tidak — atas keterpilihan Joko Widodo yang ketika periode pertama dipasangkan dengan Jusuf Kalla.

Saya tetap mendukung Joko Widodo di periode yang kedua. Walau sebenarnya banyak sikap, keputusan, dan kebijakan mertua Bobby Nasution — yang sekonyong-konyong pasca menikahi putrinya terpilih sebagai Walikota Medan itu — beraroma tak sedap. Sebab pada tahun 2019 lalu itu, tetap tak tersedia alternatif selain Prabowo Subijanto.

Meski demikian, menjelang pemilihan berlangsung, harapan saya terhadap partai-partai politik telah sirna. Saya beranggapan sistem dan tata kelola kekuasaan terhadap mereka, kerap menghambat keberlangsungan berbagai upaya reformasi berbangsa dan bernegara seperti yang dicita-citakan sebelumnya. Oleh karenanya, pada tahun 2019 lalu, secara terbuka saya menyatakan diri tak bakal menggunakan hak pilih terhadap calon legislatif di tingkat pusat maupun daerah.

Saya golput.

* * *

Sejarah kemudian mencatat. Sejak resmi terpilih untuk periode yang kedua (2019-2024), Joko Widodo semakin lihai ‘bersilat ludah’ atas aneka kebijakannya yang kontroversial. Hal yang dari ke hari, semakin memperkokoh keraguan. Atas kesungguhan kata dan perbuatannya. Apalagi ketika dia berpangku tangan saat ‘pemberangusan terstruktur’ terhadap KPK bergulir. Disusul UU Cipta Kerja, Minerba, IKN, dan seterusnya.

Lalu di penghujung 2019, berlangsunglah sesuatu yang ‘di luar sangkaan’ tapi mencemaskan umat manusia di seluruh dunia. Di masa paling awalnya, Joko Widodo bersama sejumlah pembantunya malah mencemooh kegelisahan sejumlah kalangan. Hingga kasus pertama di Indonesia, terkuak. Pada tanggal 2 Maret 2020, Joko Widodo yang sudah keranjingan tampil di hadapan khalayak luas, tergesa mengumumkan sendiri penularan covid-19 yang dialami mbak Maria dan anaknya.

Hal yang mengenaskan, justru di tengah kehidupan yang tak normal demikian, sejumlah kebijakan kontroversial malah bergulir kencang. Di awali UU Cipta Kerja yang kemudian disusul dengan lainnya.

.Saat jumlah penularan dan korban jiwa covid-19 mereda, mulailah narasi liar yang ingin mengundangkan perpanjangan masa kekuasaan Joko Widodo sebagai presiden. Disusul wacana yang ‘menyarankan’ agar dia diperkenankan berkuasa 3 periode. Hal yang sejatinya amat sangat tak pantas dan jelas-jelas inkonstitusional.

* * *

Saya teringat hal yang mungkin dihiraukan dan tak terperhatikan banyak kalangan. Yakni ketika Luhut Binsar Panjaitan — sang ‘super menteri’ yang kerap ditugaskan memimpin satuan tugas program ‘pemadam kebakaran’ ad hoc yang dititahkan Joko Widodo — menyampaikan penjelasan penting. Bahwa usulan perpanjangan masa kepemimpinan Joko Widodo mengemuka, didasari penelaahan ‘big data’ yang mengisyaratkan mayoritas masyarakat menginginkannya. Sebelumnya, pernyataan serupa pernah pula disampaikan Muhaimin Iskandar yang kini dipasangkan sebagai wakil dari calon presiden Anies Baswedan.

Banyak yang mencemooh dan menuding pengakuan soal big data itu sebagai ‘gertak sambal’. Tapi saya memilih untuk mempercayai klaim yang memungkinkan siapa pun yang menguasai, dapat mendaya-gunakan ‘kecerdasan buatan’ (artificial intelligence) sesuai kebutuhannya. Termasuk menciptakan dan menggiring opini hingga menentukan pilihan setiap pribadi yang berada dalam jaring tali temali data besar yang dikuasainya.

Hipotesa itulah yang membenarkan kenekatan pengikut Joko Widodo melakukan berbagai langkah kontroversial dan di luar nalar akal sehat belakangan ini. Bahkan hingga menyebabkan mereka seperti tak lagi memiliki keraguan. Untuk menyatakan dan melakukan yang sebelumnya dimaklumi sebagai hal tabu.

Bukankah nepotisme — sebagaimana kolusi dan korupsi — telah dinyatakan sebagai musuh utama bangsa ketika menggulingkan Suharto selaku penguasa Orde Baru 25 tahun lalu?

* * *

Minggu 12 November 2023 kemarin, Megawati menyampaikan pidato kebangsaan yang dikatakannya atas tuntunan kejujuran, akal sehat, dan kebenaran hakiki. Bahwa keputusan Majelis Kehormatan MK adalah bukti atas sinyalemen rekayasa konstitusi yang berlangsung belakangan ini. Presiden kelima RI yang juga Ketua PDIP tersebut, jelas dan tegas menyatakan adanya potensi kecurangan atas proses pemilihan yang bakal berlangsung kurang dari 100 hari mendatang.

Hal serupa juga dikemukakan berbagai tokoh politik dan kalangan masyarakat lainnya. Termasuk sinyalemen atas (rencana) pemberangusan suara maupun pendapat kritis yang bertentangan dengan selera penguasa.

Dalam salah satu diskusi terbatas yang berlangsung di tengah pekan lalu, tergambar kefrustasian sejumlah tokoh yang hadir atas fenomena yang berlangsung belakangan ini. Berdasarkan akal sehat, tuntunan kejujuran, maupun kebenaran yang hakiki, sangat pantas dan sewajarnyalah Anwar Usman mengajukan pengunduran diri. Menyusul keputusan MKMK yang sejatinya sudah memporak-porandakan harga diri dia. Bagi saya, tak ada lagi kepantasan maupun kepatutannya bertahan di sana. Sungguh layak menjadikan malu dan aib Anwar Usman yang mestinya tak tertanggungkan lagi. Paling tidak terhadap istri yang setiap malam menemaninya tidur. Saya pun tak mampu membayangkan tatapan mata anak-anak maupun cucu-cucu dia. Menyusul keputusan pelanggaran etika berat yang sudah dilakukannya.

Kehormatan apa lagi yang patut dipertahankan Anwar Usman untuk tetap duduk di gedung Mahkamah Konstitusi yang terhormat itu?

Kepada rekan-rekan yang hadir siang itu, saya berpendapat. Anwar Usman tak bakal mundur. Sebab langkah tersebut sejatinya tak sesuai dengan ‘algoritma’ kecerdasan buatan atas penguasaan bigdata yang pernah dinyatakan LBP maupun Cak Imin tempo hari. Pengunduran diri Anwar Usman justru dapat memperluas ‘echo chamber’ keganjilan perilaku kekuasaan yang sebenarnya hanya dirasakan sebagian (kecil) kalangan. Yakni mereka yang berkepentingan langsung dan terimbas oleh putusan yang penetapannya dipimpin ipar Joko Widodo dengan tak beretika itu.

Saya menduga, sebagian besar masyarakat pemilih yang di tengah revolusi digital hari ini, adab, perilaku, dan gaya hidupnya telah berkebalikan dengan situasi 25 tahun lalu, tak mempedulikan bahkan hampir-hampir tak menggubris absurditas putusan konstitusional yang dilakukan Anwar Usman dan hakim-hakim konstitusi tempo hari.

Kami yang berdiskusi pada Rabu 8 November 2023 siang itu, tak mengetahui maupun menyadari, bahwa di saat yang hampir sama, Anwar Usman sedang melakukan jumpa pers. Untuk menyatakan diri telah difitnah dan dipermalukan secara sistematis.

Saya baru mengikuti rekaman pernyataan dan keterangan pers paman Gibran itu, pada malam harinya.

Menurut hemat saya, keputusan Anwar Usman untuk menyampaikan secara terbuka, kekecewaan pribadi atas putusan MKMK yang ditempatkan pada dirinya — bukan mengundurkan diri — adalah sesuai dengan ‘algoritma’ pemanfaatan bigdata masyarakat pemilih Indonesia yang memungkinkan pasangan Prabowo-Gibran memenangkan persaingan pemilihan tahun depan.

* * *

Membiarkan situasi ini larut dan terus berkembang, justru bakal menguntungkan Prabowo-Gibran. Sebab prinsip maupun nilai-nilai kesantunan yang mampu ‘digoreng’ kecanggihan teknologi informasi hari ini, telah 180 derajat berbeda dengan fenomena seperempat abad sebelumnya.

Kita mungkin mencemooh slogan ‘politik riang gembira’ yang dikumandangkan Kaesang. Adik Gibran yang dalam seketika ditunjuk memimpin satu-satunya partai milenial hari ini. Saran saya, waspadalah terhadap kedigdayaan artificial intelligence yang mampu bekerja sangat terstruktur, sistematis, dan masiv untuk membalikkan keadaan menjadi tak seperti dibayangkan politikus analog yang akhir-akhir ini hanya sibuk berkeluh kesah.

Saya teringat harapan Rocky Gerung sebelum putusan MKMK dibacakan, Selasa 7 November lalu. Saat saya memandunya selaku pembicara utama dalam diskusi Demokrasi dan Peradaban Bangsa di Universitas Paramidana, sehari sebelumnya. Bahwa kita membutuhkan suatu ‘radical break’ untuk menghentikan segala keculasan yang sedang berlangsung.

Yakni lewat jalan pemakzulan.

Entah dengan cara baik-baik dan beradab. Maupun sebaliknya.

Jika tak demikian, sangat mungkin Prabowo-Gibran melenggang ke Istana Negara. Bahkan hanya dalam 1 putaran.

 

EDITOR: REYNA

 

Last Day Views: 26,55 K